Mlaku-Mlaku neng Paluagung: Upaya Menatap Seni dari Perspektif Petani/Pekebun -->
close
Pojok Seni
08 November 2023, 11/08/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-11-08T01:00:00Z
Artikel

Mlaku-Mlaku neng Paluagung: Upaya Menatap Seni dari Perspektif Petani/Pekebun

Advertisement

Hutan bakau di Paluagung, Tegaldlimo, yang menjadi sebagian bahan dan alat utama dalam kegiatan “Mlaku-Mlaku neng Paluagung”, dengan pimpinan produksi Afif Jauhari Asihanang, petani/pekebun, yang coba melihat seni (Foto: Muhammad Kharis Anadziri)



Iqbal A. Rumangkang


Mencari ‘Jalan Sendiri’ dalam Melihat Seni dari Perspektif Petani/Pekebun Paluagung


Saya di sini hanya mengumpulkan sekitar lima tulisan—(tukang ngumpulin tulisan) yang difungsikan untuk mengantar, layaknya mengantar penunmpang dari bus kota jurusan Jajag, Banyuwangi-Situbondo, begitu sebaliknya dari Situbondo-Jajag, Banyuwangi, yang selama ini menjadi bagian dari pekerjaan saya sebagai seorang kenek bus; saya mulai dari catatan singkat ini, yang kemudian dilanjutkan dari potongan-potongan tulisan Afif Jauhari Asihanang, M. Krisdianto Wahyudi, Farhan Zuhri, Sri Utami, dan Muhammad Kharis Anadziri. Kegiatan “Mlaku-Mlaku neng Paluagung” (Jalan-Jalan di Paluagung), merupakan kegiatan yang dimunculkan dari obrolan di gardu pohon buah naga milik Afif, sepulang saya bekerja dan mampir dari Jajag ke Paluagung, yang dibutuhkan waktu kurang lebih sekitar satu jam setengah perjalanan dengan motor jadul saya. 


Afif bercerita banyak, bahwa berita-berita seni yang diakses dari YouTube seperti instalasi video, yang kemudian dipajang/dipamerkan di ruang utama galeri, dan setiap orang masuk menyaksikan dengan segala macam perjanjian selama beberapa menit. Penandatanganan kontrak tersebut ditujukan untuk mendorong orang-orang yang masuk itu tetap terlibat dengan instruksi yang diberikan oleh pembuat program, khususnya yang membuat instalasi video tersebut. Dan dilanjutkan dengan segala macam metode yang terjadi di ruang galeri yang dimaksud; misalnya setiap penonton diwajibkan melihat dengan mata tertutup, untuk selalu rileks, dan bernafas dengan tenang, maupun beberapa hal lainnya terkait aturan main yang dibuat dan disepakati. Dianggap oleh Afif itu bagian dari taktik pelaku seni. Sementara dirinya bukan seniman, bukan tukang buat instalasi video, bukan filmaker, juga bukan perupa, tapi skripsinya tentang seni rupa yang dilakukan oleh anak-anak PAUD, karena pendidikannya sarjana PAUD yang kini mengajar di PAUD, sekilas belajar teater di Komunitas Gelanggang, Universitas Jember (Unej), selain pekerjaan utamanya seorang petani/pekebun; yang kerjaannya selalu ada di bawah pohon buah naga, kebun cabe, dan nyari pakan rumput untuk kambing-kambing yang dipeliharanya, serta sesekali ke hutan bakau untuk nyari kerang. 


Terkadang untuk dijual, dan terkadang untuk dimakan sendiri. Kalau ingin lebih susah lagi, nyari kepiting pada saat yang memungkinkan. Kira-kira mungkin tidak dari berita-berita instalasi video itu, dirinya menatap seni untuk petani/pekebun yang ada di Paluagung, dan membawa orang-orang untuk jalan-jalan di Paluagung dengan segala macam taktiknya. Tetapi kiranya taktik apa yang tepat untuk digunakan?

