Advertisement
Inayah) oleh Kala Teater. (foto oleh Arman Dewarti) |
Oleh: S Metron Masdison
Nurul Inayah datang ke Jakarta dengan membawa 134,8 juta kelahiran per tahun di seluruh dunia. Sutradara Kala Teater ini datang dengan penundaan pesawat dari Makassar. Namun, jelas di hari itu, ia tak bisa menahan 368 ribu kelahiran.
Ketika memasuki Teater Luwes Taman Ismail Marzuki Jakarta, Naya, begitu ia dipanggil, menggenggam naskah ‘Postpartum’. Dalam buku program dituliskan, “… mengungkap kisah-kisah yang lahir dari konstruksi sosial atas posisi dan peran ibu berbasis hasil riset.”. Data yang dikumpulkan dari program INSPIRASI UnionAID New Zealand yang memberinya beasiswa.
Riset, kata yang menggema dalam koloni teater Indonesia mutakhir. Diamplifikasi pada setiap pertunjukan. Dijadikan halaman depan. Yang tertangkap jelas adalah kegiatan “Dua Teater Riset’ yang diadakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) pada 1 Oktober 2016.
Dalam ‘Postpartum’, tentu butuh pemeriksaan dan penggeledahan sampai renik. Dalam pertunjukan, berbagai wawancara dengan narasumber, yang umumnya ibu-ibu muda, dijadikan bagian pertunjukan. Ditampilkan dalam bentuk potongan-potongan visual di berbagai helai kain bedung yang tergantung di langit panggung.
Dalam catatan sutradara, Naya mengungkapkan, 21 persen ibu melahirkan disakiti secara emosional oleh komentar orang lain. 48 persen yang kadang-kadang merasakannya. Semua responden merasakan sakit kepala, leher kaku, sakit pinggang, perut kembung, dadda terasa nyeri dan panas, keringat dingin, sulit kosentrasi, mudah marah, nafsu makan berlebihan atau sebaliknya, serta mudah kelelahan. Namun, di ujungnya ada kalimat, “Semoga bahagia dan sedih seorang ibu mampu diterima dengan tulus.”
Pertunjukan Post Partum (karya/sutradara Nurul Inayah) oleh Kala Teater. (foto oleh Arman Dewarti) |
Pentas ‘Postpartum’ di Lebaran Teater dalam memperingati 50 Tahun Festival Teater Jakarta, merupakan yang keempat. Tiga pentas lainnya berlangsung di Kota Makassar, Kabupaten Takalar dan Kabupaten Soppeng, Sulawesi Selatan sejak 2022.
Naya juga menulis ‘Benang-Benang yang Memilih Jalannya’. Naskah yang ditulisnya saat lolos program KalamPuan Penastri (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia). Dengan ‘Postpartum’, ada selisih lebih dari sebiji padi. Di antara keduanya, ada surealis dan realis. ‘Benang-Benang …’ lebih puitis dalam berdialog. Kadang lebih mirip solilokui. ‘Postpartum’ meleburkan identas dan entitas. Ada dialog, tapi seperti dikeluarkan satu atma. Ada dialog, tapi hanya berlangsung satu mata angin.
Persamaan dari keduanya adalah dua naskah ini menjadikan monolog saat memasuki babak akhir. ‘Perjalanan ke dalam’ dipilih Naya sebagai epilog, mungkin, semisal bentuk deteksi akhir, bagaimanakah keadaanmu, Jiwa?
***
Naya tidak mau memakai kata ‘depresi’ setelah judul naskah. Ia hanya ingin membuka ruang untuk bentangan waktu enam minggu setelah melahirkan. Walau kentara sekali, 12 halaman naskah itu hampir seluruhnya berisi perjuangan melawan entakan dari dalam tubuh dan sosial. Walau Aktor 1 (Dwi Lestari Johan) membuka pertunjukan dengan “Seorang ibu adalah berkat, anugrah, dan sebuah hadiah besar bagi perempuan.”
Setelahnya, panggung diisi masa gelap perempuan yang berada dalam kurun jadi Ibu. Ada sinisme bahkan ketika mengucapkan dialog “Surga bisa berada di kaki mana saja yang menginginkannya”. Sinisme khas dunia patriaki; suara rendah-tertekan, roman dibuat bahagia, seraya menelan kekecewaan.
Pementasan pada Rabu malam (24/11) berlangsung dalam tempo naik-turun. Jika ingin dibelah, bagian satu merupakan filosofi dan benturan jadi ibu. Bagian berikutnya jadi situasi, kisah pengorbanan setelah memiliki bayi. Setiap selesai teks samping, atau jeda oleh dialog, pertunjukan kemudian berlangsung mulai dari bawah lagi. Tiga aktor diminta terus memapah bayangan suasana sebelumnya agar tetap berjejak. Terutama di bagian kedua.
Potongan video yang ditampilkan di kain bedung melekat dalam pertunjukan. Dan jadi kredit tersendiri. Namun, itulah awal tensi pertunjukan terasa tidak stabil. Termasuk Dwi, Aprilia Maharani dan Rifka Rifai Hasan, bermain sesuai ekspektasi. Tona kalimat, mimik, injeksi ke properti, terlihat selektif.
Pertunjukan Post Partum (karya/sutradara Nurul Inayah) oleh Kala Teater. (foto oleh Arman Dewarti) |
Jeda video itu terlalu panjang, sayangnya. Saat akan memulai, “Astaga, gemuk sekali …”, suasana benar-benar berbeda. Astaga! Peralihan dari identitas ke entitas atau sebaliknya belum tereksekusi sempurna.
Situasi berlanjut pada bagian akhir, saat monolog dimainkan. Setiap aktor berusaha keras mendapatkan irama. Menyambung identitas lain, bergabung dalam entitas, mungkin jadi persoalan yang diselesaikan di lain pertunjukan.
Mungkin juga, ini strategi dramaturgi. Menghamparkan depresi dengan cara membuat depresi tontonan. Meski begitu, dengan pilihan alur cenderung lambat, mesti ada ruang yang dilemaskan. Dan pilihannya banyak.
Presentasi ‘Postpartum’ mampu menahan penonton bahkan untuk pergi ke toilet. Namun, jika present/absence merupakan keniscayaan dalam seni, maka yang absence lah menjadi pertanyaan besar dalam pertunjukan ini.
* S Metron Medison adalah Wakil Ketua Persatuan Nasional Teater Repulik Indonesia (Penastri) 2023-2026