Advertisement
Oleh: Adhyra Irianto
Pojok Seni - Simone Teerink, seorang analis di Universitas Utrecht juga anggota NWO (Dewan Riset Belanda) menulis thesis buku tesis berjudul "Unravelling Art Prices: A study about determinats influencing the price of art on the Dutch primary art market" (Teerink, 2014). Ada hal yang menarik dari perspektif Teerink yang dimuat di buku tesis tersebut, yakni ada lima nilai yang memengaruhi penilaian benda seni.
Tapi sebelumnya, perlu kita luruskan dulu bahwa nilai seni itu TIDAK SAMA dengan harga seni. Itu berarti nilai ≠ harga dalam konteks karya seni. Harga berarti sejumlah uang dikenakan untuk satu benda atau layanan jasa. Bila diartikan secara umum, harga adalah total dari semua nilai penggunaan suatu produk atau jasa. Apa saja hal yang memengaruhi penetapan sebuah harga? Dalam konteks pasar, penetapan harga dilakukan berdasar:
- penetapan harga berdasar nilai dari pelanggan/pengguna
- penetapan harga berdasar modal
- penetapan harga berdasar harga dari kompetitor
Dan karya seni TIDAK dihargai berdasar strategi pasar tersebut. Sebelumnya, Pojok Seni mengulas tentang Trans-Estetika yang diunggah di channel YouTube Introgasi Nalar. Dalam video tersebut, diulas bagaimana penetapan harga berdasar "konspirasi" untuk menjadikan karya seni bernilai miliaran rupiah. Anda bisa melihat videonya di bawah artikel ini.
Mengutip Carter (1993), bisa kita sebut bahwa karya seni tidak bisa dihargai berdasarkan indikator produksi, selayaknya produk-produk hasil pabrikan. Dengan kata lain, material karya seni itu, jam kerja, profit, pengeluaran, inflasi, dan sebagainya akan "mental" dari skema penetapan karya seni. Penyebabnya, nilai tukar dan nilai guna tidak berlaku untuk karya seni. Kenapa karya seni, seperti benda seni dan lukisan bisa memiliki harga yang tinggi, penyebabnya dikarenakan dibuat dengan sangat terbatas, dikerjakan secara manual, menggunakan rasa dan jiwa, serta memerlukan keterampilan teknis yang kreatif dan kompeten. Satu hal lagi yang akan memengaruhi harga karya seni, tentunya adalah nilai seni.
Semakin tinggi nilai sebuah karya seni, maka akan semakin tinggi harganya. Yah, meski nilai bukan berarti harga, tapi keduanya akan saling memengaruhi. Nah, nilai ini yang akan kita bicarakan dalam artikel ini. Kembali ke tulisan Teerink, kita ketahui bahwa ada lima nilai yang memengaruhi penilaian (yang kemudian terkait ke penetapan harga) sebuah karya seni.
Kelima nilai tersebut antara lain nilai ekonomis, nilai fundamental, nilai kritis, nilai simbolis, dan nilai estetik. Mari kita ulas satu per satu.
Nilai Fundamental
Secara singkat, nilai satu ini dikaitkan dengan "siapa seniman". Maka, seorang profesor seni akan memiliki nilai fundamental yang lebih tinggi dari mahasiswanya. Dasar utama dari nilai fundamental adalah skill (kemampuan) dan posisi (status sosial) si seniman. Pertanyaannya, siapa yang "melegitimasi" status seniman tersebut? Mulai dari kolektor, kritikus, makelar, konservator, kampus seni, dan sebagainya memiliki kemampuan dan peluang (juga otoritas) untuk melegitimasi status si seniman. Baik dalam konteks inovasi, sejarah, pengaruh, dan sebagainya.
Nilai Ekonomis
Dalam arti sempit, apakah benda seni itu layak atau bisa untuk diperjualbelikan? Apabila bisa, maka ada nilai ekonomisnya. Nilai ekonomis yang dimaksud tentunya "transposisi" ke sejumlah uang untuk mendapatkan benda seni tersebut. Di bagian ini, material mulai ikut diperhitungkan.