 

Pertanyaan di atas, langsung saya respon dengan mengambil sebatang pisau dari balik punggung, dan didorong ke tubuh saya yang sedang gatal berhari-hari tidak mempan dengan puluhan jenis pil sekitar tiga mingguan (sudah). Pil yang sedikit punya dampaknya. Katanya saya mesti disuntik, dengan harapan ketika disuntik bisa sembuh gatal-gatal di setiap tubuh yang berkeringat. Mesti menyalakan kipas angin. Kini, kegatalan itu dimasukkan ujung pisau hingga berdarah. Mata Afif cukup terperangah melihatnya. Menegangkan. Sudah pasti. Tepat di antara dari pundak ke pergelangan tangan. Gatal berubah menjadi sakit. Karena cukup menjengkelkan saya, setiap hari harus menyiapkan air rebus, sekitar tiga kali. Setiap jam delapan pagi, lima sore, hingga pukul dua dini hari. Itu hari-hari yang menyebalkan pada kala itu, dan kini mulai lagi. Dipertemukan dengan sesama petani/pekebun, malah dihadapkan dengan keinginan untuk melihat sebuah kegiatan seni, dalam melihat kebudayaan secara global. Kegatalan yang selama ini dirasakan tidak lagi dirasakan. Hanya dilihat kucuran darah yang mengalir, dan tidak ada lagi ketakutan akan gatal yang selama tiga minggu ini selalu menyerang saya. Seperti guna-guna yang ‘halus’ dikirim oleh para tukang santet. Layaknya di Banyuwangi, yang hingga kini masih banyak melakukan praktik demikian.


Tangan yang terluka oleh ujung pisau, lalu dibalut dengan kain dari sobekan kaos saya, dan diikat secara kuat, dilupakan segala macam kegatalan itu. Seperti menjawab ketakutan Afif atas keinginan untuk membuat sebuah kegiatan. Kalau itu terus dipikirkan, seperti siksaan batin yang terus menggejala, tetapi saya kira lebih baik menggunakan siksaan fisik dengan mencabut semua bayangan-bayangan yang menjengkelkan. Afif takut tidak diterima dalam melihat seni, sebagai petani/pekebun, yang basis utamanya adalah pameran yang ingin dipertemukan dengan pertunjukan dan dokumenter. Kalau dihubungkan bahwa kegiatan “Mlaku-Mlaku neng Paluagung” sebagai kegiatan pameran-pertunjukan-dokumenter. Secara terbuka yang menarik/menyeret alam semesta Paluagung, menarik/menyeret tentang hasil-hasil panen Paluagung, sebagai bagian dari pada realitas diri mereka atas mimpi-mimpi orang-orang yang ada di dalamnya. 


Atas imajinasi-imajinasi dan kritik terhadap sistem yang buat oleh stakeholder terdekat, khususnya kritik terhadap kepala dusun, kepala desa hingga bupati, maupun rasa frustasi dan kekurangan hidup mereka sendiri. Yang terlihat kerja kolektif, tapi pada dasarnya ada hal yang tersembunyi, hanya omong kosong kata kolektif tersebut. Sendiri-sendiri kenyataannya. Kalau tidak ada cuan, tidak berangkat. Afif hanya ingin membuat sebuah kegiatan yang berangkat dari sebagian besar realitas yang dialirkan di semesta Paluagung, atau semacam pertunjukan langsung, yang memang langsung diangkut dari kehidupan mereka. Hidup dari mereka sebagai masyarakat Paluagung, yang sumber materialnya adalah dari sana. 


Lantas apa hubungannya dengan instalasi video yang dilihat dan ditonton oleh Afif, sebagai serangkaian dari kegiatan ini, yang coba diusahakan berasosiasi dengan rekan-rekan terdekat mereka; terutama dengan tiga nama lainnya yang sudah disebutkan di atas. Kami jujur juga tidak mengerti dengan istilah dari instalasi video itu, tetapi kami jadi mempelajari satu kata perkata, dari kata instalasi, terus kata dari video itu. Pertanyaannya bisakah para petani/pekebun seperti kami,  membuat video-video, ibaratnya sebuah eksperimen, yang mana jauh dari percaturan pengetahuan seni,  ikut nimbrung dan akses-akses pembicaraan seni pun terasa jauh. Malas. Padahal sudah dipermudahkan dengan akses internet melalui zoom meeting misalnya yang dilakukan platform-platform seni. Tatapi tetap saja malas. 


