Blood Wedding oleh Neo Theatre Bandung: Cinta Menemukan Jalan yang Berdarah-darah -->
close
Pojok Seni
28 November 2023, 11/28/2023 12:08:00 PM WIB
Terbaru 2023-11-28T05:22:27Z
teaterUlasan

Blood Wedding oleh Neo Theatre Bandung: Cinta Menemukan Jalan yang Berdarah-darah

Advertisement
Blood Wedding oleh Neo Theatre karya F.G. Lorca Sutradara Fathul A. Hussein
Blood Wedding oleh Neo Theatre karya F.G. Lorca Sutradara Fathul A. Hussein



Oleh: Adhyra Irianto


Pojok Seni - Blood Wedding (Pernikahan Darah) karya Federico Garcia Lorca ditampilkan oleh Neo Theatre asal Bandung dalam perhelatan Lebaran Teater Festival Teater Jakarta (FTJ) di Teater Luwes (IKJ) pada hari Minggu (26/11/2023) pukul 20.00 WIB lalu. Sutradara Fathul A Hussein membawa aktor-aktor senior seperti Retno Dwimarwati (Rektor ISBI Bandung), Rinrin Candaresmi, Irwan Jamal, Yeni Sari, dan sejumlah aktor senior asal Bandung.


Blood Wedding mengisahkan kisah cinta tragis dari seorang pengantin perempuan dengan cinta lamanya, Leonardo Felix yang terpaksa pisah karena hubungan yang buruk keluarganya. Keluarga pengantin pria dan pengantin perempuan telah bersepakat untuk menikahkan keduanya, dengan sebuah pesta yang meriah. Namun, di hari pernikahan itulah, Leonardo Felix dan pengantin perempuan kabur.


Hal itu yang menabuh genderang perang antara keluarga pengantin pria dengan Leonardo Felix, seakan menjadi episode berikutnya dari keributan antar dua keluarga yang telah terjadi bertahun lalu. Di tengah hutan ketika bulan purnama muncul di balik pepohonan, pengantin pria bersama orang-orangnya menemukan Leonardo Felix yang berada di tengah pelarian bersama pengantin perempuan. Dengan sebilah pisau di masing-masing tangan, keduanya bertarung hingga sama-sama mati bersimbah darah.


Pengantin perempuan kembali ke Madre, ibu dari pengantin pria yang juga calon mertuanya. Pengantin perempuan berharap Madre menghabisinya, agar ia bisa mati dengan tenang, menyusul orang-orang yang ia cintai. Madre memilih untuk tidak membunuhnya, karena hidup dengan kehilangan orang-orang yang dicintai, jauh lebih menyakitkan dan traumatik. Sebagaimana ia telah melewati hidupnya yang menyakitkan karena suami dan (sekarang) semua anaknya meninggal karena keluarga Felix.


Longser dan Budaya Spanyol


Versi Blood Wedding dari Neo Theatre menegosiasi budaya Spanyol yang kental dari karya Lorca dengan gaya pemanggungan Longser khas Sunda. Semua pemain duduk berjejer di atas level belakang panggung. Ide ini menjadikan Blood Wedding yang dibawakan dengan soft dan slow ini bisa dilihat sebagai sebuah pertunjukan yang indah untuk dinikmati secara visual maupun audio. Narator yang hadir sebagai pengemis, burung gagak, hingga penebang kayu, membawakan alur cerita dengan cukup apik. Meski sekilas mengingatkan pada Longser, namun aktor-aktor yang duduk berjejer di belakang juga memberikan kesan sebuah lanskap yang surealis dari pertunjukan ini.


Di antara pertunjukan "serba eksperimental" dan "serba cepat" yang sering jadi corak utama pertunjukan di kota-kota, Blood Wedding muncul sebagai angin penyejuk. Sebuah alur cerita yang indah sekaligus tragis, dibalut dengan kata-kata yang indah, visual yang memanjakan mata, dan permainan dari para aktor yang juga cukup baik dengan karakternya masing-masing. Siapa yang tidak rindu dengan pertunjukan yang soft dan slow seperti ini?


Irama pertunjukan berorkestrasi seperti nomor-nomor lembut dari Bach. Mengikuti alur cerita dengan alunan lembut dari biola, seperti menikmati karya Saint-Saens, The Carnival of the Animals. Dialog-dialog puitisnya mengingatkan pada mahakarya Shakespeare. Sebuah suguhan yang sejuk dan menenangkan dari Neo Theatre asal Bandung. 


