Eksistensi Seniman Dalam Pemilu -->
close
Pojok Seni
25 November 2023, 11/25/2023 01:29:00 PM WIB
Terbaru 2023-11-25T06:29:04Z
Opini

Eksistensi Seniman Dalam Pemilu

Advertisement

posisi seniman di pemilu

Oleh: Zackir L Makmur


Di Indonesia, Pemilihan Umum (Pemilu) Tahun 2024 sudah semakin memasuki babak dramatis. Inilah sebuah peristiwa besar yang memengaruhi arah negara 17 ribu pulau. Dan di sisi yang bersamaan, ini pula suatu momen yang –sangat mungkin--  menarik perhatian seorang seniman. 


Bagi kebanyakan orang, termasuk sejumlah seniman, Pemilu adalah panggung demokrasi, tempat di mana masyarakat memiliki kesempatan untuk mengukir takdir mereka sendiri. Seperti kuasanya yang dipegang oleh rakyat, Pemilu menjadi kanvas yang mencerminkan warna-warni aspirasi dan harapan.


Dalam cakrawala pemilihan, seniman melihat kontras antara kekuatan dan kelemahan, antara cahaya dan bayang-bayang. Dalam konteks ini ada kata-kata Albert Einstein, yang begitu puitis: "Demokrasi adalah suatu proses yang tak pernah selesai". Ia bukan seniman, namun kata-katanya itu seperti seniman mencermati nilai-nilai hakiki. Dan ini yang diperjelas oleh seniman Victor Hugo, bahwa: "Pemilu adalah tongkat yang baik untuk mengukur sejauh mana keadilan masih berdiri." 


Oleh karena itu spesies yang bernama seniman, mencatat bahwa pemilu bukanlah tujuan akhir, melainkan sarana untuk mencapai tujuan pemantapan nilai-nilai kebangsaan. Dalam pemilihan, setiap suara adalah bagian dari simfoni demokrasi, dan seniman menggambarkan perbedaan itu sebagai keindahan yang tidak dapat diukur.


Di tengah keseruan pemilu, seniman juga melihat ketegangan dan konflik. Seperti yang diungkapkan oleh Jean-Jacques Rousseau, "Pemilihan umum adalah suatu bentuk perang sipil," dan seniman meresapi kebenaran dalam kata-kata filsuf tersebut. Pemilu, bagaimanapun, harus diperjuangkan dengan etika dan keadilan.


Dalam refleksi seniman terhadap pemilu, ada juga kekhawatiran terhadap manipulasi dan intrik politik. Seperti yang diucapkan oleh Socrates, "Orang yang tidak berpartisipasi dalam politik akan dihukum oleh orang yang lebih rendah darinya sendiri." Seniman mencatat bahwa setiap warga negara memiliki tanggung jawab untuk terlibat dalam proses demokrasi, dan pemilu adalah panggilan untuk melibatkan diri dalam perubahan.


Epos Dalam Konteks Pemilu


Dalam melihat Pemilu sebagai bagian dari perjalanan sejarah, seniman merenungkan kisah-kisah epik yang telah menjadi bagian tak terpisahkan dari warisan manusia. Seperti kisah Odysseus dalam "Odyssey" karya Homer, seniman melihat paralel antara perjalanan politik dan petualangan pribadi (relevansi hal ini baca juga artikel saya, Lakon Odysseus Dalam Pengertian Politik, Pojok Seni,  06 November 2023, 11/06/2023). Pemilihan umum, seperti perjalanan Odysseus, adalah ujian untuk menemukan jalan kembali ke akar demokrasi.


Bukan itu saja, seniman juga merujuk pada kisah-kisah dari epik India seperti "Mahabharata." (Relevansi hal ini baca juga artikel saya, Memahami Pengkhianatan Politik Shakuni, http://www.kompas.com/31/10/2023).  Pertempuran adil antara Pandawa dan Kurawa menjadi cermin bagi perjuangan antara kebenaran dan kekuatan politik. Seperti kata-kata Bhishma Pitamah, seorang tokoh dalam Mahabharata, "Demokrasi adalah roh kebenaran," maka seniman menangkap esensi bahwa pemilihan adalah pertarungan untuk mendukung kebenaran dan keadilan.