Apalagi secara langsung. Itu pun adanya di kota Banyuwangi, yang perlu ditempuh sekitar dua jam setengah dari tempat kami. Apa yang mesti dilakukan? Apakah perlu suatu keberanian untuk menghentikan sejenak gatal-gatal di tubuh saya, pikiran-pikiran akan jadi apa, dalam kepala Afif nantinya. Dia masih merasakan bahwa pengetahuan seni yang tidak dimilikinya secara kontinu, tetapi ingin dilihatnya bersama-sama di kampung untuk dimulai dan diteruskan setiap waktunya, berdiskusi, duduk sejajar, dan lainnya, serta saling tukar pikiran. Karena dia merasa salah satu mahasisawa yang pulang kampung, yang terkena dengan pertanyaan-pertanyaan klise; kenapa gak di kota saja. Karena umumnya rekan-rekan Afif kuliahnya di Banyuwangi, pasti pulang, kalau kuliah di luar Banyuwangi, pasti hilang mencari penghidupan yang lebih layak. 


Gatal di tubuh saya seketika mulai terasa kembali, tepatnya di paha sebelah kanan, tanpa basa-basi lagi, saya menyalakan korek api, dibuka celana pendek saya tinggal celana dalam saja, digaruk hingga terluka dan dibakar sampai terasa sangat panas dan situasi kembali menegangkan. Mata saya cukup berair menahan panas dari korek api terhadap paha saya. Gatal seketika berubah lenyap menjadi fisik yang tersiksa. Sirna gatal di tubuh, bebas beralih menjadi sesuatu yang berbeda. Dan nampaknya dua tindakan ini kemudian dijadikan, referensi atas sikapnya Afif untuk memulai dan mengumpulkan rekan-rekan petani/pekebun, untuk dituliskan catatannya atas kegiaan yang dilakukan, yang berlangsung pada  tanggal 16 Agustus-16 September 2023 lalu, yang kemudian atas inisiasi tersebut secara bersama-sama, dipikirkan jalan lainnya, kemudian diajukan untuk difasilitasi oleh Stimulan Kegiatan Ekspresi Budaya Tahun 2023, Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi—yang juga sempat tertunda bantuannya, mereka pun tetap melangsungkan kegiatan sesuai dengan waktu yang sudah ditentukan/direncanakan; yang bisa dilihat kegiatannya melalui link berikut (melalui channel Afif Jauhari Asihanang);


 


Potongan-Potongan Catatan Afif Jauhari Asihanang: Dari Kata ‘Anyep’ dan ‘Adem Ayem’ 


Keranjang buah ukuran jumbo setinggi dua meter lebih yang dilihat dari praktik-praktik setiap rumah di Paluagung yang memiliki keranjang buah, baik untuk mengumpulkan buah naga, jeruk, cabe, terong, dan beberapa buah lainnya (Foto: Muhammad Kharis Anadziri)


Kegiatan “Mlaku-Mlaku neng Paluagung” (Jalan-Jalan di Paluagung) ini secara keseluruhan prinsip dasarnya menyajikan ruang-ruang yang paling sublim dalam menganalisis dimensi kemasyarakatan melalui berbagai medium secara kritis untuk memantulkannya pada media lainnya atau berita-berita yang tengah beredar. Tepatnya menjadi isu hangat belakangan ini yaitu “flexing” barang-barang mewah yang dilakukan ‘orang penting’ dan keluarga atau kerabatnya, yang kemudian juga di kemudian hari ditangkap atas kejahatan korupsi. Sekaligus berbagi pengetahuan atas minimnya asumsi atas informasi yang tengah beredar tersebut pada sekelompok masyarakat yang spesifik (cukup jauh dari kota). Tetapi paling tidak usaha generasi baru dalam mengungkapkan minatnya untuk menganalisis media dan informasi dalam konteks kemasyarakatan, yaitu dalam kaitannya dengan interaksi ekonomi, politik, budaya, struktur kekuasaan, dan pola stratifikasi, serta kesenjangan yang terbentuk pada masyarakat kapitalis kontemporer—yang sering kali diunggah melalui beberapa media sosial. Sehingga generasi baru coba melihat itu semua untuk digunakan sebagai pengetahuan yang barangkali dapat dilakukan lebih kritis.