Kemampuan aktor secara teknis, menjadikan alur cerita sangat renyah untuk diikuti dan dinikmati. Casting dirasa cukup pas, sesuai pula dengan pergerakan watak dari para aktor; 


Ibu mempelai pria dengan ketenangannya meski lemah tak berdaya kemudian menjadi api yang membakar anaknya untuk merebut kembali cintanya. Leonardo Felix yang keras kepala dengan amarah berkecamuk di dada kemudian takluk pada cinta sejatinya hingga rela kabur bersama pengantin orang lain.


Pengantin wanita seorang perempuan penurut dengan rasa hancur dan terkungkung, kemudian memberanikan diri mengikuti kata hati. Narator awal (pengemis) yang magis dan eksotis, kemudian menjadi seorang yang membiarkan pertumpahan darah itu terjadi. Istri Leonardo Felix yang menyimpan luka di matanya namun ingin terlihat kuat demi bayinya. Pengantin pria yang riang dan bersahabat berubah menjadi seorang pembunuh berdarah dingin. 


Pergerakan watak ini yang menggerakkan plot menjadi sangat dinamis, dan menarik untuk terus diikuti dari awal sampai akhir.  


Sebuah Catatan 


Blood Wedding oleh Neo Theatre karya F.G. Lorca Sutradara Fathul A. Hussein
Blood Wedding oleh Neo Theatre karya F.G. Lorca Sutradara Fathul A. Hussein

Dialog yang puitik dan metaforis, sebenarnya memaksa penonton untuk berpikir dua kali untuk mencerna setiap kata yang terucap. Namun, bagaimana cara menikmati sebuah pertunjukan tanpa harus berpikir dua kali? Dance first, think later. Nikmati saja dulu pertunjukannya, berpikirnya nanti setelah pertunjukan. Maka penonton mau tidak mau akan mengikuti alur cerita, merasakan suasana, dan mempersepsi setiap laku adegan. Dialog akan dijadikan sebuah hiasan alegoris, yang mungkin nanti akan hadir dalam kesan yang mendalam seusai pertunjukan.


Saat itu, fokus penonton adalah subteks dan visual yang terlihat di atas panggung. Maka saat itu juga, baik saya, maupun beberapa penonton lainnya, mulai terganggu dengan transisi antar adegan yang ditandai dengan blackout. Sebab, para pemain sudah dengan sengaja "dibocorkan" sejak awal, perpindahan pemain yang akan bersiap masuk juga sudah "bocor" di belakang, maka ketika blackman masuk membawa "sekedar" sebuah meja dan dua kursi, kenapa panggung harus digelapkan? 


Blackout ini biasa saja ditemukan pada pertunjukan realisme, ketika perpindahan setting ruang atau transisi antar adegan. Tapi, untuk pertunjukan yang didesain dengan landasan fundamental sebuah pertunjukan longser, tentu blackout tidak perlu dilakukan agar "feel" penonton mengikuti pertunjukan ala longser ini juga tidak terputus-putus. Itu yang saya pertanyakan pada sutradara pasca pertunjukan, apakah ada alasan untuk menciptakan situasi serba kagok ini?


Di satu sisi, dialog yang puitik dan metaforis tadi juga menjadi cukup berisiko. Sutradara sendiri mengakui bahwa aktor-aktornya merupakan aktor yang sudah "lulus uji" untuk naskah-naskah realisme. Tapi, dengan naskah yang metaforis dan "puisi tingkat tinggi" karya sastrawan besar dunia sekeliber F.G. Lorca, maka harus diakui pula ada banyak subteks yang didesain Lorca sebagai lapisan di balik teks ini cukup sulit untuk diterjemahkan dan dieksekusi oleh aktor. 


Meski demikian, harus diakui bahwa ide menegosiasi teks Lorca dengan longser ini adalah sebuah terobosan yang menarik. Ide yang sangat menarik dari sutradara Fathul A Husein, akan menjadi jauh lebih indah ketika ada sebuah metodologi yang disusun secara paten untuk menggabungkan bloking longser dengan teks puitik yang kental budaya "asing". Bloking longser bisa menjadi jalan tengah untuk menjadikan penonton yang tadinya sangat berjarak dengan budaya Spanyol, bisa menikmati pertunjukan dengan lebih intim.

Ads