Salamonolog Hari Ketiga: Monolog dan Kekuatan Perempuan -->
close
Pojok Seni
19 November 2023, 11/19/2023 03:30:00 PM WIB
Terbaru 2023-11-19T08:30:32Z
ArtikelUlasan

Salamonolog Hari Ketiga: Monolog dan Kekuatan Perempuan

Advertisement
Salamonolog hari ketiga
Salamonolog hari ketiga

Oleh: Adhyra Irianto


Pojok Seni - Gelaran Salamonolog#10 hari kedua, Sabtu (18/11/2023) menampilkan dua orang aktor perempuan, dengan dua naskah yang juga ditulis oleh perempuan. Lakon pertama berjudul Doa Perawan Tua yang ditulis dan dimainkan oleh Siwigustin, sedangkan lakon kedua berjudul Perempuan Panci Nasi yang ditulis oleh Nurul Inayah dan dimainkan oleh Beryl Ivana Chua. Sebagaimana judulnya yang sama-sama menyertakan "Perempuan", dua lakon ini adalah interpretasi tafsiran pada hidup dalam perspektif perempuan. Tentu, tanpa mengurangi rasa hormat pada dua sutradaranya, Beni Dewa yang menyutradarai Doa Perawan Tua dan Willy Fwi yang menyutradarai Perempuan dan Panci Nasi (yang kebetulan laki-laki).


Doa Perawan Tua dari Teater Mitanami Pati


Doa Perawan Tua oleh Teater Mitanami Pati
Doa Perawan Tua oleh Teater Mitanami Pati

Grup teater independen yang datang dari Pati, Jawa Tengah ini mengusung cerita yang ditulis sendiri oleh aktornya berjudul Doa Perawan Tua. Lakon ini menceritakan tentang seorang perempuan tua bernama Batari yang datang ke sebuah pelabuhan, menemui kekasih lamanya bernama Bihan. Cinta mereka dipisahkan oleh orang tua Bihan, yang juga melecehkan dan menghina Batari. Maka, ia begitu bahagia ketika mendengar kabar meninggalnya bapak dari kekasih lamanya itu. Kekasihnya pergi berlayar, dan ketika semuanya telah kembali, Bihan tak juga kembali. Salah satu awak kapal bernama Sasmito, memberikan penawaran agar Batari mau dinikahi, apabila ingin tahu keberadaan Bihan.


Batari penasaran keberadaan Bihan, akhirnya memilih dinikahi oleh Sasmito. Sebelum pernikahan, ia mengirimkan surat pada Bihan, yang tentunya tidak akan pernah sampai pada orang yang dituju. Pernikahan itu dikaruniai seorang anak yang diberi nama Sendok, nama yang sangat ingin Bihan sematkan bila mereka memiliki anak. Sayangnya, anak itu adalah anak Sasmito, awak kapal yang juga sahabat Bihan. Batari sempat ingin membunuh anak tersebut, namun batal ketika melihat mata dan wajah polos anak itu. Sampai setelah lebih 30 tahun menikah, Batari diantarkan Sasmito ke pelabuhan di mana Bihan tenggelam dan menghilang untuk selama-lamanya. 


Secara pertunjukan, meski dimulai dengan tempo yang cukup lambat, namun teknik muncul yang digunakan aktor sangat baik dan mampu mencuri perhatian penonton sejak awal. Grafik penceritaan menjadi benar-benar mencengkeram kepala penonton sejak pertengahan, tepatnya ketika Batari membiarkan rambutnya terurai. Dari titik itu, pertunjukan menjadi sangat membius menjadikan penonton tidak bisa beranjak, bahkan sekedar menolehkan kepala. Harus diakui bahwa aktor Siwigustin merupakan aktor yang kuat, dan memiliki kemampuan teknis yang baik. Pertunjukan Doa Perawan Tua menjadi sebuah pertunjukan yang sangat menarik (saya tidak berlebihan menggunakan istilah "sangat"), dan memberikan katarsis sekaligus keheningan yang kontemplatif bagi penonton. 