Nilai Kritis
Nilai kritis disandarkan pada penilaian objektif pada karya seni tersebut. Teknik apa yang digunakan, aliran atau gaya, variasi bentuk, komposisi, bahan, material, dan sebagainya diidentifikasi dalam penilaian satu ini. Ada dua karya pelukis yang sama, dengan material yang sama, teknik yang sama, dan kanvas yang sama bisa berharga sangat jauh bedanya hanya karena satu lukisan dibubuhi tanda tangan, dan satunya lagi tidak. Ini adalah contoh penerapan "nilai kritis" dari satu karya seni.
Nilai Simbolis
Nilai ini juga disandarkan pada penilaian objektif, namun arahnya ke luar karya seni itu. Misalnya, premis atau ide dari suatu karya, preposisi dan gagasan yang ditawrakan karya, cara pandang seniman dalam merespon situasi sosial terkait lewat karyanya, hingga bagaimana seorang pemirsa menanggapi karya tersebut menjadi poin-poin dalam penilaian ini.
Nilai Estetik
Saatnya penilaian dari seorang estetikawan ikut dalam campaign ini. Dengan penilaian ini, pengetahuan dan kecerdasan artistik seorang seniman akan sangat berdampak besar. Pengalaman artistik dan pengalaman estetik seorang seniman akan memberikan pengaruh yang signifikan. Seberapa besar nilai estetik sebuah karya, akan memengaruhi pula seberapa "mahal" harganya.
Meski demikian, Teerink sendiri meyakini bahwa harga karya seni tidak bisa menjadi tolok ukur nilai seni. Karena seperti deretan penilaian yang memengaruhi harga karya seni tadi, ada beberapa hal seperti "reputasi seniman", "pengaruh seniman", "portofolio" dan lain-lain yang ikut memengaruhi harga karyanya.
Kenapa tidak ada Nilai Budaya?
Pertanyaannya adalah kenapa dari kelima nilai yang disebut sebelumnya, tidak ada nilai budaya yang ikut memengaruhi harga sebuah karya seni?
Sedikit mengulas apa yang dinyatakan oleh Arjo Klamer dalam bukunya berjudul "Telgen van Tinbergen: Het verhaal van de Nederlandse economen" (Kisah para ekonom Belanda) terbit tahun 1996, menceritakan bagaimana para ekonom Belanda menolak "nilai budaya" dalam penilaian karya seni. Itu juga yang memengaruhi kenapa "nilai budaya" tidak termasuk dari lima nilai yang diulas di atas. Apa penyebabnya?
Sebab, dulunya bisnis seni kerap terkait dengan hal-hal yang "gaib" dan penuh "mitos", yang menjadikan karya seni tidak bisa teridentifikasi sebagai sebuah komoditas. Karena itu, para ekonom yang melihat pasar seni penuh dengan "ke-ghaiban" itu mencoba menghilangkan satu nilai yang menjadi landasan penetapan harga karya seni selama berabad-abad sebelumnya, yakni nilai budaya.
Nilai budaya telah ditolak dan dilarang dibicarakan dalam konteks ekonomi. Juga telah menjauh dari bahasan akademisi ekonomi. Karena bila dilihat dalam konteks budaya, maka komodifikasi budaya semestinya tidak bisa diukur, dan ditetapkan harganya dengan mata uang apapun. Karena itu, dalam konteks budaya juga, seharusnya karya seni TIDAK BOLEH DIPERDAGANGKAN.
Namun, ketika karya seni mulai diperdagangkan, itu berarti karya seni sudah masuk dalam ranah komoditas. Lukisan misalnya, direduksi oleh para ekonom menjadi komoditas, dan persoalannya adalah bagaimana cara menetapkan harganya, mesti ditentukan dengan rasional.
Referensi:
- Teerink, Simone. (2014, August 29). Unraveling Art Prices. Master Arts, Culture & Society. Retrieved from http://hdl.handle.net/2105/18274
- Carter, Michael. (1993). Framing art: Introducing theory and the visual image. Sydney: Hale & Iremonger.