Kemajuan Batik sebagai Industri Kreatif dan Inovasi Menghadapi Zaman -->
close
Adhyra Irianto
08 November 2023, 11/08/2023 03:53:00 AM WIB
Terbaru 2023-11-07T21:00:32Z
ArtikelBudaya

Kemajuan Batik sebagai Industri Kreatif dan Inovasi Menghadapi Zaman

Advertisement
Kemajuan dan inovasi batik

Pojok Seni - Bicara tentang sejarah batik, maka kita akan mengurutkan sebuah kisah panjang di Nusantara sejak tahun 700 masehi. Penelitian Suciati dan kawan-kawan di tahun 2014 ([1]) menyebutkan kemajuan industri batik sudah dimulai sejak era Raden Wijaya di Majapahit, terhitung sejak tahun 1.249 hingga 1.309 M. Steelyana (2012, [2]) menyebut di era-era pertama industri batik dimulai, bangsawan Jawa adalah konsumen yang membeli dan menggunakannya. 


Perkembangan batik berikutnya masuk ke tahap kedua pada tahun 1840-an (Sekimoto, 2003, [3]). Inilah era 2.0 bagi industri batik Nusantara, di mana industri batik sudah tidak hanya melayani bangsawan Jawa, tapi juga seluruh lapisan masyarakat. Era 3.0 pada industri batik terjadi pada abad ke-20, tepatnya mulai tahun 1920-an. Pengembangan mulai terjadi pada bahan baku warna, yang mulai menggunakan pewarna sintetis berbahan kimia yang diimpor dari Inggris dan Jerman (ibid, 2003). Tidak hanya menembus ke dalam kain dengan lebih baik, tapi juga membuat pengerjaan batik menjadi lebih cepat. Karena itu, abad ke-20 menjadi era di mana batik Indonesia mulai booming dan merambah pasar internasional (Shaharudin, et all, 2021, [4]).


Era 4.0 bagi industri batik dimulai ketika Kementerian Perdagangan Indonesia mengakui industri batik sebagai salah satu dari 14 industri kreatif yang paling berdampak besar pada perekonomian dan sosial budaya di Indonesia (Budiono dan Vincent, 2010, [5]). Menariknya, dampak besar tersebut tidak hanya karena perusahaan besar, tapi justru dari usaha kecil dan menengah (UKM) yang saling berkaitan dan mendukung satu sama lainnya (Jones, 2018, [6]). Terutama, pengusaha batik di wilayah Cirebon, Yogyakarta, Pekalongan, dan Solo. Dari sekitar 50.000 perusahaan batik di Indonesia, sebagian besarnya berasal dari empat daerah tersebut (Shamasundari, 2017, [7]). 


Puncaknya adalah, Unesco mengakui batik sebagai intangible cultural heritage (ICH) atau warisan budaya tak benda [8]. Hal ini juga menjadikan batik semakin meningkat popularitasnya di dunia, dan membuka lapangan pekerjaan yang sangat besar bagi masyarakat (Hengky, 2014, [9]). Tahun 2014, nilai ekspor dari sektor industri batik tercatat setinggi 340 juta USD atau setara dengan Rp5,3 triliun (Zahidi, 2017, [10]). Jumlah tersebut meningkat pesat hingga tiga kali lipat dai tahun 2021 dengan nilai 1,5 miliar USD atau setara dengan 23,4 triliun rupiah! Angka tersebut jauh lebih tinggi dari pendapatan negara yang didapatkan oleh K-Pop untuk Korea [11].


Tantangan Industri Batik


Meski demikian, bukan berarti industri batik Indonesia tanpa tantangan. Secara umum, dari berbagai penelitian yang dirumuskan oleh Shaharuddin dan kawan-kawan (ibid, 2021) sejumlah tantangan yang dihadapi industri batik bisa dilihat di  bagan di bawah ini.


Tantangan industri batik
Tantangan Industri batik (Shaharudin et al, 2021)


Bisa dilihat sejumlah masalah batik terkait dengan masalah lingkungan, ekonomi, sumber daya alam dan manusia, pemanfaatan energi, ketenagakerjaan, dan sebagainya. Misalnya untuk bahan baku batik tulis yakni lilin, bahan kimia, pewarna, dan kain. Bahan batik yang bisa diproduksi sendiri atau didapatkan di dalam negeri hanya lilin (wax). Sisanya, mulai dari kain (impor kapas) diimpor dari India, China, dan Amerika. Sedangkan bahan-bahan kimia, diimpor dari Eropa seperti Jerman. (Akhir et all, 2015, [12]).


Hal itu menyebabkan kendali pengusaha batik terhadap harga produk menjadi lebih sedikit. Pengaruh harga batik sangat terkait dengan fluktuasi harga pasar, dan nilai tukar mata uang asing (Yoshanti & Dowaki, 2009, [13]). Belum lagi ditambah dengan tekstil batik cetak (printing) yang juga lebih murah, membuat batik tulis mulai kehilangan pelanggan. Padahal, batik berarti menulis titik-titik di atas kain. Maka, secara tradisional, pembuatan batik mestinya tertulis.


