Diffusion: Cara Benny Johanes Mencurigai dan Menginterogasi Tradisi -->
close
Pojok Seni
24 November 2023, 11/24/2023 03:54:00 PM WIB
Terbaru 2023-11-24T17:24:18Z
ArtikelUlasan

Diffusion: Cara Benny Johanes Mencurigai dan Menginterogasi Tradisi

Advertisement
Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi
Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi (foto: tim dokumentasi Diffusion)

Oleh: Adhyra Irianto


"Who control the past, will control the future. Who control the future, will control the past." Zack de la Rocha.


Pojok Seni - Tradisi yang tampak hari ini, adalah hasil konstruksi dari masa lalu. Siapa yang mengonstruksinya? Bila mengutip pernyataan Zack de la Rocha (seorang doktor sastra, aktivis, dan musisi asal California, AS), maka orang yang mengontrol masa lalu adalah orang yang membangun konstruksi tradisi menjadi pegangan di hari ini. Sebaliknya, orang-orang yang mengontrol masa depan, akan mengubah tradisi menjadi sesuai kebutuhan pribadinya, atau kelompoknya. Karena itu -mungkin- Benny Johannes bersikap skeptis pada tradisi, lalu menginterogasinya secara mendalam.


Tradisi lahir dari interogasi, begitu -setidaknya- premis fundamental dari pertunjukan bertajuk Diffusion: Interogasi Tradisi (naskah/sutradara Benny Johanes) yang dipentaskan oleh Teater Re-Publik dengan para pemain mahasiswa peserta Kapita Selekta dari jurusan teater fakultas seni pertunjukan ISBI Bandung, pada hari Rabu (22/11/2023) lalu di Gedung Kesenian Sunan Ambu, ISBI Bandung.


Secara "harfiah", narasi yang menjadi konstuksi cerita adalah mitologi paling populer dari Jawa Barat yakni Sangkuriang. Namun, realitas faktual yang dihadirkan di atas panggung adalah sebuah tubuh "tradisi" yang terdifusi, tercerai berai, seperti potongan-potongan puzzle piktografik. Penonton -seakan- diberi kebebasan untuk menyusun sendiri puzzle-puzzle piktografik ini menjadi tubuh pertunjukan yang utuh (atau mungkin hanya menikmati kepingan puzzle-nya seperti sebuah lintasan atau kilasan ephemeral).


Narasi tentang Dayang Sumbi, Sangkuriang, serta semua rentetan prosesnya, sejak dulu memang tidak memenuhi prinsip-prinsip narasi, yang disebut sebagai equilibrium narative (keseimbangan naratif). Perspektif equilibrium narative dimulai dari sebuah disrupsi terlebih dulu, untuk mendapatkan sebuah rekognisi atas disrupsi itu. Ini yang diberikan Benny Yohanes, yakni sebuah disrupsi atas narasi Sangkuriang, dan mempertegasnya dengan interogasi, lalu dikaitkan dengan kehidupan sosial hari ini. 


Semua hal yang terjadi hari ini, suatu hari akan dikonstruksi menjadi "tradisi". Sekumpulan anak muda yang menari sambil bernyanyi di bawah pengaruh Hallyu, atau sekumpulan pemuda yang marah dan mengekspresikan perlawanan lewat musik cadas, adalah hal-hal yang membudaya hari ini, dan akan menjadi tradisi di masa depan. Lalu, di mana posisi tradisi yang lebih lama? Ia akan berdiri di puncak keluhuran sebagai kemuliaan. Namun, "keluhuran" inilah yang diinterogasi oleh Benny Yohanes. 


Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi
Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi (foto: tim dokumentasi Diffusion)


Hasilnya, dalam rangkaian keseimbangan naratif, setelah bertemu dengan disrupsi dan rekognisi disrupsi, maka usaha-usaha untuk menyelesaikan disrupsi akan melahirkan apa yang disebut sebagai "keseimbangan baru" dalam konteks narasi. Karena itu, dibutuhkan banyak pertanyaan interogatif untuk merekognisi disrupsi tersebut.


Hasil interogasi memunculkan banyak kemungkinan. Kenapa komunis menjadi paham yang terlarang? Bagaimana sebenarnya terorisme berbasis keimanan bisa bekerja? Kenapa intelektual bangsa di masa lalu yang "kiri" pada akhirnya dihukum mati dan dikucilkan semua pemikirannya? Apa yang menjadi dasar konstruksi "kebenaran" yang muncul di hari ini berdasar tradisi dan budaya? Apa yang sedang dikonstruksi hari ini? Dan ribuan pertanyaan datang di sepanjang pertunjukan, seakan-akan puluhan pemain dari Kapita Selekta dan Teater Re-Publik tersebut menjadi interogator sekaligus "tersangka" di ruang interogasi, yang bertanya sekaligus menjawabnya.


