Kaburnya Batas Antara Seni Profan dan Seni Ritual -->
close
Pojok Seni
18 December 2023, 12/18/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-12-18T01:00:00Z
ArtikelBudaya

Kaburnya Batas Antara Seni Profan dan Seni Ritual

Advertisement
kaburnya batas antara seni profan dan seni ritual

Oleh: Adhyra Irianto


Perspektif sakralitas, atau juga menggunakan perspektif antropologis, bila digunakan dalam melihat seni, maka menjadikan seni terbagi menjadi dua; seni ritual yang bersifat sakral, dan seni profan yang bersifat bisnis. Pandangan sosio-kultural mengaitkan seni ritual dengan budaya agraris Nusantara, sedangkan seni profan sangat erat kaitannya dengan budaya industri (Erawati, 2019). Seni ritual akan menghasilkan hal-hal yang bersifat arketip dan mengandung unsur ilahiah, sedangkan seni profan akan terkait dengan dorongan materialisme, komersialisasi, dan komodifikasi. Karena itu, seni ritual adalah seni yang tidak bisa diulang atau diperbanyak dengan jumlah banyak. Berbanding terbalik dengan seni profan yang bisa dikomodifikasi, difabrikasi, dan diperjualbelikan (Geriya, dalam Erawati, 2019).


Masalah yang timbul adalah transformasi budaya di Indonesia. Dari budaya agraris, berpindah ke budaya industri. Diperlukan banyak hal untuk memperluas lapangan kerja, sekaligus meningkatkan penghasilan masyarakat. Namun, di sisi lain, kreativitas seni menjadi hal yang terus dikembangkan. Juga, ada keinginan untuk menjaga tradisi, adat, dan budaya setiap daerah di Indonesia. Ketika semuanya dilakukan secara bersamaan dan tanpa pertimbangan, maka lahirlah apa yang disebut Soedarsono (1986) sebagai pseudo traditional ritual art.


Pariwisata menjadi ujung tombak yang ingin dicapai dari semua jenis kesenian, baik modern maupun tradisional. Seni modern memang didesain untuk menjadi produk yang diperjualbelikan. Namun, seni tradisional sejak awal didesain sebagai seni yang bersifat ritual. Tari Sigale-gale di Samosir (Sumatera Utara) misalnya, sejak awal memang pertunjukan tari untuk melengkapi ritual penguburan di Masyarakat Batak Toba, dan sekarang menjadi daya tarik wisata setempat. Hasilnya, tari Sigale-gale bergerak dari sebuah seni ritual menjadi seni profan, dari seni sakral menjadi seni sekuler (Minawati dan Alamo, 2022). Bisnis, itu kata kunci yang mengantarkan perubahan tersebut.


Hal yang sama terjadi pada Tari Kecak di Bali. Erawati (2019) menyebutkan bahwa transformasi budaya di Bali mengubah tari Kecak yang awalnya adalah sebuah seni ritual menjadi seni profan, yang menjadikan seni ini sebagai daya tarik wisata utama dari segi seni tradisi di Bali. 


Parmadie dan kawan-kawan (2018) juga menulis bahwa musik dol di Bengkulu telah bergeser dari seni ritual menjadi seni profan. Lagi-lagi penyebabnya adalah pariwisata, dan peluang musik dol menjadi sumber pemasukan bagi daerah. Idealisme tradisi dalam seni tersebut terus pudar dan menghilang, perlahan tergantikan dengan idealisme industri. Secara umum, mari lihat karakteristik seni ritual dan seni profan berikut ini (Hasil seminar di Bali, 1971):


Seni Ritual:

  • Senimannya tidak diupah, karena seninya tidak dipertontonkan dan tidak diperjualbelikan. Pertunjukan hanya dipertunjukkan di pelaksanaan upacara keagamaan atau peristiwa kebudayaan yang terkait dengan keilahian.
  • Terkait dengan pelaksanaan atau bagian penting dari sebuah upacara adat.
  • Perlengkapan pertunjukan benar-benar khas dan biasanya ada larangan tertentu, serta kewajiban untuk memenuhi sesuatu dalam perlengkapan tersebut.
  • Karena bersifat "keilahian" maka seni sakral akan sangat terkait dengan kesucian dan aturan-aturan yang ketat. 


