Apa itu Seni di Mata Generasi Milenial? -->
close
Pojok Seni
29 December 2023, 12/29/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-12-29T01:00:00Z
ArtikelUlasan

Apa itu Seni di Mata Generasi Milenial?

Advertisement

Pojok Seni - Sejumlah pemuda (dan pemudi) berusia sekitar 18 - 25 tahun mengikuti diskusi kecil-kecilan yang dibuat oleh Teater Senyawa, pada hari Kamis (28/12/2023) di Sekretariat Teater Senyawa Curup, Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. 


Diskusi akhir tahun ini mengusung tema "Mengapa Kita Bersandiwara?". Lewat tajuk yang diambil dari baris puisi Taufik Ismail (dan dialih wahanakan menjadi lagu oleh God Bless), generasi milenial ini berbicara tentang apa itu seni menurut mereka.


Diskusi Seni Teater Senyawa
Diskusi seni oleh Teater Senyawa

Selain "definisi" seni, mereka juga berbicara tentang mengapa seni harus tetap ada. Dengan kata lain, seniman dan karya seni harus tetap ada sampai kapanpun. Merujuk ke teater, pertanyaan yang cukup dilematik adalah, apakah dunia akan menjadi berubah menjadi buruk ketika teater tidak ada lagi?


Tentang definisi seni, masing-masing memiliki jawaban sendiri. Dan tentu saja, tidak ada jawaban benar ataupun salah, karena setiap orang memiliki definisi sendiri tentang hal yang mereka yakini sebagai sebuah karya seni.


Ada yang menganggap karya seni adalah karya yang berasal dari respon spontan seseorang yang memiliki bakat seni. Ada juga yang menganggap seni sebagai kreasi dari hal-hal yang ada di dunia ini. Ada juga yang menganggap karya seni adalah ekspresi seseorang. Juga masih ada banyak jawaban lain yang berbeda. Definisi seni memang selalu tak punya aturan pasti, namun karena itulah topik ini selalu menarik untuk dibicarakan.


Namun, rata-rata generasi milenial ini sepakat dengan definisi seni yang dipaparkan Ayn Rand (1905-1982) bahwa: 


Seni adalah "penciptaan ulang" realitas secara selektif berdasar penilaian "metafisik" dari seorang seniman.


(Meski harus diakui definisi ini mungkin "hanya" cocok untuk sastra, film, teater, seni pahat, seni lukis, arsitektur dan musik.)



Kata kunci di sini adalah "seniman", itu yang disepakati oleh para peserta diskusi. Apapun atau peristiwa apapun yang dihadirkan oleh seorang seniman, bisa menjadi seni. 


Namun, ada pembatasan yang tegas antara karya seni (yang dibuat seniman) dengan karya kerajinan (yang dibuat oleh pengrajin) meski keduanya sama-sama melibatkan "teknik yang sama". (Selengkapnya di artikel ini: Batasan Seni dan Bukan Seni?)


Maka pembicaraan merambat ke "siapa seniman?" Jawaban simpelnya, seseorang yang membuat atau sedang dalam proses membuat sebuah karya seni. Saat dia sedang tidak membuat/berproses, maka saat itu dia sedang tidak menjadi seorang seniman. 


Tidak semua orang yang "berbakat" seni adalah seniman. Sama seperti tidak semua orang yang memiliki sepeda motor adalah ojek.


Seorang tukang ojek, baru bisa disebut tukang ojek ketika dia sedang bekerja sebagai tukang ojek. Apabila di satu hari, ia datang ke sawah dan mengerjakan sawah, maka di hari itu dia adalah petani, bukan tukang ojek. 


Sesederhana itu juga definisi seniman. Apabila dia sedang dalam proses berkesenian, maka ia seorang seniman. Tapi, apabila dia sedang duduk di pangkalan ojek dan menunggu penumpang, maka saat itu dia tukang ojek, bukan seniman. (Selengkapnya di : Siapa yang Disebut Seniman?)


Setelah membicarakan definisi seni dan seniman, maka pembicaraan diarahkan pada "apakah sebenarnya kita membutuhkan seni? kenapa kita harus tetap berkesenian?"


Ada yang mengatakan hidup akan menjadi kelam, ada juga yang menyatakan bahwa hidup akan flat dan sepi. Juga banyak jawaban lain yang menggambarkan betapa sepinya dunia tanpa seni. Begitu kira-kira yang dipikirkan generasi milenial, apabila seni sudah tidak ada di dunia.


Kebutuhan manusia terhadap seni, menurut Adhyra Irianto, terletak pada kenyataan proses pemerolehan pengetahuan (dan kebenaran) dari seorang manusia melalui abstraksi. Hal itu dikarenakan kemampuan kognitif manusia bersifat konseptual.


Namun, membawa abstraksi metafisik dengan cakupan yang jauh lebih luas ke dalam kesadaran persepsi, jelas membutuhkan hal yang cukup "kuat". Sebagaimana pemikiran "isme-isme" baru, diperkenalkan lewat jurnal dan tulisan ilmiah pada awalnya, lalu diperkenalkan lewat seni untuk disampaikan pada khalayak lebih luas. (Selengkapnya di Hubungan Antara Level Intelektual dengan Selera Seni, Menurut Pierre Bourdieu)


Seni, dalam hal ini lebih khusus ke teater, memiliki kemampuan untuk mengkonkretkan lagi pandangan dasar pada kehidupannya sendiri, keberadaannya, eksistensinya, dan menjawab pertanyaan filosofis paling dasar "who am I?". 


Hal-hal yang sifatnya abstraksi metafisik tersebut dibawakan lewat penciptaan "realitas" yang selektif seperti dinyatakan Ayn Rand.


Diskusi tersebut berakhir pada kesimpulan: Karena kebutuhan untuk memperoleh pengetahuan adalah hal yang harus dipenuhi, maka itu, seni teater mesti tetap ada. 


Iman Kurniawan menambahkan, menjawab pertanyaan kenapa kita bersandiwara? Karena sudah sangat sulit membedakan mana yang artifisial dan mana yang natural di realita hari ini. Akhirnya, kita perlu menciptakan "realitas selektif" sebagai metode pertahanan diri.


Kemudian, generasi milenial berpendapat bahwa seni adalah "satu entitas yang serbaguna". Seni bisa memberi semangat, bisa juga menenangkan. Bisa membakar dan memprovokasi, tapi bisa juga menghentikan amarah. Seni bisa saja hanya berupa hiburan belaka, tapi bisa juga menjadi sarana edukasi.

Ads