Rutinitas FTJ: Memahami Pemikiran di Sekitar Homo Theatricus -->
close
Pojok Seni
01 November 2023, 11/01/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-11-01T01:00:00Z
eventMedia Patnerteater

Rutinitas FTJ: Memahami Pemikiran di Sekitar Homo Theatricus

Advertisement

Pertunjukan Teater Kembali Satu (K_1) berjudul Rumah yang Dikuburkan
Pertunjukan Teater Kembali Satu (K_1) berjudul Rumah yang Dikuburkan (foto: dok.  Indonesia Kaya)


Oleh: Zackir L Makmur*


Pojok Seni/Jakarta - Festival Teater Jakarta (FTJ) 2023, berumur 50 tahun. Dalam filsafat, usia 50 tahun adalah fase terhadap pemahaman khusus tentang kehidupan. Fase ini yang pernah diperjelas oleh filsuf Soren Kierkegaard dalam serangkaian premise filsafatnya, untuk mempertimbangkan pilihan hidup dan makna eksistensi pada usia ini. Atau, meminjam pemahaman filsafat Aristoleles, di mana pemikiran dan tujuan di usia ini mencapai puncak pemikiran tentang eudaimonia (kebahagiaan yang berkelanjutan).


Apakah FTJ 2023, juga serangkai kurun festival di belakangnya, sampai pada pemikiran eksitensialisme eudaimonia? Pertanyaan ini enaknya disingkat begini: adakah pemikir(an) yang lahir dari FTJ? Setidak-tidaknya pada FTJ 2023 ini, bisa dijadikan momentum bahwa suatu perjalanan peristiwa pemikiran yang bernama pertunjukan teater, menjadi sebutir waktu dalam (ke)hidup(an) teater Jakarta (dan Indonesia) di mana banyak orang merenungkan perjalanan Festival Teater Jakarta (dan Indonesia).


Sehingga FTJ 2023 yang dipunggungnya mengusung tajuk: "Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi, " menyuguhkan konsep pemikiran (dan informasi) yang mempunyai akar sudah menghujan selama 50 tahun di ranah dinamika kesenian modern Indonesia. Tajuk itu juga sebenarnya memperjelas bahwa FTJ bukanlah keriuhan yang melibatkan kumpulan orang yang berkumpul demi merayakan sesuatu. Dari itu serangkaian kurun FTJ, sampai di tahun ini berumur 50 tahun, menjadi sebuah perayaan budaya yang penting, yang tidak hanya sebagai penghormatan terhadap pencapaian dalam dunia seni pertunjukan, tetapi juga sebagai kesempatan untuk merenungkan makna eksistensi dan perjalanan (ke)hidup(an) teater Jakarta –dan Indonesia. 


Tetapi harapan itu menjadi utopia, manakala FTJ selalu saja menjadi peristiwa rutin walau sudah berubah kelamin dari yang tadinya Festival Teater Remaja menjadi Festival Teater Jakarta. Rutinitas ini adalah mesin, yang dalam dunia kesenian adalah sebuah kesembongan merayakan peristiwa budaya dalam komunitas teater, dan sekaligus merayakan kehidupan dalam berbagai bentuknya. Sialnya, kesombongan ini nyaris tidak disadari oleh tokoh-tokoh teater alumni FTJ karena mereka juga lebih banyak terperangkap pada rutinitas kerja birokrat kebudayaan.


Punya Keberanian Memperjelas 


Pertunjukan Teater Magma berjudul 50-01-29
Pertunjukan Teater Magma berjudul 50-01-29 (foto: dok.  Indonesia Kaya)


Festival Teater Jakarta (FTJ) 2023 begitu gagah, dipunggungnya mengusung tajuk: "Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi." Maka dengan kegagahannya itu, ia seperti punya keberanian memperjelas bahwa: manusia, sebagai spesies, memiliki kemampuan dan kecenderungan alami untuk berperan, berimprovisasi, dan terlibat dalam tindakan teatrikal atau dramatis. 


Di mana spesies ini lebih banyak (hidup) di kota, di sebuah pemukiman manusia yang lebih besar dan padat dibandingkan dengan desa. Di tempat inilah pula sekaligus menjadi pusat aktivitas ekonomi, sosial, budaya, dan politik. Mereka memiliki infrastruktur yang lebih kompleks, seperti gedung-gedung pencakar langit, sistem transportasi yang canggih, dan berbagai fasilitas umum.  Lantas dari sana ada subsistensi: hal yang mengacu pada cara manusia memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sumber daya lainnya yang dibutuhkan untuk kelangsungan hidup. Ini juga melibatkan hasrat berkelanjutan dalam pemenuhan kebutuhan ini, yang mencakup produksi. Serta konsumsi yang tidak merusak lingkungan atau sumber daya alam.


