Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Pojok Seni - Pertunjukan teater sejatinya menghadirkan sebuah peristiwa, atau bisa kita sebut sebagai pengalaman atmosferal. Berbeda dengan teks (dalam hal ini teks lakon), yang menghadirkan pengalaman tekstual selayaknya teks sastra lain, seperti puisi dan prosa misalnya. Karena itu, lahir sejumlah gerakan teater "tanpa naskah", baik mengandalkan dialog non verbal, maupun improvisasi.
Teater dibangun atas dasar imajinasi dan daya kreativitas, yang kadang bermula dari sebuah gagasan, bukan teks. Hal ini yang kemudian disebut sebagai "definisi" teater era post-modern.
Namun hal itu tidak menggugurkan naskah drama sebagai unsur penting dalam sebuah peristiwa teater, khususnya di ruang artistik. Naskah drama menjadi landasan sebuah tindak dan tutur di atas panggung, sebuah landasan awal bagi daya kreativitas dan imajinasi seorang sutradara, serta "pedoman" bagi seorang aktor. Apa yang harus aktor ekspresikan adalah apa yang dipersepsikannya dari sebuah teks lakon.
Teks lakon menjadi sebuah unsur yang tidak bisa dihindari atau dilewati begitu saja, terutama bagi aktor-aktor pemula. Meminjam terminologi Lajos Egri, sebuah naskah drama yang baik bermula dari premis yang baik. Namun tidak hanya sebatas premis, karena diperlukan karakterisasi, plot, pembangunan sub-cerita, hukum kausalitas, dan sebagainya yang saling mendukung untuk membangun argumentasi yang kuat untuk menyampaikan premis tersebut.
Seperti yang saya temukan di hari kedua Sala Monolog#10 yang digelar di Rumah Kita Baluwarti, Kompleks Kraton Solo, Jawa Tengah pada 17 November 2023. Hari kedua menampilkan tiga lakon, dibuka dengan pentas Matah Ati, naskah/sutradara: Bambang Sugiarto dari Sanggar Seni Kemasan Surakarta dengan aktor Resha Sekar Kinasih. Pentas kedua adalah Geen Theatre dari Bandung dengan lakon Topeng Topeng karya Rahman Sabur, Sutradara Hendra Baskara (Prakash Arab) dan aktor Rahmat Faisal. Rangkaian pertunjukan ditutup dengan pentas dari Jati Tenggilis Project asal Surabaya, yang membawakan naskah berjudul Bawa Aku Pergi karya/sutradara Fransiska Putri Setyawati.
Pentas Pertama: Matah Ati oleh Sanggar Seni Kemasan (Surakarta)
Pertunjukan Matah Ati oleh Sanggar Seni Kemasan Surakarta (foto: Willy Fwi) |
Pelakon dalam pentas ini bernama Resha Sekar Kinasih, yang masih berusia 14 tahun. Di usia yang sangat belia, aktor ini berlimang prestasi dan terlibat dalam sejumlah produksi artistik, baik film maupun teater. Malam itu, Resha Sekar Kinasih berperang sebagai Matah Ati, pendamping Pangeran Samber Nyawa yang berjuang untuk mendapatkan kemerdekaan. Pentas yang berdurasi sekitar 30-menitan ini menampilkan cerita berbasis sejarah yang diceritakan secara naratif.
Aktor membawa kayon atau gunungan wayang dan sebuah tokoh wayang perempuan. Diiringi musik yang imajis dari Gender dan Slenthem, menjadikan pentas ini begitu indah untuk dinikmati. Namun, harus diakui jam terbang aktor ini masih berpengaruh pada pertunjukannya. Saat salah satu gunungan wayangnya jatuh, aktor ini masih cukup kebingungan dan membiarkan kesalahan teknis tersebut berlarut-larut hingga akhir pentas. Ini memberi kesan bahwa aktor tersebut adalah seseorang yang mencoba menghafalkan semua dialog, laku, bloking, hingga bisnis aktingnya. Jadi, apabila ada hal yang terjadi hal-hal di luar latihan, maka aktor akan menjadi panik dan bingung mencari solusinya. Namun, hal tersebut sebenarnya bisa teratasi dengan memberi lebih banyak jam pentas untuk aktor tersebut. Apalagi, aktor ini punya talenta yang baik, bisa menjadi lebih baik bila terus dikembangkan.
Hal yang mesti digarisbawahi lagi adalah masalah naskah drama, seperti yang ditebalkan dalam artikel ini sejak awal. Naskah Matah Ati menawarkan sebuah narasi sejarah yang flat (datar) selama lebih dari setengah jam. Perlu kerja keras untuk membangun narasi panjang tersebut menjadi memiliki alur yang memikat. Karena itu, dengan seorang aktor pemula, maka bisa dibilang bahwa pentas pertama ini cukup dekat dengan bercerita (story telling) ketimbang monolog.
Mungkin akan lebih baik, bila aktor-aktor belia seperti ini bisa membawa naskah yang telah didesain dengan alur dan grafik yang mendukung pementasan, untuk menjaga hubungan antara pertunjukan (spektakel) dengan penonton (spektator). Setiap bit dan spektakelnya mampu mencengkeram kepala penonton dari awal hingga akhir. Alhasil, aktor tidak perlu dipaksa bekerja lebih keras untuk menghidupkan suasana atau pengalaman atmosferal dari lakon tersebut.
