Advertisement
Foto 1: Penyair Endang Supriadi di Singapura (foto:dok.pribadi) |
Oleh Zackir L Makmur
Hari-hari belakangan ini di Indonesia, musim kampanye telah membahana. Juga dalam era informasi yang semakin canggih dan global seperti saat ini, retorika dan komunikasi, sebagaimana kampanye, memainkan peran kunci dalam memengaruhi pandangan masyarakat terhadap berbagai isu, termasuk dalam konteks politik. Oleh karenanya keadaan menjadi terlalu banyak omong, bertaburan kampanye palsu, dan ungkapan dalam bahasa-bahasa lumpur politik.
Ilustrasi itu dekatkan oleh penyair Endang Supriadi dalam buku kumpulan puisinya berjudul Lumpur di Mulutmu, sebagai: sesekali sungai yang mengalir di hatimu itu//kering. hanya bongkahan batu dan kecebong//yang tertinggal di sana. kau merasa tersiksa,//sesak dan dahaga. Matamu leleh, pegal leher pegal hari//dunia menguncup di sudut-sudut jalan//udara mencibir, angin menguntit (Puisi “Menziarahi Hati”). Sebanyak 51 puisi di buku ini juga menandai bahwa banyak omong bisa membuat “lumpur di mulutmu”.
Semiotika itu dalam faktualnya, bagaimana banyak omong adalah praktik retorika yang (lazim) dilakukan oleh politisi dan pemimpin politik dalam berbicara dengan cara yang penuh dengan kata-kata dan janji manis, tanpa menghasilkan tindakan yang nyata. Banyak omong sering digunakan untuk memenangkan dukungan publik, tetapi seringkali hanya menghasilkan sedikit perubahan konkret. Para politisi yang ahli dalam banyak omong, mampu menciptakan narasi yang menggoda dan meyakinkan massa bahwa mereka adalah solusi untuk masalah-masalah sosial.
Akan tetapi bagi yang tidak terbuai, sebagaimana diamanatkan puisi Jalan di Antara Persimpangan, penyair Endang Supriadi mengatakan, “kita memilih jalan di antara persimpangan//bukit memerah di utara//badai membuncah di selatan//matahari terpuruk di timur//bulan meradang di barat.” Semangat puitika ini pula yang sejajar dengan faktual dalam banyak kasus, terkait dengan kampanye politik, di mana politisi menggunakan berbagai strategi komunikasi politik yang didasarkan pada banyak omong: bertujuan untuk mengelabui pemilih.
Maka ungkapan filsafat bahasa “lumpur di mulutmu”, yang diusung buku Lumpur di Mulutmu karya penyair Endang Supriadi ini jelas memperlihatkan eksplorasi hubungan antara bahasa dan realitas. Dalam konteks politik dan komunikasi, ungkapan filsafat bahasa “lumpur di mulutmu” dapat dilihat sebagai penggunaan komunikasi yang kabur, ambigu, upaya untuk mengelabui atau merayu pemilih. Politisi yang menggunakan “bahasa lumpur” seringkali berusaha untuk menghindari komitmen yang konkret, dan memungkinkan interpretasi yang beragam terhadap pernyataan mereka. “Sudah berapa kalimat kauluncurkan hari ini, Edwin?//Mungkin ludahmu sudah kering sehingga//ada rasa lautan di mulutmu” (Puisi “Solusi Mengisi Ruang Kosong”).
Faktual Lumpur di Mulutmu
Penyair Endang Supriadi baca puisi (foto: dok.pribadi) |
Lumpur di mulutmu adalah sebuah ungkapan yang sering kita dengar dalam percakapan sehari-hari, namun tidak semua dari kita memahami sepenuhnya maknanya. Lebih dari sekadar sebuah frase, ungkapan ini mencerminkan bagian penting dari budaya kita, serta dampak sosialnya yang mungkin kurang disadari oleh banyak orang. "Lumpur di mulutmu" adalah ungkapan yang digunakan untuk menggambarkan ketidakjujuran, fitnah, atau omong kosong.