Replikasi Tradisi


Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi
Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi


Diffusion: Interogasi Tradisi tidak hadir sebagai presentasi tradisi yang diinterogasi. Tapi, Benny Yohannes justru mereplikasi tradisi untuk mentransformasinya. Setiap spektakel tidak terjalin dalam sebuah rantai plot yang saling terjahit, dialog antar tokoh juga bukan sebuah pondasi narasi, karena semuanya memang terdifusi. Tidak ada yang terhimpun, semuanya didesain tercerai berai dari tubuh utama hipogram.


Tentu saja, membicarakan karya Benny Yohanes, berarti mengenyampingkan teks. Karena, pertunjukan teater bukan sebuah teks yang dilisankan di atas panggung. Pertunjukan teater adalah sebuah dimensi yang dikonstruksi lewat perspektif atmosferal. Estetika dan kesadaran ruang adalah pondasinya, dan teks bisa dibongkar, disayat-sayat, dipotong-potong, dicincang habis, demi kebutuhan atmosferal. Dimensi tekstual sudah menghilang di atas panggung teater.


Berlandas pemikiran itu, maka teks hipogram bisa saja dilupakan, tapi tidak dengan pengalaman audiovisual serta interaksi tubuh dengan pertunjukan ini. Dayang Sumbi menggunakan kebaya hijau di bagian atas, tapi legging super ketat sewarna kulit di bawah, menghasilkan "Dayang Sumbi setengah telanjang". Sangkuriang dihadirkan sebagai seorang yang berada di atas kursi roda dengan kaki terikat. Kemudian, hadir tokoh berbadan besar yang dikeliling para penari topeng, dengan topeng yang menampilkan wajah flat tanpa ekspresi. 


Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi
Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi (foto: tim dokumentasi Diffusion)


Kostum-kostum dalam pertunjukan lebih muncul sebagai hasil dari transcoding adaptation, yang ditujukan sebagai semiotika busana. Padupadan pakaian yang digunakan, adalah hal yg cukup lumrah digunakan anak muda saat ini, namun ditampilkan dalam kadar yang lebih tinggi. Tapi, secara semiotik telah ditransposisikan ke sebuah sistem lain. Sistem yang disebut oleh Benny Yohannes sebagai "teater kinetik-visual". Teater kinetik-visual ini adalah sebuah sistem performatif yang mengubah unsur-unsur pengadeganan konvensional (literal-dramatik) yang berbasis teks, menjadi sebuah sistem performatif berbasis atmosferal, mengandalkan kekuatan dari fesyen yang naratif, dramatugi berbasis performativitas, tubuh performatif, dan estetika atmosferal.


"Pembunuhan Teater"


Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi
Pentas Diffusion: Interogasi Tradisi (foto: tim dokumentasi Diffusion)


Menjelang pertunjukan akan tutup, seorang performer mengambil mikrofon kemudian dengan "bahasa buku" menjabarkan apa itu teater. Performer tersebut juga menyebut unsur-unsur penting dalam teater, dan salah satunya yang paling jarang dibicarakan adalah "penonton". Di Pojok Seni, pembicaraan tentang penonton bisa Anda baca di pranala ini: Artikel tentang Penonton Teater di Pojok Seni.


Tapi, pertanyaan performer adalah, apa sebenarnya fungsi penonton? Hanya membeli tiket untuk membantu seniman mengembalikan modal pementasan, lalu diceramahi tentang moral di dalam gedung pertunjukan? Atau, agar ada yang bertepuk tangan riuh setelah pertunjukan berakhir? Di mana posisi dan urgensi penonton dalam sebuah pertunjukan, sebenarnya?


Belum selesai pertanyaan itu, seseorang datang membawa busur panah. Lalu, ia bertanya siapa performer yang memegang mikrofon itu? "Saya adalah teater," jawab performer dengan mikrofon itu. 


Seseorang membawa busur langsung memanahnya dari jauh, hingga "teater" mati. "Kau membunuh teater," kata aktor yang lain.


"Iya, aku perlu membunuhnya agar ia bisa hidup kembali."


Ini adalah sebuah rangkaian dalam teori equilibrium narrative. Sebuah keseimbangan narasi bisa dibentuk dengan pemunculan disrupsi, lalu ditegaskan (rekognisi) bahwa disrupsi tersebut benar-benar ada dan meyakinkan, sehingga diperlukan sebuah usaha untuk mencari solusi atas disrupsi tersebut. Usaha ini akan melahirkan sebuah "keseimbangan yang baru" (new equillibrium), yang disesuaikan dengan kebutuhan zaman, atau mungkin kebutuhan "teater" itu sendiri.


Narasi yang cukup banyak, dari perjalanan historis Indonesia hingga dunia, dihadirkan dengan saling berkelindan, tumpang tindih, lewat rangkaian rantai plot yang dengan sengaja dibiaskan, lalu performance yang disandarkan pada suasana panggung, adalah cara yang cukup baik untuk membongkar lagi pondasi tradisi, hingga akhirnya membangun perspektif yang berbeda terhadap tradisi. 

Ads