Pentas Kedua: Topeng Topeng dari Geen Theatre Bandung
Pentas kedua dibawakan oleh Geen Theatre asal Bandung dengan naskah berjudul Topeng Topeng karya Rahman Sabur. Pentas ini disutradarai oleh Hendra Baskara atau Prakash Arab, dengan pelakon Rahmat Faisal. Topeng Topeng menceritakan seorang pelakon yang bingung dengan eksistensi Waska dan Semar yang paradoksal. Waska adalah seorang dengan semua sifat keburukan, sedangkan Semar adalah seorang dengan semua sifat kebijaksanaan. Namun, Waska menyebut dirinya sebagai Semar, sedangkan Semar menyebut dirinya sebagai Waska.
Secara umum, pentas ini mampu menghipnotis penonton sejak detik awal pentasnya. Sutradara juga mampu menjaga grafik dan irama pertunjukan dengan baik. Perpindahan tokoh, dari narator ke Waska, ke narator lagi, ke Semar, dan kembali ke narator diejawantahkan dengan semiotika tubuh yang akrobatik dan menarik. Rahmat Faisal juga dengan baik mampu menerjemahkannya ke atas panggung. Sejumlah unsur, mulai dari tari topeng, ritual, dan sebagainya bisa di-mix dalam kadar yang tepat.
Ini juga ditunjang dengan naskah yang telah menawarkan alur cerita yang baik, karakterisasi yang baik, dan "grafik" yang juga menarik perhatian penonton. Kemampuan teknis keaktoran Rahmat Faisal dan kejelian sutradara Prakash Arab mampu memberikan sentuhan berbeda pada karya ini. Hanya saja pada timing transposisi antara narator ke Waskah di awal berlangsung cukup panjang durasinya yang berpotensi untuk killing the show bila bertambah sekitar beberapa menit saja. Namun, akrobatik tubuh aktor cukup mampu menggantikannya dengan sebuah tontonan yang memanjakan.
Pentas ketiga: Bawa Aku Pergi oleh Jati Tenggilis Project Surabaya
Pertunjukan Bawa Aku Pergi oleh Jati Tenggilis Project |
Pentas ketiga dibawakan oleh kelompok seni independen asal Surabaya bernama Jati Tenggilis Project. Lakon yang dibawakan berjudul Bawa Aku Pergi. Naskah ditulis, disutradarai, sekaligus dimainkan oleh Fransiska Putri Setyawati. Pentas dimulai dengan aktris yang membawa senapan angin, masuk perlahan dari luar area panggung, kemudian mencari seseorang bernama Emily yang kemudian dilamarnya. Cerita berlanjut ke Emily yang entah kenapa ingin dibunuh oleh aktris ini, lalu kemudian ia bimbang antara ingin dibawa pergi atau dijauhi oleh Emily tersebut.
Kembali ke masalah yang digarisbawahi artikel ini sejak awal, masalah naskah drama. Naskah yang ditulis oleh Fransiska Putri Setyawati ini cenderung flat, tanpa alur, tanpa karakterisasi yang kuat, tanpa motif yang jelas, dan secara umum bisa dibilang sebagai naskah drama yang tidak begitu tepat untuk pertunjukan. Ditambah lagi, dalam perspektif teknis keaktoran, aktris dalam pertunjukan ini juga masih belum terlalu menguasai panggung, juga hal-hal teknis yang fundamental lainnya, seperti vokal, ekspresi, gestur, dan sebagainya. Apalagi, orang yang sama adalah sutradara dari pertunjukan ini. Strategi yang dipilih adalah memutar posisi, penonton berada di atas panggung dan pemain berada di bawah. Desain panggung cukup ramai, namun tidak menguatkan visi dramatik dari naskah maupun peristiwa di atas panggung. Namun, strategi tersebut adalah sebuah terobosan yang perlu dipuji, memberikan pengalaman baru bagi penonton untuk menyaksikan sebuah pertunjukan monolog dengan cara yang berbeda.
Satu hal yang harus dijaga dari seorang Fransiska Putri Setyawati adalah keberaniannya untuk menerobos batas, memberikan kebaruan, dan semangat perubahan. Meminjam istilah Willy Fwi, seniman asal Riau yang sekarang berdomisili di Jakarta, bahwa akan lebih baik bila seorang aktor pemula yang ingin "menerobos batas" atau "memberikan kebaruan" untuk terlebih dulu menuntaskan pelajaran dasar teater. Semangat untuk menyampaikan gagasan yang luar biasa, serta totalitasnya dalam pertunjukan adalah sisi positif dari pertunjukan yang dibawa Jati Tenggilis Project Surabaya.
Kesimpulan
Dari tiga pertunjukan tersebut, bisa dibilang hanya Geen Theatre yang membawakan naskah yang "telah diakui" sebagai sebuah naskah standar pertunjukan monolog di Indonesia. Dua pertunjukan lain membawakan naskah-naskah yang mungkin lebih indah untuk dibaca, ketimbang dipertunjukkan. Atau, minimal perlu usaha yang lebih keras untuk menjadikan pertunjukannya lebih berinteraksi dengan penontonnya. Naskah-naskah yang lain mungkin akan memberikan pengalaman tekstual yang baik dan menggugah, namun kurang tepat bila dibawakan "utuh" sebagai sebuah pengalaman atmosferal. Naskah-naskah tersebut juga perlu dibongkar, ditambal-sulam, bahkan diobrak-abrik untuk kebutuhan pentas. Karena teater bukanlah teks yang diverbalkan, ia memiliki dimensi yang lain. Yah, seperti disebut sebelumnya, dimensi yang dimaksud adalah dimensi atmosferal.