Kegiatan ini juga sebagai usaha dalam memperbandingkan gagasan-gagasan masa kini oleh masyarakat secara luas melalui media sosial  yang memberikan informasi dengan segala macam kepentingan yang dominan dipahami memihak pada kebijakan-kebijakan tertentu. Nah, dukungan stimulan yang muncul dari generasi baru Paluagung memicu untuk melakukan suatu kegiatan alternatif dalam “flexing”, yang ingin dipahami sebagai suatu kesederhanaan. Tentu saja bahwa media yang dapat diakses dari hape masing-masing, tidak dapat dinafikkan begitu saja sebagai kerja pengetahuan, dan teknologi informasi; tetapi informasi inilah yang dianalisis secara komprehensif bahwa pada kenyataannya masyarakat Paluagung dapat memamerkan barang-barang kebanggaan, kebahagiaan, dan kesenangan tersendiri dari hasil pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan. Di mana semua hasil itu diproduksi, dikelola sendiri, dan dibagi pada satu keluarga yang bisa mendukung kegiatan ini. Khususnya dalam mendukung konsumsi pada saat persiapan, merupakan hasil pertanian dan peternakan Paluagung (beras, ayam, kecambah, sayur mayur, pisang, kacang panjang, dan jambu air)—yang tidak diputuskan untuk membeli melalui warung yang cukup jauh dari Paluagung.


Hal ini seketika diputuskan juga dikarenakan melihat banyak informasi melalui media mengenai isu-isu tentang kapitalisme keuangan, kapitalisme hiperindustri, krisis kapitalisme, dll., yang mana generasi baru Paluagung hanya mendapatkan dampak dari isu-isu tersebut, yang hingga kini masih tetap saja hidup sederhana dan gak ngoyo (berlebihan). Dibutuhkan aktivasi yang ketat dan intens kepada masyarakat ke depannya. Tantangan yang paling besar dalam kegiatan ini yang dibicarakan secara keseluruhan, mengatur skema praktik kerja “Mlaku-Mlaku neng Paluagung”; terkait pameran atau kami sebut “flexing” yang ada di alam Paluagung—bagian dari pertunjukan-dokumenter, yang mana pemahaman ini juga diinterpretasi dari informasi media. Secara umum, masyarakat Paluagung tidak dapat dengan mudah langsung menerima bahwa itu semua dari segala macam sistem ekonomi berbasis kebudayaan. Lantas  tidak berarti terhenti, karena bagaimanapun proses diskursus tidak dapat berjalan sekali dua kali atau sekejap, dan ini memang diperlukan kesinambungan dalam per bulannya.


Pengetahuan tentang kapitalisme keuangan, kapitalisme hiperindustri, krisis kapitalisme, dll., dibawa secara pelan-pelan pada modus kerja yang sederhana. Objek-objek ekonomi yang sering dilihat masyarakat Paluagung setiap harinya dibentuk oleh sebuah sejarah panjang antara warisan nenek moyang dan kekuatan produktif dalam merawat maupun menjaga warisan keluarga. Tentu apa yang dituju ini sangat berbeda dengan pengertian seni secara global, yang dipahami oleh mereka. Sejak era 1960-an hingga kini, hutan bakau, dan jalanan Paluagung dibentang oleh persawahan maupun hutan jati, serta jalan rusak juga diyakini tidak mengubah cara pandang, dengan membuat suatu terobosan dalam pengembangan masyarakat pedesaan. Kebiasaan yang sering terjadi,  masyarakat yang menempuh pendidikan di luar Paluagung ataupun memilih tinggal di kota, tidak memiliki keinginan ‘pulang’ dalam pengembangan tersebut selain pengungkapan bahwa Paluagung sejak dulu selalu sama.


