Menyoal Nilai Tradisional dalam Garapan Musik Kolintang -->
close
Pojok Seni
22 September 2023, 9/22/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-09-22T01:00:00Z
BudayaUlasan

Menyoal Nilai Tradisional dalam Garapan Musik Kolintang

Advertisement
Nilai Tradisional dalam Garapan Musik Kolintang
Nilai Tradisional dalam Garapan Musik Kolintang

Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*


Haruskah nilai tradisi ditinggalkan, manakala gaya atau style modern semakin mendapatkan tempat, sehingga nilai jual semakin meningkat? Apakah gaya atau style modern satu-satunya hal penting dalam mempopulerkan musik berbasis tradisional seperti musik kolintang? Dan banyaknya pertanyaan terkait dengan gaya modern yang sampai saat ini, diadopsi dan diaplikasikan dalam garapan musik tradisional kolintang.


Kenyataan saat ini mementaskan sebuah kenyataan bahwa masyarakat Indonesia secara khusus masyarakat kesenian, tampak lebih memilih kebudayaan yang bernuansa modern yang dianggap lebih menarik ataupun lebih unik dan praktis. Betapa tidak, tampak jelas dalam garapan musik kolintang, yang seakan lebih menarik ketika gaya modern yang dipraktekkan, ketika gaya modern itu dipraktekkan, publik merasa bahwa sudah seharusnya musik ini digarap seperti ini. Bahkan lambat laun, nilai tradisi mulai ditinggalkan. 


Dari fakta ini, Malinowski, menyatakan bahwa budaya yang lebih tinggi dan aktif diyakini akan semakin mempengaruhi budaya yang lebih rendah dan pasif melalui kontak budaya. Hal ini memang demikian adanya, karena ketika budaya lokal, yang sering dianggap tradisional (jadul) berkonfrontasi dengan budaya modern, yang tampak lebih khas dan sering nyata sangat energik, menjadi pilihan para penggarap musik tradisional seperti kolintang. 


Kendati demikian, kita perlu memahami sekurang-kurangnya beberapa poin berikut: Pertama, di era globalisasi informasi, budaya bernuansa modern telah menjadi kekuatan yang sangat dahsyat, yang mempengaruhi pola pikir manusia. ‘Budaya barat’ saat ini bahkan diidentikkan dengan modernitas (modernisasi), dan budaya timur diidentikkan dengan tradisional atau konvensional. Dalam kondisi demikian, orang tidak saja mengadopsi ilmu pengetahuan dan teknologi terbaru, sebagai bagian dari kebudayaan, tetapi juga meniru semua gaya tersebut, dan dianggap itulah kebudayaan yang paling maju. Terhadap hal ini, maka yang tradisional akan dianggap jadul dan tertinggal. 


Kedua, kendati budaya modern itu semakin mendominasi pola pikir kita, justru yang paling bijak adalah bahwa budaya lokal itu, harus dapat  bersesuaian dengan  perkembangan zaman, selagi tidak  meninggalkan  ciri  khas  dari  budaya aslinya. Hal ini akan terjadi apabila, pembelajaran budaya perlu digiatkan, dengan konsep dasar bahwa budaya tradisional, bisa dengan mudah membuka diri terhadap budaya yang tampal lebih modern. Dengan ini maka, pembelajaran tentang budaya, harus ditanamkan sejak dini.  


Ketiga, dari dua poin di atas, sejatinya kita perlu menempatkan sebuah pemikiran bahwa kita perlu banyak mempelajari budaya lokal dalam kolaborasi dengan budaya modern. Bahkan pemerintah harus memberi porsi lebih besar pada pengembangan sebuah budaya yang kolaboratif, karena melalui pembelajaran budaya, kita dapat mengetahui pentingnya budaya lokal dalam membangun budaya bangsa serta bagaimana cara mengadaptasikan budaya lokal di tengah perkembangan zaman yaitu era globalisasi. (Nahak, 2019). 


Dalam kajian penulis sebelumnya, penulis pernah mencatat bahwa, sejalan dengan kemajuan dunia, termasuk kemajuan kesenian hingga saat ini, termasuk penggarapan aransemen, dapatlah kita peroleh sebuah fakta bahwa produk seni dan budaya perlu terus dikemas sedemikian rupa, demi menarik minat audiens. Namun hal tersebut perlu dibarengi dengan sebuah manajemen pengelolaan yang baik, agar sungguh-sungguh berhasil guna bagi daerah itu, tetapi juga bagi pemilik seni budaya itu. Baca juga: Komodifikasi Seni Sebuah Keniscayaan


Di sisi yang sama, Ferdinand A. Soputan, pernah memaparkan dalam tesisnya bahwa seorang seniman harus memiliki interpretasi yang mumpuni terhadap sebuah lagu agar bisa mengkomodifikasikan garapannya ke bentuk yang lebih “modern”. Diperlukan pula interpretasi seni dalam bentuk peleburan horison subjek (sang penggarap) dengan musik yang digarap. Lewat beberapa fakta model aransemen musik kolintang saat ini, dapat dikatakan bahwa model penggarapan yang standar dengan penerapan penggunaan ‘akor tiga batu’, sejatinya dapat dikembangkan menjadi bentuk yang lebih progres dan variatif. 


Dalam proses aransemen instrumen musik kolintang, seorang seniman perlu menyesuaikan bentuk aransemen dengan fungsi alat musik. Demikian juga, hal penting lainnya, yang perlu diperhatikan adalah penyusunan aransemen instrumen dalam musik kolintang, yaitu harus berpedoman pada melodis, harmonis, dan ritmis sebagai bagian dari pengetahuan ilmu harmoni dan akor. Dengan upaya aransemen ini, musik kolintang akan mempu bertahan dan terus mendapat tempat di hati para penikmatnya.


Jadi dapat disimpulkan bahwa, sebuah aransemen musik kolintang, harus mengabdi pada yang tradisional, tetapi juga terbuka pada yang modern. Banyak cara untuk bisa mengolaborasi dan mempraktekkannya, karena keterbukaan dari musik kolintang itu, termasuk kekhasan yang merupakan kekayaan musik kolintang itu. Berpikir Global, Bertindak Lokal. Salam Kolintang.


*Penulis adalah Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat – Estetika - Seniman Kolintang.

Ads