Seni Profan: 

  • Bersifat hiburan
  • Bisa berada di upacara namun bukan hal yang wajib
  • Seniman mendapatkan upah
  • Bisa berdasar pada sebuah tradisi, namun dalam perspektif modern.
  • Bisa diperbanyak, dimodifikasi, dan dijual

Pseudo traditional ritual art


Pseudo traditional ritual art adalah istilah yang dipergunakan oleh Soedarsono (1986) ketika seni ritual diubah (dengan perubahan lebih dari 25%) untuk memenuhi dorongan faktor ekonomi. Dalam mewujudkan faktor ekonomi ini, sektor pariwisata menjadi indikator paling dominan yang mengubah seni ritual menjadi seni profan. Smiers (2009) menyebut bahwa pemberian label harga pada sesuatu di arena kehidupan, adalah hasil dari merasuknya kebutuhan uang di segala lini. Maka, seni ritual yang seharusnya tidak ternilai (intangible) malah diberi label harga yang menurunkan sakralitasnya ke titik nol. Maka, unsur yang ada di dalam seni sakral, seperti nilai moral, pengabdian, nilai keilahian, dan sebagainya, sudah dipastikan memudar dari seni tersebut.

Kasus tari Kecak misalnya, yang merupakan pentas tari untuk mengusir wabah penyakit (Spies en Goris, 1937), karena itu tari Kecak tidak bisa dipentaskan seenaknya. Karena, aura magis dan nilai kesakralannya akan sangat berkurang bila dipentaskan setiap saat. Namun, Walter Spies dan Baryl de Zoete yang melihat seni sakral ini mulai mengemas paduan koor laki-laki, dengan tari Sanghyang, lalu disajikan sebagai tontonan pada wisatawan yang datang ke Bali. Tentu saja, tari Kecak yang sudah dihadirkan tersebut sudah merupakan hasil komodifikasi kesenian, dan tentu saja bisa diperjualbelikan. Erawati (2019) menyebutkan bahwa hal itu membuka peluang bagi praktisi tari Kecak untuk memperbaiki kehidupannya, membuka lapangan kerja, dan memperkenalkan tari Kecak ke seluruh dunia. 

Sebagai dampaknya, tari Kecak bukan lagi sebuah tari ritual yang dulunya terkait dengan unsur magis dan sakralitas. Tari ini bukan lagi sebuah objek simbolis, tapi telah menjadi (meminjam terminologi Boerdieu) objek ekonomis yang telah dilabeli harga. Berikutnya, tari Kecak kehilangan marwahnya sebagai tari dengan sakralitas yang tinggi. Masuknya tari Kecak ke arena komersialisasi membuat tari ini seakan-akan sama seperti joget dangdut yang bisa dibuat dalam bentuk massal, tidak punya kedalaman, serta bisa ditarikan kapan saja semaunya. Tari kecak yang hadir saat ini, adalah sebuah tari tradisi ritual yang palsu (pseudo traditional ritual art). 

Dari Bali, kita beralih ke musik Dol di Bengkulu. Dalam gelaran tabot tiap tahun menjadi agenda pemerintah membuka batasan kebudayaan yang tadinya bersifat abstrak dan tidak bisa disentuh, sekarang menjadi sebuah identitas musik dol yang baru. Globalisasi dan transformasi budaya masuk bersamaan dengan dibukanya gerbang musik dol menjadi daya tarik pariwisata Bengkulu. 

Era globalisasi budaya membuka peluang kreativitas seniman musik dol bisa dioptimalkan sampai ke titik maksimal. Eksplorasi musik dol, dipadu dengan sejumlah peralatan (instrumen) musik modern menjadi cara untuk memperkenalkan dol sekaligus mempertahankannya agar tetap dikenal. Komposisi musik yang mengikutkan dol di dalamnya menjadi hal yang sangat menarik, baik bagi senimannya maupun bagi penontonnya. Upaya pelestarian dol ini juga didukung penuh oleh pemerintah Bengkulu, menjadikan gerakannya menjadi masif.

Namun, masalahnya bermula ketika dinamika sosial mulai mengarah pada musik dol yang sakral yang biasanya terkait dengan pembuatan Tabot, pengiring tarian yang bersifat ritual, dan hal-hal yang sebenarnya bersifat ritual lainnya. Industri budaya mulai mengarahkan ritual-ritual yang bersifat sakral menjadi tontonan untuk menarik wisatawan. Hasilnya, musik dol yang sakral dengan musik dol yang profan (ditujukan untuk bisnis) mulai sulit dibedakan. Batas antara sakralitas dan profan perlahan kabur, dan akhirnya berujung ke memudarnya sakralitas pada musik dol. Parmadi dan kawan-kawan (2018) menulis dalam jurnalnya bahwa dinamika sosial menyebabkan adanya politik pencitraan penguasa (atau individu) untuk "terlihat peduli budaya" dan akhirnya berujung ke kebijakan, aturan, akulturasi, dan sebagainya. Upacara ritual tabot akhirnya hanya menjadi rutinitas yang ditujukan sebagai pendukung pertumbuhan ekonomi, dan terus kehilangan sakralitasnya. 