Ungkapan ini mengisyaratkan bahwa kata-kata yang keluar dari mulut seseorang tidak dapat diandalkan, dan mungkin merugikan orang lain. Dalam konteks ini, lumpur adalah simbol dari kata-kata yang kotor dan tidak bermanfaat, sementara "mulutmu" merujuk pada sumber kata-kata tersebut, yaitu individu yang mengucapkannya. Ungkapan ini menunjukkan dampak sosial dan budaya yang serius. Aristoteles, salah satu tokoh filsafat klasik yang memberikan kontribusi penting dalam etika, membantu kita memahami bagaimana "lumpur di mulutmu" melanggar prinsip-prinsip moral.
Demikian pula apa yang diamanatkan oleh Immanuel Kant. Kant, yang dikenal dengan etika kategorinya, memberikan amanat pada premise filsafat-filsafatnya yang menekankan pada tindakan yang benar secara moral. Maka pemikiran Kant dapat membantu kita memahami kewajiban moral dalam komunikasi dan mengapa "lumpur di mulutmu" bertentangan dengan etika kategoris. Dalam masyarakat yang sering menggunakan "lumpur di mulutmu," orang mungkin menjadi skeptis terhadap informasi yang mereka terima. Mereka mungkin merasa sulit untuk mempercayai apapun yang dikatakan oleh seseorang, karena mereka takut bahwa itu hanyalah omong kosong atau fitnah.
Dari jurusan inilah pula pemikiran Foucault dapat membantu kita mengkaji bagaimana kekuasaan dan retorika terkait dengan "lumpur di mulutmu." Foucault, seorang filsuf postmodern, yang mempertanyakan narasi dan kekuasaan dalam komunikasi karena dari sektoral ini bisa menghambat komunikasi yang efektif dan mempengaruhi hubungan interpersonal. Selain itu, "lumpur di mulutmu" juga dapat merusak reputasi seseorang. Ketika seseorang dituduh menggunakan ungkapan ini, reputasi mereka dapat tercemar, bahkan jika tuduhan itu tidak berdasar.
Dalam era media sosial, berita palsu dan fitnah dapat menyebar dengan cepat dan merusak karier dan kehidupan pribadi seseorang. Oleh karena membicarakan fenomena "lumpur di mulutmu" adalah penting, karena membuka ruang untuk refleksi dan perbaikan. Dalam masyarakat yang berlandaskan kejujuran dan saling percaya, penggunaan kata-kata yang jujur dan berbobot sangat penting. Oleh karena itu, kita perlu mengajak orang untuk berpikir sebelum berbicara dan mengevaluasi dampak kata-kata mereka pada orang lain.
Selain itu, kita juga perlu meningkatkan kesadaran tentang bahaya berita palsu dan fitnah dalam era digital. Pendidikan mengenai literasi media dan kemampuan untuk memilah informasi yang benar dari yang salah menjadi kunci untuk melindungi masyarakat dari dampak buruk "lumpur di mulutmu" dalam dunia maya.
Ungkapan Filsafat Budaya
Lumpur di mulutmu adalah fenomena sosial budaya yang mencerminkan masalah ketidakjujuran dan ketidakpercayaan dalam masyarakat. Ungkapan ini mengingatkan kita akan pentingnya kata-kata kita dan dampaknya pada orang lain. Dalam upaya membangun masyarakat yang lebih jujur dan berbudaya, kita perlu membicarakan "lumpur di mulutmu" dan bekerja sama untuk mengurangi penggunaannya.
"Lumpur di Mulutmu" adalah ungkapan yang, dalam perspektif filsafat budaya dan lingkungan, dapat diartikan sebagai representasi dari perilaku dan komunikasi yang merusak dalam konteks budaya dan lingkungan alam. “Di sini, laskar dingin menguasaimu//namun letupan api di matamu tak terjangkau//oleh giginya.//kau menari di atas lapisan kabut//mengurai kehangatan ke pucuk-pucuk cemara,” ujar penyair Endang Supriadi dalam puisinya berjudul “Seorang Penari yang Bernyanyi”.