Bila semua hal itu terpenuh namun tak ada imajinasi –percuma saja. Oleh karenanya di sinilah pentingnya spesies yang mendiami kota, yang bisa memenuhi kebutuhan dasar mereka, seperti makanan, pakaian, tempat tinggal, dan sumber daya lainnya –butuh imajinasi yang juga menjadi kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Soalnya imajinasi, selain memberi kemampuan mental untuk menciptakan gambar, ide, atau konsep yang tidak ada dalam realitas fisik –juga turut melibatkan berpikir kreatif, dan menciptakan sesuatu yang baru atau tidak terlihat. Maka "Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi" sekaligus memberitahukan pentingnya seni dan teater dalam kehidupan manusia, serta kemampuan manusia untuk menciptakan dan merayakan narasi, imajinasi, serta ekspresi dalam berbagai bentuk seni, seperti drama, tari, musik, dan sebagainya. Ini adalah konsep “informasi” yang rumit dan kompleks. Ketika dipadatkan, ia menjadi sebuah festival –sebuah perayaan untuk merayakan sesuatu yang penting atau bernilai.


Maka FTJ 2023 ini menitipkan pandangan atau pemahaman khusus tentang peri kehidupan perteateran yang dapat muncul di Jakarta untuk menjadi barometer perteateran Indonesia. Kemudian "Homo Theatricus: Kota, Subsistensi, dan Imajinasi"  menjadi kurun dalam hidup ini di mana “saat” yang tepat untuk merenungkan perjalanan hidup perteateran di Jakarta (dan Indonesia), bersama pengalaman yang telah dialami, dan bersama tujuan yang ingin dicapai di masa depan. Hal ini dalam bahasa Ketua Dewan Kesenian Jakarta, Bambang Prihadi, sebagaimana disampaikan kepada pers, "FTJ tahun ini yang bukan hanya menandai kenangan masa lalu, tapi semangat menatap ke depan." 


Tentu saja itu menjadi refleksi tentang perjalanan hidup. Melihat kembali apa yang telah tercapai dan apa yang menjadi kegagalan. Ini pula mencakup evaluasi ulang terhadap nilai-nilai FTJ. Dengan demikian momentum 50 tahun FTJ harus dapat dijadikan momentum evaluasi untuk perikehidupan teater modern Indonesia, yang bersamaan pula menyemarakan pentas (filsafat) teater.


Semarak Festival Filsafat Teater


Sebuah pertunjukan teater dalam FTJ
Sebuah pertunjukan teater dalam FTJ  (foto: dok. Binus University)


Sepanjang usianya yang 50 tahun, adakah FTJ mempunyai (akar) tradisi filsafat teater? Baik ini tercermin dalam sejumlah pementasan yang merepresentasikan konsepsi pemikiran, maupun dalam pergaulan faktual para seniman teater? Jangan-jangan, Komite Teater DKJ baru “ngeh” bahwa sebuah festival teater harus bertarung dengan upaya-upaya mengakomodasikan konsepsi pemikiran –yang dalam hal ini bernama semarak festival filsafat teater.  


Harusnya, fetival teater di Indonesia, terlebih Festival Teater Jakarta, bukan semata perayaan budaya rutinitas. Melainkan, ia adalah representasi konsep “informasi” yang rumit dan kompleks. Dan ini ketika dipadatkan, ketika menjadi sebuah festival teater maka ini menjadi sebuah perayaan untuk merayakan sesuatu yang penting atau bernilai. Di dalam kesemarakan festival yang begini, ada persemayaman filsafat teater pada sebagian besar pertunjukan teater yang ditampilkan.


Filsafat teater di sini adalah konsepsi pemikiran yang disembunyikan pertunjukan teater untuk mempertimbangkan pertanyaan-pertanyaan filosofis yang berkaitan dengan hidup dan kehidupan. Karuan saja fetival semacam ini melibatkan pemikiran mendalam tentang aspek-aspek konseptual pemikiran, dan pertimbangan tentang arti dan fungsi seni pertunjukan dalam masyarakat. Jika tidak demikian, maka Dewan Kesenian Jakarta (maupun dewan kesenian di daerah-dearah lainnya) harusnya malu mengapa tradisi teater modern Indonesia tidak punya kesemarakan filsafat teater dalam momentum festival teater.


Rasa malu ini bisa ditutupi mankala alumni festival menuju “senior” diberikan bea siswa untuk  kursus reguler teater yang diadakan Dewan Kesenian Jakarta (maupun dewan kesenian di daerah-dearah lainnya). Hasil dari kursus reguler ini adalah pementasan yang dinilai para juri tingkat tinggi, tidak lagi menggunakan cara-cara picisan dengan memberikan peluang pementasan semata bagi pemenang festival teater. Otak para pelaku-pelaku teater yang memenangkan festival juga harus diberikan gizi dan protein, yang bernama kursus reguler teater. Masa kursus ini selama 6 bulan apa 3 bulan, bisa dimusyarawarakah oleh para pemangku kepentingan. Selain cara menanamkan filsafat teater, kursus ini juga cara melihat sebuah festival mempunyai pasca perayaan untuk memproduksi para “pemikir”.