Namun, batik cap dan batik printing benar-benar mengancam pasar batik tradisional. Sehingga sejumlah pengusaha batik tradisional akhirnya gulung tikar karena datangnya batik cap dan batik printing ini. Penerapan ACFTA (Asean-China Free Trade Area) menjadikan nilai impor meningkat hingga 10 juta USD (Kurniawan & Syah, 2017, [14]). Masalah paling berat adalah, semakin sedikit pekerja pembatik manual di beberapa tahun terakhir, terutama generasi muda (Khalili, 2018, [15]). Berkurangnya pekerja membuat sejumlah pengusaha batik manual semakin tertekan, dan terus tergerus dengan batik printing dan cap.


Berikutnya, UNESCO mengklasifikasi batik sebagai warisan budaya, dalam tiga jenis, yakni batik tulis (menggunakan canting), batik cap (menggunakan blok), dan gabungan keduanya. Berarti, UNESCO tidak mengklasifikasikan batik printing sebagai jenis batik. Mau tidak mau, inovasi dan melibatkan teknologi bisa diciptakan, tanpa membuat batik printing. Salah satunya adalah mengadopsi teknologi CNC (computer-aided design), CAM (computer-aided manufacturing), dan CNC (computer numerical controlled). Cara kerjanya adalah dengan memanfaatkan canting listrik yang mengambil lilin dari panci dengan manual, lalu melakukan penulisan batik secara otomatis mengikuti pola yang sudah dimasukkan atau diprogramkan. 


Canting batik listrik
Canting batik listrik

Pengembangan teknologi canting ini yang sekarang terus menjadi prioritas inovasi di industri batik (Rizana et al, 2018, [16]). Sistem berbasis  mikrokontroler mampu mengatur suhu dan juga kekentalan lilin, saat digunakan membatik. Tentunya, teknologi yang terus berkembang pada batik cap juga menjadi bahan pertimbangan untuk terus dikembangkan, agar batik mampu menyesuaikan diri dengan tantangan zaman namun tetap menjaga idealisme sebagai batik warisan budaya yang tinggi dari leluhur Nusantara.


Referensi


[1]Suciati, N., Pratomo, W. A., & Purwitasari, D. (2014). Batik motif classification using color-texture-based feature extraction and backpropagation neural network. In 3rd international conference on advanced applied informatics (pp. 517–521). https://doi.org/10.1109/IIAI-AAI.2014.108 

[2] Steelyana, E. (2012). Batik, a beautiful cultural heritage that preserve culture and supporteconomic development in Indonesia. Binus Business Review, 3(1), 116. https://doi.org/10.21512/ bbr.v3i1.1288 

[3]Sekimoto, T. (2003). Batik as a commodity and a cultural object. In S. Yamashita & J. Eades (Eds.), Globalization in the Southeast Asia: Local, national and transnational perspectives (pp. 111–125). Berghahn Books 

[4]Syed Shaharuddin, S. I., Shamsuddin, M. S., Drahman, M. H., Hasan, Z., Mohd Asri, N. A., Nordin, A. A., & Shaffiar, N. M. (2021). A Review on the Malaysian and Indonesian Batik Production, Challenges, and Innovations in the 21st Century. SAGE Open, 11(3). https://doi.org/10.1177/21582440211040128 

[5]Budiono, G., & Vincent, A. (2010). Batik industry of Indonesia: The rise, fall and prospects. Studies in Business and Economics, 5(3), 156–170. 

[6]Jones, T. (2018). International intangible cultural heritage policy in the neighbourhood: An assessment and case study of Indonesia. Journal of Cultural Geography, 35(3), 362–387. https://doi.org/10.1080/08873631.2018.1429351 

[7]Shamasundari, R. (2017, October). Celebrating Indonesia’s cultural heritage, batik. The Asean Post. https://theaseanpost.com/article/celebrating-indonesias-cultural-heritage-batik 


[9]Hengky, S. H. (2014). Beneficial images: Batik handicraft tourism in Yogyakarta, Indonesia. Business and Economic Research, 5(1), 11. https://doi.org/10.5296/ber.v5i1.6760 

[10]Zahidi, M. S. (2017). Batik as Indonesian public diplomacy in Asean economic community (AEC). International Journal of International Relations, Media and Mass Communication Studies, 3(2), 1–9. [11]Ini Penopang Pendapatan SM Entertainment, Terbesar dari Album Musik Artisnya. https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/03/01/ini-penopang-pendapatan-sm-entertainment-terbesar-dari-album-musik-artisnya 

[12]Akhir, N. H. M., Ismail, N. W., Said, R., & Kaliappan, S. R. (2015). Traditional craftsmanship: The origin, culture, and challenges of batik industry in Malaysia. In Islamic perspectives relating to business, arts, culture and communication (pp. 229–237). Springer. https://doi.org/10.1007/978-981-287-429-0 

[13]Yoshanti, G., & Dowaki, K. (2009). Batik life cycle assessment analysis (LCA) for improving batik small and medium enterprises (SMEs) sustainable production in Surakarta, Indonesia. In The EcoDesign 2015 conference (pp. 1–6). https://doi.org/10.1007/978-981-10-0471-1 

[14]Kurniawan, Y., & Syah, T. Y. R. (2017). Effect of the implementation of Asean China Free Trade AREA (ACFTA) on the import of batik textile products in Indonesia year 1998 – 2014. International Journal of Business and Management Invention, 6(2), 84–91. 

[15] Khalili, S. S. M. (2018, June 25). Social media lifeline for block batik. New Straits Times. https://www.nst.com.my/lifestyle/bots/2018/06/383745/social-media-lifeline-block-batik

Ads