Maka dalam perspektif filsafat budaya, "lumpur di mulutmu" dapat dianggap sebagai metafora untuk tindakan atau komunikasi yang merusak nilai-nilai budaya. Ini mencerminkan pemikiran bahwa kata-kata dan tindakan kita memiliki dampak besar pada budaya yang kita anut. Konsep filsafat budaya yang relevan untuk hal ini adalah etnosentrisme: “terlalu lama lumpur mendekam di mulutmu//suara tajam sms yang masuk, sama misteriusnya//dengan suara ambulan yang lewat di depan mata kita//siapa yang kirim pesan dan siapa yang berpulang” (Puisi “Lumpur di Mulutmu”).
Buku Kumpulan Puisi
Buku kumpulan puisi karya penyair Endang Supriadi ini, semacam, warisan budaya yang penting, yang bisa mencerminkan dan mempengaruhi masyarakat dan budaya. Endang Supriadi, sekecil apapun lewat “Lumpur di Mulutmu” ini telah telah berperan dalam membentuk pandangan sosial dan budaya melalui puisi. Dengan demikian puisi memperjelas “fungsinya” demi kemampuan filsafat untuk meresapi dan merekam semangat zamannya, serta menjadi sumber inspirasi dan refleksi.
Penyair Endang Supriadi bersama rekan-rekan penyair |
Puisi-puisi Endang Supriadi menjadi karya seni sastra yang memiliki potensi besar untuk memperkaya imajinasi pembaca. Puisi, di tangannya dengan bahasanya yang seringkali kaya akan imaji, metafora, dan gaya bahasa kreatif, mampu memicu imajinasi kita dan membawa kita ke dunia-dunia yang berbeda. Dan juga acapkali puisi-puisinya mengajukan pertanyaan filosofis dan menyelidiki makna kehidupan, eksistensi, dan hubungan antara manusia. Puisi yang memperkaya jiwa ini pun dapat mendorong pembaca untuk berpikir secara mendalam tentang masalah-masalah filosofis, dan mendorong mereka untuk merenungkan pertanyaan-pertanyaan yang mendalam.
Endang Supriadi serasa demikian tangkas, lewat puisi-puisinya, melakukan penggunaan bahasa metafora, dan simbol-simbol yang kompleks. Ini memungkinkan pembaca untuk melihat bahasa dalam berbagai cara yang kreatif, dan mengasah imajinasi dalam pemahaman bahasa yang lebih dalam. Maka puisi menjadi refleksi, cermin yang mencerminkan nilai-nilai, keyakinan, dan perubahan sosial. Secara luas dan menyeluruh, sebetulnya bukan hanya Endang Supriadi sebagai penyair menanggapi peristiwa-peristiwa penting dalam sejarah, isu-isu sosial, dan perubahan budaya melalui karyanya.
Ada puisi-puisi romantis seperti karya William Wordsworth yang mencerminkan semangat era romantis yang melawan industrialisasi dan memuja alam sebagai sumber inspirasi. Juga ada Pablo Neruda, seorang penyair Chili, yang memainkan peran penting dalam memprotes ketidakadilan sosial dan politik di Amerika Latin melalui puisi-puisinya. Karyanya seperti "Canto General" adalah bukti nyata bagaimana puisi dapat menjadi alat perubahan sosial.
Puisi juga sering kali menjadi medium bagi filsafat untuk berkembang dan disampaikan dengan cara yang lebih artistik. Sejumlah penyair terkenal seperti Friedrich Nietzsche dan Rumi telah menyampaikan gagasan filsafat mereka melalui puisi. Buku kumpulan puisi Endang Supriadi, memang, bukan buku puisi-puisi filsafat namun ia dapat memperdalam pemahaman kita tentang konsep-konsep filosofis yang kompleks dan abstrak. ***
Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.