Namun bila dilihat secara tekstual, memang banyak ditemukan plot-hole dalam cerita yang disusun sendiri oleh Siwigustin, monologer dalam pentas tersebut. Sebuah cerita yang menyayat, namun menimbulkan banyak pertanyaan, seperti penyebab Batari dilecehkan oleh bapaknya Bihan, penyebab kematian Bihan (apakah bunuh diri, dibunuh, atau kecelakaan), dan banyak pertanyaan lain yang bisa menjadi bahan "penambalan" lubang-lubang di alur utama cerita tersebut. Penulis naskah bisa mempertimbangkan metode "bone structure" ala Lajos Egri untuk membangun sub-alur yang menjawab plot-hole dalam kisah yang menarik ini. Kemudian, dalam perspektif estetika feminis misalnya, apakah benar hanya hak-hak Batari yang "terkungkung" di sini? Dan hanya hak untuk menikahi Bihan saja yang terkungkung? Kenapa pemerkosaan dari bapaknya Bihan memiliki dampak? Buktinya masih ada seorang lelaki lain yang mau menikahinya, meski alasannya karena iba, ataupun benar-benar cinta. Tapi, bukankah Sasmito juga terkungkung hak-haknya sebagai lelaki? Padahal, seperti yang diakui Batari, Sasmito memperlakukannya dengan sangat baik dan bermartabat. 


Masih dalam konteks teks lakon, kenapa teks ini berjudul Perawan Tua? Bukankah Batari telah menikah dan dikaruniai seorang anak? Apakah Batari yang sempat ingin membunuh anak dari Sasmito, masih mengira dirinya perawan hingga pernikahannya yang ke-30 tahun? Apakah menurut Batari, Sasmito itu tidak meng-ada (meminjam terminologi Husserl) dalam hidupnya? Pertanyaan-pertanyaan ini sebenarnya bisa disusun menjadi deretan sub-cerita yang bisa melengkapi plot-hole yang dibahas sebelumnya. Satu lagi, kenapa berjudul "doa", bukankah Batari sedang bercerita pada "roh" Bihan, bukan sedang berdoa? Atas pertanyaan-pertanyaan ini, melandasi sebuah argumen yang muncul di kepala saya; kenapa judulnya seakan tidak menggambarkan ceritanya?


Terlepas dari "ketidakpuasan" saya pada teksnya, namun saya benar-benar puas menikmati tontonannya. Dengan kemampuan keaktoran Siwigustin, dan kejelian sutradara Beni Dewa, pertunjukan ini menjadi benar-benar menarik untuk diikuti, bahkan ditonton lebih dari satu kali. Saya harus mengangkat topi dan memberikan penghormatan atas kerja keras sutradara dan aktornya yang mumpuni ini.


Perempuan dan Panci Nasi dari Indonesian Art Colab Jakarta


Perempuan dan Panci Nasi dari Indonesian Art Colab
Perempuan dan Panci Nasi dari Indonesian Art Colab Jakarta

Pertunjukan kedua hadir dari Indonesian Art Colab asal Jakarta yang menghadirkan lakon Perempuan dan Panci Nasi karya Nurul Inayah, Sutradara Willy Fwi dan aktor Berryl Ivana Chua. Lakon ini menceritakan tentang seorang perempuan tamatan SMA yang ditawarkan bergabung masuk ke sebuah partai pimpinan Pak Dahlan. Pak Dahlan menawarkannya untuk menjadi kader dan bekerja demi menyukseskan Pak Dahlan sebagai anggota dewan provinsi.


Ternyata, setelah Pak Dahlan sukses menjadi anggota dewan provinsi, perempuan ini malah dilecehkan dan diperkosa oleh Pak Dahlan hingga mengandung. Sialnya, Pak Dahlan tidak mau mengakui bahwa itu anaknya, bahkan menuding perempuan itu sebagai seorang wanita murahan. Perempuan itu diusir, dan terpaksa menanggung malu sebagai ibu dari anak yang tidak diakui bapaknya sendiri. 


Kesialan seperti belum lepas dari perempuan ini, karena anaknya mati terinjak-injak ketika antri sembako yang dibagikan seorang calon presiden. Tragisnya, Pak Dahlan adalah capres yang membagikan sembako itu. Kejadian itu membuat murka perempuan ini dan mengamuk sejadi-jadinya pada Pak Dahlan. Namun, ia justru dianggap orang gila dan diusir dari kampanye Pak Dahlan untuk menjadi capres.