Dalam konteks pemilihan, seniman menciptakan narasi tentang petualangan politik yang mencerminkan epik Yunani kuno, "The Iliad." (Relevansi hal ini baca juga artikel saya, Siasat Politik Kuda Troya, http://www.kompas.com/09/11/2023). Seperti pertempuran sengit di Troya, pemilihan umum adalah medan pertempuran di mana partai dan kandidat bersaing untuk mendapatkan kepercayaan rakyat. Dalam momen ini, seniman melihat semangat kepemimpinan dan dedikasi yang sebanding dengan tekad para pahlawan dalam kisah epik.


Kisah-kisah epik dari budaya yang berbeda memberikan perspektif kepada seniman tentang kompleksitas dan keragaman perjalanan politik. Dalam "Ramayana," seniman menemukan pelajaran tentang pengabdian dan kesetiaan, sementara dalam "Shahnameh" dari Persia, seniman mengeksplorasi kisah keberanian dan keadilan. Pemilihan umum, seperti kisah-kisah ini, menjadi arena di mana karakter moral dan etika diuji.


Seniman juga mengeksplorasi narasi-narasi epik Afrika, seperti "Sundiata". Dalam kisah-kisah ini, seniman menemukan kebijaksanaan dan keadilan sebagai pilar utama kepemimpinan. Pemilihan umum menjadi panggung di mana masyarakat dapat mencari pemimpin yang mewarisi nilai-nilai yang teguh dan mengilhami.


Dengan merangkai kisah-kisah epik dari berbagai budaya, seniman membangun narasi pemilihan umum sebagai perjuangan universal manusia untuk mencapai keadilan, kebenaran, dan kepemimpinan yang bijaksana. Dalam setiap kisah epik, ada pelajaran dan kebijaksanaan yang dapat diambil untuk membimbing perjalanan demokrasi dan pemilihan umum menuju tujuan yang lebih mulia. Maka Pemilu menjadi babak baru dalam perjalanan epik manusia, sebuah capaian yang terus berkembang dalam sejarah panjang kehidupan dan peradaban.


Seniman Bernafaskan Idealisme


Dalam pandangan seorang seniman yang bernafaskan idealisme, pemilihan umum menjadi panggung suci di mana cita-cita dan impian masyarakat diwujudkan. Sebagaimana kata-kata Johann Wolfgang von Goethe, "Kita harus berani bermimpi, karena impian-impian itu adalah panduan hidup kita," maka di sini seniman mengamati bahwa pemilihan adalah momen di mana impian-impian itu diterjemahkan ke dalam tindakan konkret. 


Masyarakat memiliki kesempatan untuk memilih pemimpin yang mewakili nilai-nilai ideal mereka, membawa harapan ke depan sebagai pemandu langkah-langkah kebijakan. Dan seniman melihat sinar harapan yang bersinar terang, sebagaimana diilustrasikan oleh kata-kata Mahatma Gandhi, "Harapan adalah kualitas manusia yang paling kuat, karena harapan membentuk kekuatan untuk bertindak." 


Pemilihan adalah wadah di mana harapan-harapan tersebut berkumpul, menciptakan energi kolektif yang dapat menggerakkan perubahan positif. Seniman menggambarkan pemilu sebagai puncak idealisme, di mana harapan dan tindakan saling terkait dalam perpaduan yang harmonis.


Dalam pemilihan, seniman mencatat bahwa partisipasi setiap individu adalah suatu pernyataan idealisme. Dalam setiap suara yang diutarakan, seniman melihat ekspresi dari keinginan untuk mewujudkan idealisme kolektif, di mana setiap warga negara merasa bertanggung jawab terhadap masa depan bersama. Seniman memandang pemilihan sebagai ritual idealis di mana setiap tindakan memiliki makna simbolis. Setiap pemilih bertindak sebagai penjaga harapan, memberikan suara sebagai bentuk kontribusi terhadap pencapaian cita-cita idealisme.


Maka dalam idealisme seniman, pemilihan adalah medan dimana gagasan-gagasan dan ide-ide terbaik bersaing. Sebagaimana disampaikan oleh John Stuart Mill, "Debat adalah sarana terbaik untuk menyelidiki kebenaran," dan seniman melihat kampanye pemilihan sebagai arena di mana ide-ide dan gagasan bersaing secara intelektual. Hal ini yang membuat Pemilu menjadi panggung di mana masyarakat dapat membentuk visi bersama untuk masa depan yang lebih baik.


Dalam pandangan seniman yang idealis, pemilihan adalah momen di mana kebenaran dan integritas menjadi kriteria utama dalam memilih pemimpin. Maka integritas tanpa pengetahuan adalah lemah dan tidak bermanfaat. Sedangkan pengetahuan tanpa integritas adalah berbahaya dan mematikan. Oleh karenanya Pemilu adalah panggung di mana integritas menjadi mahkota bagi pemimpin yang diinginkan oleh masyarakat.


