Advertisement
Pementasan Teater K_1 karya/sutradara Mameth Z Teganong, yang berlangsung di Gedung PPSB Jakarta Barat, 13 Oktober 2023. (Foto: Dok.pribadi Zackir L Makmur) |
Oleh: Zackir L Makmur
PojokSeni - Terpampang dalam poster warna merah jambu itu, serangkaikan kata-kata: “Elegi Ritus Mimitif, Nada Dasar Ce=Re”. Poster ini berhiaskan pula gambar teko bersama dua canting, terhampar di atas permadani terbang –di atas hamparan kotak-kotak catur, dengan di atasnya hati yang terisi turbin-turbin pabrik dan jam dinding tanpa angka.
Poster ini ceria, rasanya. Tambahan pula ada sebutan nada dasar ce=re, suatu referensi yang digunakan sebagai titik awal untuk membangun sebuah skala berdendang, yang ditingkahi warna merah jambu. Ceria, rasanya. Tetapi bersamaan pula ada yang paradoksal dengan ditampilkannya gambar turbin-turbin pabrik, dan jam dinding yang tanpa angka. Maka dari sinilah sebenarnya terjadi tekanan batin, bersamaan pula sedang berlangsungnya pergolakan pemikiran.
Semua itu disampaikan oleh pementasan Teater K_1 karya/sutradara Mameth Z Teganong, yang berlangsung di Gedung PPSB Jakarta Barat, 13 Oktober 2023. Dan teritorial pentas pun dibagi dua, di atas tampak seperangkat kursi dan meja dengan latar transparan tapi warna hitam –yang hebatnya bisa digunakan untuk tampilan visual penuh impresi. Dan ini menjadi tempat penandaan kota. Sedangkan teritorial pentas di bawah, terhampar onggokan padi-padi. Dan ini Dan ini menjadi tempat penandaan desa.
Ketika semua itu menjadi anasir-anasir terjadinya pergolakan pemikiran, maka kota dan desa di sini menjadi dua entitas geografis yang berinteraksi satu sama lain, sekaligus penuh goncangan-goncangan kejiwaan lewat proses penduduk pedesaan bermigrasi ke kota untuk mencari kesempatan hidup yang lebih baik. Tetapi kota sesungguhnya sudah sejak lama berdiri menyeringai, melumat siapa saja yang datang dari desa untuk dijadikan anasir-anasir mekanisme, pabrik, teknologi, dan perubahan sosial budaya.
Kekosongan Pergolakan Pemikiran Fenomenologi
Pementasan yang menampilkan seniman-seniman energik ini, begitu lihai memperlihatkan pergolakan pemikiran dalam perubahan sosial budaya tersebut. Dan sutradara dengan tangkas menyulut sumbu pergolakan pemikiran, antara lain secara halus merepresentasikan idiomatik filsafat konflik Urban versus Rural. Hal ini mengingatkan kita akan filsafat yang dicetuskan Jean-Jacques Rousseau. Meski agak sengau filsafat Jean-Jacques ini, tapi masih rada berbunyi, maka agak terasa artikulatifnya di mana filsafat ini menyampaikan penggambaran premis konflik antara kehidupan urban dan pedesaan.
Di sini sutradara yang juga penulis teks pementasan, walau agak gugup menyampaikan filsafat Rousseau, tak urung indah pula memperlihatkan kehidupan desa sebagai lebih sederhana, alami, dan murni, sementara kehidupan kota dipandang sebagai sumber ketidakbahagiaan. Maka pementasan ini makin gamblang memperlihatkan betapa pengaruh kota mungkin sebagai degradasi nilai-nilai moral dan keaslian yang ada di desa.
Sayangnya, pergolakan pemikiran itu tidak diteruskan lagi sampai ke tahap pergolakan pemikiran fenomenologi. Sayang disayang. Padahal pementasan ini sudah terbuka dan menawarkan pemikiran filosofis fenomenologis, suatu pemikiran filsafat yang pernah dicetuskan Edmund Husserl terhadap pengalaman manusia di mana pengaruh kota bisa merubah persepsi, interaksi sosial, dan cara manusia berhubungan dengan lingkungannya. Ini sudah ditampilkan dengan tatap bloking dan kostum pemain, tapi sayang masih mengalami kekosongan teks-teks filsafat fenomenologi walau secara bersahaja.
Dari itu ada kecanggungan ketika pementasan ini mengusung idiomatik filsafat ekologi dan etika lingkungan. Sehingga apa yang disebut pengaruh kota terhadap desa yang dapat dikaitkan dengan masalah-masalah lingkungan seperti urbanisasi, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan –justru tidak lengkap. Tidak mempertanyakan dampak negatif urbanisasi terhadap ekosistem desa secara filosofis, cuma secara verbal yang disemburkan para pemain teks-teks penjelasan pupuk tanaman juga berbahaya. Cara verbal ini, cara juru kelompencapir menerangkan apa itu. Jelas, cara verbal yang begitu bukan cara berfilsafat.
Pergolakan Pemikiran Sebuah Elegi
Pementasan Teater K_1 karya/sutradara Mameth Z Teganong, yang berlangsung di Gedung PPSB Jakarta Barat, 13 Oktober 2023. (Foto: Dok.pribadi) |
Kendati demikian, pementasan ini tetap stabil menampilkan pergolakan pemikiran. Lewat penampilan para seniman yang energik ini pula, nyaris, setiap gerakannya mengandung pergolakan pemikiran. Setidak-tidaknya suatu periode dimana gagasan, nilai-nilai, dan pandangan dunia masyarakat mengalami perubahan yang signifikan. Maka dalam konteks elegi, ritus, dan mimitif, sejumlah pergolakan pemikiran tersebut dapat membawa dampak besar pada cara manusia (kita) memahami dan merasakan ketegangan-ketegangan, tekanan batin, dan bahkan yang paling dalam pun yang bernama kerinduan.
