Integritas dalam Penilaian Karya Seni, Sebuah Keniscayaan -->
close
Pojok Seni
30 October 2023, 10/30/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-10-30T01:00:00Z
Artikel

Integritas dalam Penilaian Karya Seni, Sebuah Keniscayaan

Advertisement
Nurse got Talent di Manado


Oleh: Ambrosius Markus Loho, M. Fil. (Dosen Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Budaya-Seni)


Integritas adalah mutu, sifat, atau keadaan yang menunjukkan kesatuan yang utuh sehingga memiliki potensi dan kemampuan yang memancarkan kewibawaan; kejujuran,’ kita semua mengenal secara etimologis, bahwa kata integritas (integrity), integrasi (integration) dan integral (integral) memiliki akar kata Latin, yaitu “integer” yang berarti “seluruh” (“whole or entire”) atau “suatu bilangan bulat” (“a whole number”) (Alkostar, tanpa tahun terbitan). Jadi, sesuatu yang berintegritas merupakan sesuatu yang utuh dalam keseluruhannya, sesuatu yang tidak terbagi, di mana nuansa keutuhan tidak dapat dihilangkan. 


Meskipun sesuatu yang berintegritas terdiri dari banyak elemen, keutuhan atau kebulatannya selalu terjaga sebagai hasil dari hubungan timbal balik yang kuat diantara elemen-elemennya. Dalam hal orang, misalnya, integritas umumnya dihubungkan dengan suatu keutamaan/ kebajikan (virtue) atau karakter yang baik. Contoh kongkret pengembangannya bisa dilihat dalam sebuah upaya pencegahan korupsi. Dalam hal ini, indikator yang paling sering disebutkan sebagai representasi sifat orang yang berintegritas adalah kejujuran. Kendati demikian, kejujuran tanpa pertimbangan kelayakan konteks, malah bisa menunjukkan sifat narsistik dan ketidakpedulian terhadap akibat buruk yang bakal menimpa orang lain. 


Dalam dunia kesenian, mengapresiasi tidak bisa dilepaskan dari integritas. Namun demikian, kita perlu memahami secara ketat dan tepat bahwa mengapresiasi adalah sebentuk usaha untuk mengerti tentang seni (performance art) dan menjadi peka terhadap segi-segi di dalamn performance art itu (yakni apa yang ditampilkan sebagaimana adanya), sehingga secara kapasitas, mampu menikmati dan menilai karya dengan semestinya. Jika demikian, sebagai salah satu unsur kebudayaan, seni itu tumbuh dan berkembang sejajar dengan perkembangan manusia selaku penggubah dan penikmat karya seni itu. (Bdk.Pengertian dari Integritas, Proporsi dan Klaritas Dalam Seni Rupa). 


Dalam konsep filosofis, kejujuran biasanya didefinisikan sebagai ‘tidak sengaja memutarbalikkan kebenaran’ (bersikap jujur, apa adanya, mengungkapkan sesuai keberadaannya). Demikian juga, kejujuran melibatkan ‘keputusan yang disengaja untuk melaporkan atau bertindak berdasarkan pernyataan proposisional (misalnya “Saya memang melihat seseorang menampilkan yang indah dan menarik, dalam penampilannya di ajang Nurse Got Talent tanggal 27). Namun demikian, dalam situasi sosial, kebenaran dapat melibatkan muatan emosional yang tidak ditangkap oleh pernyataan proposisional yang eksplisit sebagaimana tersebut di atas. 


Maka, untuk mengilustrasikan hal ini, kita bisa melihat skenario filosofis berikut, di mana seseorang mengatakan bahwa dia percaya orang kulit hitam dan kulit putih adalah setara, namun dia merasakan emosi negatif yang kuat sebagai reaksi melihat saudara perempuannya berkencan dengan pria kulit hitam. Atau juga bisa dilihat dalam sebuah penilaian seorang judges bahwa yang dia lihat dan dan dia nilai, tidak merupakan sebuah penilaian yang sebagaimana mestinya. jika demikian, maka hal ini menunjukkan betapa emosi dan nalar itu terpisah atau bahkan secara paksa dipisahkan oleh si judges itu. 


Pendek kata, berdasarkan catatan Danvers dkk dalam Emotional Congruence and Judgments of Honesty and Bias, dinyatakan bahwa dalam literatur filosofis, terdapat dua teori yang saling bertentangan tentang peran emosi. Dalam teori Roberts, emosi terpisah dari pengetahuan proposisional, sehingga respons emosional tidak dapat melemahkan keyakinan. Dalam teori Furtak, kebenaran dibentuk oleh proposisi eksplisit dan asosiasi emosional yang dipelajari, sehingga keduanya harus dipertimbangkan ketika menilai apakah seseorang membuat pernyataan jujur; ketidaksesuaian dapat menunjukkan bahwa orang tersebut tidak sepenuhnya memahami dirinya sendiri.


Dari sini dapatlah dikatakan bahwa integritas yang telah sangat jelas terkait erat bahkan secara utuh dengan sebuah kejujuran, selalu dan sering menjadi pertaruhan seorang judges/penilai atau juri dalam sebuah penilaian karya seni di panggung. Dari fakta ini, pertanyaan reflektifnya adalah: Apa yang paling penting harus dimiliki oleh seorang judges/penilai? Jawaban atas pertanyaan reflektif ini hemat penulis salah satunya berpijak dari apa yang pernah dikatakan oleh Jeihan Sukmantoro dalam Menjejak Kedigdayaan Sang Seniman Jujur , bahwa “Moyang etika dan estetika adalah kejujuran”. Adagium ini, secara eksplisit berpijak dari prinsip perupa yang dikaguminya, yakni Sudjojono, di mana dalam berkesenian, Sudjojono menganut kredo “Jiwa Ketok”. Bahwa, seni adalah jiwa si seniman yang terlihat. Jiwa ketok ialah wujud kejujuran di dalam karya. 


Akhirnya, kendati kapasitas dan kapabilitas seorang judges, terlampau mumpuni, namun tetap harus mengabdi kepada kejujuran dalam menilai. Para seniman (performance art) telah sangat jujur menyajikan talenta mereka di atas panggung, maka sebaliknya seorang judges pun haruslah demikian, menilai sebagaimana yang dipentaskan, dengan penuh integritas dan kejujuran. Niscaya kualitas dari penilaian itu, akan semakin memperkuat identitas diri para seniman, termasuk para judges dalam menilai. Salam seniman!

Ads