Advertisement
Catatan Rudolf Puspa
Pembahasan tentang perlunya sebuah undang-undang mengenai kebudayaan telah dimulai sejak 1982. Setelah berjalan selama 35 tahun, peraturan perundang-undangan itu akhirnya disetujui anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untuk disahkan. Undang-undang (UU) tentang Pemajuan Kebudayaan akhirnya disahkan dalam rapat paripurna Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) di Gedung Nusantara II, Senayan, Jakarta, Kamis 27 April 2017. Perjalanan yang cukup panjang untuk sebuah undang-undang. Sementara gerak kebudayaan tentu memerlukan payung hukum sehingga memiliki dasar yang kuat dan legal dalam melangkah. Tragisnya adalah kegiatan budaya di negeri Zamrud khatulistiwa sangat kaya dan sudah hidup ratusan tahun sebelum bangsa Indonesia mendapatkan kemerdekaan dan mendirikan Negara Kesatuan Republik Indonesia tahun 1945.
Sebuah naskah akademik yang disusun pada 2005 menyebut bahwa naskah tersebut merupakan perbaikan dan penyempurnaan dari Naskah Akademik Bahan Rancangan Undang-undang (RUU) tentang Kebudayaan Nasional yang disusun oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tahun 1985. Namun kemudian tanggapan mengenai hadirnya RUU kebudayaan menguat. Terjadi diskusi di kalangan budayawan, para praktisi, dan akademisi di bidang kebudayaan yang mengkritisi definisi kebudayaan itu sendiri. Hingga akhirnya sekitar 2011 DPR dan pemerintah sepakat untuk memusatkan perhatian pada upaya memajukan kebudayaan. Ini seperti yang diamanatkan oleh pasal 32 ayat (1) pada Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yakni memajukan kebudayaan nasional Indonesia ditengah peradaban dunia; dengan menjamin kebebasan masyarakat dalam memelihara dan mengembangkan nilai-nilai budayanya.
DPR dan pemerintah sama sama memandang penting untuk mengatur peran negara untuk memajukan kebudayaan di tengah peradaban dunia, sehingga kemudian melahirkan konsep baru yang menjadi judul UU ini, yaitu "Pemajuan Kebudayaan". Kesepakatan itu dicapai setelah melalui diskusi yang mendalam dan semangat untuk mencari jalan keluar agar tidak terbentur pada masalah yang sama, yaitu definisi kebudayaan itu sendiri. Dari kesepakatan itu akhirnya disusunlah naskah akademik pada 2015 yang isinya mulai mengerucut pada pentingnya upaya pemajuan kebudayaan nasional.
Draf RUU Pemajuan Kebudayaan juga disusun
Di bulan September 2016, Ditjen Kebudayaan juga menggelar Seminar Nasional Kebudayaan yang agendanya adalah membahas tentang RUU Kebudayaan. Hasil dari seminar ini dijadikan sebagai referensi dalam membuat UU Kebudayaan dan menggali makna lebih dalam dari pasal 32 ayat (1) UUD 1945. Tidak berhenti di situ, pembahasan mengenai RUU Kebudayaan terus bergulir. Bahkan memasuki tahun 2017, pembahasan mengenai rancangan peraturan perundang-undangan ini semakin gencar dilakukan. Selanjutnya, dalam Rapat Kerja yang dilakukan pada tanggal 18 April 2017 seluruh fraksi menyampaikan pendapat akhir dan menyetujui RUU tentang Pemajuan Kebudayaan untuk dilanjutkan dalam pengambilan keputusan di rapat paripurna. Akhirnya pada Kamis, 27 April 2017, dalam rapat paripurna DPR RI, anggota dewan yang hadir menyetujui pengesahan RUU Pemajuan Kebudayaan menjadi UU.
Apakah debat tentang definisi kebudayaan telah berlalu atau terhenti sejenak maka kini yang terpenting sudah ada secara resmi sebuah UU yang merupakan payung hukum yang diperlukan bagi gerak langkah kebudayaan Indonesia. Kegiatan debat memang seperti sudah merupakan salah satu budaya yang hidup sehingga tidak aneh dalam menanggapi UU yang baru lahir ini juga muncul debat atau kritik mengenai pelaksanaannya. Yang sering terasa kurang nyaman jika bicara tanpa menguasai isi dari UU pemajuan kebudayaan secara menyeluruh dan teliti. Lebih lanjut tentang peraturan2 yang selanjutnya disusun untuk mengatur pelaksanaan UU yang jelas adalah untuk memberikan jalan2 terbuka bagi para pegiat kebudayaan.