Sehingga pementasan hasil racikan sutradara yang doyan “mikir” ini, yang direpresentasikan teks apa adanya dan gerak tubuh para pemain, semuanya memperjelas bahwa dalam masa pergolakan pemikiran, elegi bisa mengalami pergeseran makna dan ekspresi. Sehingga pelan-pelan pementasan ini sebetulnya sedang menyuguhkan senandung elegi dengan nada dasar Ce=Re untuk pembicaraan duka dan duka dan kehilangan.
Dari itu elegi dalam pementasan ini mengandung pergolakan pemikiran menjadi “senandung” pernyataan dan ekspresi kehilangan dan kerinduan. Semua ini menjadi perasaan mendalam, yang mengalami penafsiran ulang terhadap hidup (dan kehidupan) sebagai hasil dari pandangan dunia di masyarakat. Mala lewat pementasan ini Mameth Z Teganong serasa mempertegas bahwa pergolakan pemikiran seringkali mempengaruhi cara kita melihat dan mengungkapkan perasaan elegi kehidupan.
Sehubungan sutradara dari Jakarta Barat ini, Mameth Z Teganong, tergolong spesies berkaki dua yang doyan berpikir ini, maka pementasan Teater K_1 yang berjudul “Elegi Ritus Mimitif, Nada Dasar Ce=Re” pun tidak terperangkap menghadirkan perkara di awang-awang dalam masa pergolakan pemikiran. Karena itu ada tokoh cerita yang teridentifikasi dari desa, sehingga di pementasa ini yang begitu mengiris psikologis: betapa elegi dapat menjadi sarana untuk mengkritik perubahan sosial dan politik.
Pergolakan Pemikiran Dari Kutukan
Lantas pementasan ini juga bergegas menyampaikan pergolakan pemikiran terhadap makna ritus. Perpindahan bloking, ekspresi dan gerak tubuh pemain, bersamaan pula dengan penataan cahaya yang digarap oleh Heri Jambul memberikan efek cahaya begitu magis, membuat pementasan ini memang sebuah ritus: serangkaian tindakan yang memiliki nilai simbolis. Oleh karena itu ritus dalam elegi ini sekaligus memberitahukan berbagai aspek kehidupan manusia --termasuk budaya, sosial, atau pribadi. Ritus sering digunakan untuk merayakan, menghormati, atau memperingati suatu peristiwa atau konsep tertentu.
Maka di pementasan ini, sebagaimana lazimnya makna sebuah ritus, melibatkan serangkaian tindakan atau langkah yang telah ditentukan, dan diikuti dengan ketat. Ini memiliki unsur-unsur simbolis yang mewakili makna tertentu. Dalam pementasan ini, para penonton ditawarkan langsung untuk memilih sendiri simbol-simbol yang diinginkan dari elegi ritus ini. Apa mau memetik simbolisme itu yang berupa objek, kata-kata, gerakan dan ekspresi pemain, atau tata cahaya yang magis. Terserah ente.
Hal yang tidak boleh diabaikan begitu saja, bahwa dalam pementasan ini memberikan kontekstual sosial dan kultural. Sehingga pementasan ini semacam memberitahukan bahwa ritus ada untuk menjadi bagian dari budaya dan struktur sosial masyarakat. Tetapi dalam pementasan elegi ritus ini, justru, ritus dipersonifikasikan sebagai upacara kesedihan. Upacara kesedihan, kita tahu: adalah upacara pemakaman.
Ironisnya, elegi ritus ini terus-terus diulang-ulang manusia –baik dari manusia masa lalu maupun manusia masa kini. Maka nyatalah bahwa elegi ritus ini yang diulang-ulang menjadi “Elegi Ritus Mimitif”. Dalam pementasan “Elegi Ritus Mimitif” yang dilangsungkan oleh Teater K_1 dengan didukung para pemain energik antara lain Ajie BE, Andreansyah, Arsha DS, Bayu Ngireng, Buyud Suyudi, Faiz Gemblong, Jeni Syiah, Kutman, Mat Jegger Nakka Galunggung, Nyamuk Mewah, Oncot Albar, Rasya, Rian F Nasti, Wahyu Molhsah, semakin jelas memperlihatkan betapa manusia ritus –sekalipun itu rasanya elegi
Maka dari sanalah terjadi pula pergolakan pemikiran yang mempengaruhi cara manusia (kita) menilai peniruan dan pemodelan perilaku manusia. Dalam masyarakat yang berkembang cepat dan berubah, pemikiran tentang konformitas, identitas diri, dan pengaruh media dapat mempengaruhi praktik mimitif. Dalam konteks pergolakan pemikiran, peniruan dan adaptasi menjadi lebih dinamis –sekaligus ironis.
Pementasan yang tata artistiknya digarap Torro Brown, tata suara ditangani oleh Ian Malaki, video Mapping ditangani Buyung Er, dan selaku Direktur Teknik Kutmen, terasa sekali kerjasamanya sampai ke pentas. Sehingga pementasan ini yang digawangi Pemimpin Produksi Ainun Nur Auliyah begitu selaras penampilannya, padahal pementasan ini sedang mengusung pergolakan pemikiran. Yang mana pergolakan pemikiran menjadi “saat” di mana elegi, ritus, dan mimitif dapat mengalami transformasi dan perubahan makna yang signifikan. ***
Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), serta menulis beberapa antara lain buku fiksi “78 Puisi Filsafat Harapan: Percakapan Kaboro dan dan Kinawa” dan non fiksi “Manusia Dibedakan Demi Politik”.