Lagi-lagi, kita bertemu dengan satu kata yang mengantarkan semua seni ritual kita menjadi seni profan: pariwisata!

Pariwisata mengubah sebuah budaya bernilai tinggi, seni yang sakral menjadi sebuah komoditas yang bisa diperjualbelikan untuk mendapatkan keuntungan. Industri ini (yang kemudian disebut industri budaya) melahirkan budaya yang disebut budaya populer, atau budaya massa. Budaya ini, patokannya adalah seberapa laku, seberapa populer, seberapa banyak follower, hingga seberapa banyak uang yang Anda miliki. Ini pengaruh utama globalisasi (Ritzer, 2014), di mana tiga inti utama yang mesti dikuasai; politik, ekonomi, dan budaya.

Bagaimana cara menghancurkan budaya lokal dengan cepat dan tepat sasaran? Ubah dulu jadi komoditas, dan tawarkan keuntungan. Tawarkan pula bahwa budaya lokal baru bisa dikatakan berhasil, apabila berhasil mendatangkan Penghasilan Asli Daerah (PAD) bagi pemerintah. Maka, seni tradisi yang tidak memenuhi syarat berikut: 

  • menarik,
  • mampu dikomofikasi, atau difabrikasi, 
  • bisa diperbanyak, 
  • bisa dijadikan produk yang mampu dijual
  • bisa menarik minat wisatawan
  • dan lain-lain yang bisa menimbulkan keuntungan material

Seni tradisi yang tidak memenuhi syarat ini akan menghilang ditelan bumi. Kenapa? Karena yang dipedulikan oleh kapitalisme bukanlah seberapa dalam atau seberapa berharganya seni tradisi tertentu, tapi seberapa menghasilkan dan keuntungan yang didapatkan. 

Di satu sisi, keinginan untuk mempertahankan seni tradisi memang memudarkan sakralitasnya. Namun, di sisi lain, tanpa komodifikasi, ada ketakutan bahwa seni tradisi tersebut akan menghilang ditelan bumi. Kemudian, apa yang harus dilakukan? Sepertinya memasang batas yang tegas antara seni profan dan seni ritual harus kembali dilakukan. Seni ritual, sebagaimana yang didefinisikan Kemdikbudristekdikti RI sebagai Warisan Budaya Tak Benda adalah sesuatu yang abstrak, tidak bisa disentuh, dan murni. Murni berarti tetap menjaga kedalaman makna, dan sakralitasnya.


Referensi:


  • Parmadie, B., Kumbara, A. A. N. A., Wirawan, A. A. B., & Sugiartha, I. G. A. (2018). Pengaruh Globalisasi Dan Hegemoni Pada Transformasi Musik Dol Di Kota Bengkulu. Mudra Jurnal Seni Budaya, 33(1), 67–75. https://doi.org/10.31091/mudra.v33i1.240
  • Pira Erawati, N. M. (2019). Pariwisata Dan Budaya Kreatif : Sebuah Studi Tentang Tari Kecak Di Bali. Kalangwan : Jurnal Seni Pertunjukan, 5(1), 1–6. https://doi.org/10.31091/kalangwan.v5i1.731
  • Abdullah  Irwan,  Konstruksi  dan  Reproduksi  Kebudayaan.  Yogyakarta : Pustaka Pelajar Offset, 2010.
  • Bourdieu,  Peirre,  Arena  Produksi  Kultural  Sebuah  Kajian  Sosiologi  Budaya.  Bantul  :  Kreasi  Wacana  Offset, 2010.
  • Giddens   Anthony,   Kapitalisme   Dan   Teori   Sosial   Modern, Suatu Analisis Karya Marx, Durkheim dan Max  Weber.  Jakarta  :  Universitas  Indonesia  Press,  2009
  • Hasil-Hasil Seminar, Seni Sakral dan Provan Bidang Tari,  tanggal  24-25  Maret,  1971.  Denpasar  :  Proyek  Pemeliharaan dan Kebudajaan Daerah Bali, 1971
  • Piliang  Yasraf  Amir,  Dunia  Yang  Dilipat  Tamsya  Melampaui  Batas-Batas  Kebudayaan.  Bandung  :  Matahari, 2011
  • Soedarsono,  R.M,  Dampak  Pariwisata  Terhadap  Perkembangan  Seni  di  Indonesia.Yogyakarta  :  Pi-dato  Ilmiah  Pada  Dies  Natalis    Kedua  Institut  Seni  Indonesia, 1986: Spies,  Walter  en  R  Goris,  “Overzicht  van  Dans  en  Toneel in Bali, dalam majalah Jawa, No. 5-6  tahun ke-17 (Java Institut, 1937)

Ads