Kesenian sebagai salah satu kegiatan yang termaktub dalam kebudayaan sudah selayaknya merasakan kenyamanan untuk bergiat terutama dalam hal berkarya. Bagaimanapun kegiatan utama seniman adalah dalam berkarya. Melalui UU ini seniman terbuka aman dan nyaman untuk berkarya sesuai gerak batin atau gagasannya yang diekspresikan secara bebas. Dalam hal ini pemerintah adalah mitra kerja yang turut serta mencarikan jalan dalam memecahkan apa yang menjadi kendala sehingga terhenti dalam berkarya. Dan jika menyangkut bantuan pendanaan maka harus bisa dipahami akan ada aturan2nya tersendiri. Hal ini menyangkut uang rakyat yang dikelola kementerian keuangan yang tentu saja harus memiliki bukti2 penggunaan keuangan sebagai pertanggungjawaban kepada rakyat. Inilah yang sering terasa seperti menyusahkan seniman karena tidak terbiasa berurusan dengan administrasi.
Dalam menjawab kebutuhan dana maka presiden telah turun tangan dengan memberikan hibah dana abadi sebesar Rp5 triliun sebagai modal pengembangan kegiatan berkesenian. Tidak akan ikut campur soal kekaryaan seniman tapi justru turut memikirkan agar seniman bisa hidup dari hasil karyanya. Yang jarang kita sadari bahwa adanya dana abadi ini maka Direktorat Jenderal Kebudayaan bisa menganggarkan tiap tahunnya untuk memberikan subsidi bagi kegiatan seniman. Dibukalah program yang disebut Fasilitasi bantuan kebudayaan yang bisa dipelajari dengan membuka laman Direktorat Jenderal Kebudayaan Kemendikbud. Dan jika dana yang disediakan tidak habis maka tidak akan dikembalikan ke kas negara tapi ditambahkan ke anggaran tahun depannya. Itu bedanya APBN dengan dana abadi. Tentu yang dimaksud anggaran dari dana abadi adalah diambil dari bunganya saja tiap tahun untuk bantuan gerak langkah kekaryaan seniman. Jadi pemerintah melalui kemendikbud bertindak sebagai fasilitator yang lebih pada urusan-urusan teknis agar seniman mampu berkarya.
Jika melihat gerak langkah pemajuan kebudayaan yang umurnya masih muda ini tentu saja bisa dipahami jika disana sini ada saja kelemahan-kelemahannya. Bagi yang berhasil lolos menerima bantuan tentu bergembira dan yang belum berhasil akan kecewa walau tetap diberi kesempatan mengajukan lagi dengan lebih teliti agar secara administrasi lolos. Dalam hal memeriksa kelengkapan administrasi yang datang ribuan proposal dari seluruh Indonesia maka lebih baik tak perlu membayangkan kerja mereka agar kita tidak pusing. Kalau kita pusing bagaimana pusingnya para pegawai yang terbatas jumlahnya.
Pada bulan Oktober 2023 ini akan ada kongres kebudayaan yang dilakukan tiap lima tahun sekali. Pra kongres telah berlangsung dan telah menyusun catatan-catatan dari berjalannya kegiatan pemajuan kebudayaan selama lima tahun belakangan ini yang jika ada kekurangannya dapat dijadikan bahan diskusi dalam kongres kebudayaan 2023 ini untuk mencari solusi yang tepat bagi perjalanan pemajuan kebudayaan lima tahun kedepan. Kebudayaan adalah salah satu soko guru gerak kebangkitan kebudayaan bangsa Indonesia yang memiliki keragaman budaya yang mampu menjadi satu kesatuan sehingga justru dapat menjadi benteng kebudayaan yang melindungi segenap bangsa hari ini hingga melangkah kedepan untuk tidak mudah terperangkap budaya-budaya yang memiliki tujuan-tujuan negatif yakni menguasai bangsa Indonesia bagi mencari pundi-pundi bagi negerinya. Bagi kita yang memiliki gerak karya kesenian tentulah memiliki kewajiban untuk melalui karya bernyanyi, menari, melukiskan atau berdialog dari hati ke hati dengan masyarakat agar tercapai satu kedaulatan rakyat yang mampu berbangsa dan bernegara.
Kita pasti akan bangga menjadi bangsa Indonesia dimanapun berada, karena kita memahami dan mengenal apa yang menjadikan kita bangga.
Salam jabat merdeka berkebudayaan.
Madrid, 10 Oktober 2023
Rudolf Puspa.
pusparudolf@gmail.com