Generasi baru seperti kami sebagai corong pengetahuan dan teknologi informasi, atas kekuatan media yang beredar, modal perantauan di kota, sekolah tinggi di kota, dan beragam metode lainnya sebagai kekuatan ke depannya melalui pertemuan antara lahan pertanian, perkebunan, peternakan, dan kehutanan (jati & bakau) dengan seni, diyakini sebagai kekuatan produktif dan hubungan produksi ke depannya dalam melihat beragam fenomena yang sedang berlangsung dan saling mengandung satu sama lainnya. Kekuatan lainnya tidak bukan, serapan informasi narasumber maupun periset dari luar Paluagung, diterima dengan baik dan dicantumkan namanya secara formalitas, dikarenakan sudah memberikan pengetahuan, juga menjadi teknologi informasi, sebagai pemberi sains, sekaligus berbagi pengetahuan teoritis, yang boleh direduksi menjadi suatu kekuatan dari masyarakat Paluagung sendiri melalui banyak teknologi transportasi kami seperti perahu misalnya.


Perahu-perahu nelayan pemburu/penjual kerang, sepeda motor butut, dan tungku di atas perahu, menjadi bahasan yang cukup alot dalam kegiatan ini sebagai suatu produk seni. Di mana objek-objek ini diasumsikan sebagai objek yang ‘tidak memiliki daya jual’, tetapi pertimbangan “flexing” objek mewah melalui media sosial yang tidak dapat dijangkau oleh masyarakat Paluagung sebagai suatu hubungan produksi yang timpang. Ketimpangan atau kesenjangan sosial ini yang perlu diedarkan untuk menghasilkan respons. Respons ini sangatlah penting yang terus dibawa, sekalipun sudah diprediksi sebelumnya bahwa apa yang dipamerkan merupakan objek-objek yang sangat dekat dengan keseharian bukan menjadi ‘daya tarik’. Pertanyaannya, kenapa mesti dipamerkan, maksudnya apa, kenapa digantung, kenapa disajikan, dan kenapa dipotret, serta kenapa dihiperbola menjadi kerja-kerja dialektis yang bakal disebut menjadi isu/gosip setahun ke depan di Paluagung; tanpa banyak melibatkan orang-orang dari luar Paluagung. Bahkan fotografer/videografer pun pada pameran video eksperimen pun dipilih dari semesta kami, bukanlah seorang seniman, melainkan petani/pekebun. 


Pemilihan fotografer/videografer yang bukan dari kalangan profesional dalam menentukan angle kamera/posisi bidik potret, juga menjadi modal dari sekian jepretan foto ‘ala kadarnya’, yang diperiksa bahwa kita mesti memiliki suatu perubahan yang signifikan dalam hidup, sekalipun juga ke depannya kita masih berada pada cengkeraman hiruk pikuk masyarakat kapitalis. Kegiatan dari objek-objek ekonomi yang sehari-hari dilihat maupun potret dari situasi sehari-hari yang tidak kalah menariknya ketika mengundang jaranan, tetaplah menjadi kekuatan yang akan dibicarakan sebagai wacana. 


Kegiatan ini semacam mediasi dari adanya pembentukan teknologi informasi (sebagai bagian dari alat produksi sehari-hari) dan kerja pengetahuan multidisiplin (yang dicirikan oleh komposisi pertanian-seni, perkebunan-seni, dan kehutanan-seni) yang selama ini banyak kerjanya dicirikan dengan mental-mental fitur manual/ala kadarnya; yang bisa dilihat melalui berikut ini (melalui channel YouTube Afif Jauhari Asihang);


 


,

,

Ads