Berbeda dengan pentas pertama dari Pati, pentas ini digelar di luar ruangan.  Willy Fwi memilih untuk memanfaatkan kedai teh Surakartea sebagai venue. Wilayah yang cukup luas menjadikan Berryl sebagai aktor bisa bergerak leluasa. Berryl mengandalkan inner act, sesekali berbisik lirih untuk mengekspresikan karakternya secara privat pada penonton yang dituju. Penonton diberi pengalaman untuk menyaksikan pertunjukan yang tidak berbatas dengan penonton. Rasa iba dan simpati yang coba diambil dari penonton, ditujukan untuk memperkuat pesan yang berada di akhir pertunjukan, yakni harapan agar siapapun penonton bisa meneruskan kisah ini agar tidak ada korban berikutnya, dan Pak Dahlan berikutnya. Hal ini juga membuat perasaan penonton menjadi lebih intim dengan pertunjukan, karena justru penonton dan situasi setempat yang menjadi given circumstances bagi aktor. Pertunjukan juga dimulai dengan sebuah teriakan yang mengejutkan, merupakan strategi yang sangat cerdik untuk mengubah arah pandang penonton menjadi fokus pada monologer. 


Gaya akting yang sangat natural, ditujukan agar penonton mendapatkan pengalaman langsung. Seakan-akan aktor dan penonton berada di dimensi ruang dan waktu yang sama. Ini pilihan yang cerdik, bila dilihat dari teks yang ditulis oleh Nurul Inayah. Berryl bisa bergerak ke sana kemari, mengikuti keacakan penonton terdifusi, sehingga bisa mengubah arah bicara dan ekspresi ke mana saja. Pertunjukan ini cukup menguras perasaan penonton, terlepas dari apa yang mereka persepsikan dari menonton pertunjukan dengan suasana seperti ini.


Menurut saya, secara personal, pertunjukan ini akan jauh lebih berhasil ketika dipentaskan mandiri. Ketika disandingkan dengan pertunjukan yang tadinya berada di panggung proscenium, maka mau tidak mau akan ada pengaruh pada psikologis penonton. Penonton yang tadinya terbiasa menyaksikan pertunjukan di panggung proscenium, akan butuh waktu untuk mengubah perspektif mereka ketika "tiba-tiba" dialihkan ke sebuah pertunjukan imersif. Bila tadinya pada pertunjukan pertama, penonton menjadi terhimpun, maka pada pertunjukan kedua, penonton menjadi terdifusi. Kedua jenis penonton ini memiliki "persiapan" dan "psikis" yang berbeda. Berbeda dengan pertunjukan sebelumnya dengan naskah yang sama yang digelar di salah satu kafe di Jakarta (sebagai informasi, ini adalah kali ke-3 saya menyaksikan lakon ini dimainkan), pertunjukannya memang khusus. Maka penontonnya akan beradaptasi sejak awal, dan akhirnya bisa mengikuti pertunjukan. Pertunjukan paling pertama digelar secara daring, namun deretan pertunjukan lainnya juga digelar secara daring. Hal itu juga memudahkan proses adaptasi penonton sejak awal pertunjukan. Sedangkan dalam pertunjukan kali ini, penonton akan butuh waktu yang lebih lama dengan beradaptasi dengan strategi dramaturgi yang dipilih Willy Fwi.


Satu lagi yang menjadi catatan bagi saya adalah pemilih peralatan sound sepertinya memang harus menjadi fokus utama untuk persiapan pertunjukan serupa. Efek reverb dan echo (gaung) yang hadir dari speaker menjadikan suara nyanyian (yang dinyanyikan oleh Ducci) dan suara pak Dahlan (oleh AH Duma), menjadi tidak begitu "kawin" dengan pertunjukan yang didesain secara natural. Tentu saja, efek yang hadir tersebut bukan sebuah kesengajaan, karena "muncul sendiri". Hal ini tentu sebuah masalah teknis, namun mesti menjadi catatan khusus untuk siapapun yang mempersiapkan pertunjukan serupa.


Kesimpulan


Terlepas dari semua catatan di atas, harus saya akui bahwa dua pertunjukan yang digelar pada hari ketiga SalaMonolog adalah dua pertunjukan yang sangat baik. Kedua aktor perempuan sama-sama mengungkapkan keresahan perempuan, dengan hipogram yang ditulis oleh perempuan. Kedua pertunjukan ini tentunya memiliki vibes yang berbeda, tapi hal khusus yang perlu digarisbawahi adalah, kedua pertunjukan ini sama-sama cukup berhasil dengan pilihan dramaturginya masing-masing.

Ads