Narasi- narasi idealisme seniman kemudian berkobar-kobar bahwa Pemilu tidak hanya menjadi proses pragmatis, tetapi juga ritual suci yang memurnikan dan mengangkat martabat masyarakat. Dalam konteks ini bisa diingat kembali terhadap apa yang pernah dituliskan filsuf Immanuel Kant, bahwa: "Moralitas tidak hanya melibatkan apa yang kita lakukan, tetapi juga mengapa kita melakukannya." Dalam pemilihan, moralitas menjadi alasan mendasar di balik tindakan-tindakan yang diambil oleh masyarakat, menciptakan panggung yang terang benderang bagi idealisme dan integritas.


Seniman tidak Hanya Menjadi Penonton 


Dalam perspektif seniman terhadap Pemilu, harusnya seniman tidak hanya menjadi penonton. Melainkan –lebih dalam --  juga bisa pelaku yang berperan aktif dalam membentuk perjalanan demokrasi. Tidaklah berlebihan bahwa seniman memandang dirinya sebagai agen perubahan melalui karya seni dan ekspresi kreatifnya. Soalnya seni adalah bentuk tercepat dari “menyembuhkan jiwa"masyarakat, di mana seniman melibatkan diri dalam proses pemilihan untuk menyuarakan aspirasi dan keinginan mereka melalui medium seni yang mereka kuasai.


Posisi seniman dalam pemilu menjadi gamblang, antara lain sebagai pemberi suara yang kritis dan kreatif. Seniman menggunakan karya seni mereka sebagai sarana untuk menggambarkan visi mereka tentang masa depan yang diinginkan. Dalam melukiskan Pemilu, seniman menciptakan gambaran yang mencerminkan nilai-nilai idealisme, harapan, dan keprihatinan mereka terhadap arah politik yang diambil oleh sejumlah pemimpin. 


Dengan demikian seniman semakin berperan sebagai pengamat yang kritis terhadap proses pemilu. Dengan melalui medium seni, mereka menangkap momen-momen krusial, menyoroti tantangan dan konflik yang mungkin terjadi selama kampanye dan pemungutan suara. Dalam mengekspresikan posisi mereka, seniman membuka dialog dan refleksi tentang dinamika politik yang memengaruhi kehidupan sehari-hari.


Dari sini, lebih jauh, pandangan seniman menjadi cermin dari ketidakpuasan atau keprihatinan masyarakat terhadap pemilihan umum. Seperti kata-kata Jean-Jacques Rousseau, "Seniman yang benar adalah pemberontak," dan seniman dapat memanfaatkan kreativitas mereka sebagai alat untuk membangkitkan kesadaran sosial dan memicu perubahan. 


Hal yang harus diingat bahwa posisi seniman bukan hanya tentang merayakan demokrasi, tetapi juga tentang mempertanyakan dan menantang aspek-aspek yang perlu diperbaiki. Sehingga seniman, sebagai pencipta cerita visual dan naratif, memiliki kekuatan untuk membentuk opini dan perspektif masyarakat terhadap pemilu. Dengan menggambarkan pemilihan dalam karya seni mereka, seniman dapat membangun narasi yang merayakan keberagaman, inklusivitas, dan nilai-nilai kemanusiaan. 


Dalam beberapa kasus, seniman dapat menjadi pembuat karya seni yang berfungsi sebagai simbol perlawanan atau perubahan. Mereka menciptakan karya seni yang menggambarkan pemilu sebagai panggung di mana suara-suara minoritas, atau kelompok yang terpinggirkan, didengar. Dengan begitu, seniman memberikan suara kepada yang tak terdengar, dan menciptakan ruang untuk pemikiran kritis terhadap keadilan dan kesetaraan.


Sebagai individu kreatif, seniman juga dapat berperan dalam merayakan keindahan proses pemilu. Dengan menghadirkan kecerdasan dan keunikan dalam karya seni, seniman membantu menciptakan atmosfer yang memotivasi partisipasi dan memperingati momen penting dalam sejarah demokrasi. Posisi seniman sebagai pembawa semangat dan energi positif dapat memberikan kontribusi berharga dalam membangun budaya politik yang dinamis dan berdaya. ***


*Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa buku antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan buku non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.

Ads