Maka pada semarak festival teater yang punya esensi demikian, dapat ditemukanlah apa itu representasi pemikiran teater. Ini mencakup pertanyaan tentang apa yang membuat pertunjukan teater "indah" atau "berkualitas." Filsafat teater di sini jadinya memberitahukan untuk mempertimbangkan elemen-elemen seperti rancangan panggung, akting, pencahayaan, dan suara dalam konteks nilai seni.


Kemudian kesemarakan itu pula yang memberikan interpretasi dan makna. Sehingga filsafat teater yang terhampar dalam kesemarakan festival teater itu jadi sering mengungkap makna dari karya teater. Dan ini bagaimana karakter dan cerita dalam teater dapat diinterpretasikan, lalu dipertanyakan: apakah ada makna yang mendalam di balik pertunjukan tersebut.


Tidak sampai di situ saja. Terhadap peran penonton pun dipertanyakan. Pertanyaan tentang bagaimana penonton berinteraksi dengan pertunjukan, dan apa dampaknya pada penonton, menjadi konsepsi dasar dari para peserta festival Ini untuk dipenuhi. Soalnya begitu signifikan mempertimbangan penonton dengansegala makna dan estetisnya. Dengan begitu festival teater begitu semarak oleh adanya filsafat teater yang digenggam setiap peserta. Lantaran filsafat teater memberikan kerangka kerja untuk memahami seni pertunjukan secara lebih dalam dan kritis. Ini memungkinkan para seniman teater untuk menjelajahi pertanyaan-pertanyaan fundamental tentang seni teater dan dampaknya pada budaya dan masyarakat.


Persemayaman Tradisi Pemikiran


Konferensi pers FTJ ke-50 tahun 2023
Konferensi pers FTJ ke-50 tahun 2023 (foto: dok. Humas Festival Teater Jakarta)


Harusnya sebuah festival teater yang sudah berumur 50 tahun, tradisi-tradisi pemikiran sudah menghujam. Tradisi pemikiran yang buat generasi kini dapat dijadikan bahan daya guna mengeksplorasi bagaimana konsepsi pemikiran itu disemai, dan direpresentasikan dalam idiomatik yang berbeda-beda. Oleh karenanya tradisi pemikiran dari hasil festival teater, apalagi yang berumur 50 tahun, tidak lagi sekadar membentuk "homo theatricus” yang hidup di kota, melainkan sebingkai ekspresi, yang oleh filsuf Aristoteles disebut: "Seni teater adalah refleksi kehidupan yang nyata." 


Bingkai pemikiran ini, akan menggali kontribusi para peserta festival teater dalam merenungkan makna eksistensi manusia yang tercermin dalam festival teater ini. Aristoteles, salah satu bapak filsafat teater, menekankan konsep seni teater untuk merefleksikan kisah-kisah manusia. Dalam festival teater, pertunjukan yang menggambarkan kebahagiaan, penderitaan, dan perjalanan karakter mencerminkan pandangan filsafat tersebut, filsafat yang juga menempatkan seni sebagai cerminan kehidupan yang nyata.


Dari tradisi pemikiran yang disemayamkan kurun festival teater selama 50 tahun pula, bisa ditapaki juga teater sebagai wahana untuk memahami kontrak sosial dan hubungan antarindividu dalam masyarakat. Dalam tradisi festival ini, dapat diihat bagaimana karakter dan plot dalam pertunjukan mencerminkan dinamika kontrak sosial dan hubungan sosial yang berkembang. Tradisi pemikiran filsafat ini juga berbicara tentang kehendak untuk berkuasa dan bagaimana individu dapat mempengaruhi dunia. 


Akhirnya bahwa Festival Teater Jakarta 2023 berumur 50 tahun, adalah bukti bahwa seni pertunjukan adalah cerminan eksistensi manusia dan sejarah kehidupan kita. Dengan menggunakan perspektif filsafat dan melibatkan pemikiran maka kita dapat merenungkan perjalanan hidup "homo theatricus di banyak kota, yang berdaya subsistensi, dan punya imajinasi." Maka ada makna eksistensi, dan pengaruh sosial yang tercermin dalam festival teater ini, yang merayakan budaya dan kemanusiaan.


Tentu saja ini adalah pengingat bagaimana seni teater dapat menjadi jendela ke dalam perjalanan manusia. Serta merenungi pemikiran di sekitar homo theatricus ketika pemikiran itu terperangkap dalam rutinitas festival. ***


*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.


Ads