Advertisement
Kredit pasca film Jagal (The Act of Killing) dipenuhi dengan "anonim" |
Pojok Seni - Anda tentu terbiasa membaca kredit setelah film selesai, bukan? Bahkan mungkin, di antara Anda adalah orang-orang yang paling menunggu kredit setelah film tersebut. Nama-nama mulai dari sutradara, produser, pemeran, tim produksi, sampai crew di belakang kamera akan bermunculan setelah film selesai. Tapi, tahukah Anda, ada sebuah film di mana nyaris setengah dari krunya tertulis "anonim" di kredit film?
Film yang dimaksud ada dua film. Film pertama berjudul Jagal: The Act of Killing yang dirilis pada tahun 2012 silam. Sedangkan satu lagi berjudul Senyap: The Look of Silence yang rilis pada tahun 2014. Dua film tersebut merupakan karya dari sutradara bernama Joshua Oppenheimer. Film The Act of Killing masuk nominasi Oscar ke-86 sebagai film dokumenter terbaik, yang menjadikan film ini sebagai film produksi Indonesia pertama yang menjadi nominasi Oscar, meski disutradarai oleh sutradara berkebangsaan Amerika dan Inggris, serta tinggal di Denmark.
Film Senyap: The Look of Silence juga masuk nominasi Oscar pada tahun 2016. Kedua film ini juga diganjar puluhan penghargaan dari sejumlah otoritas terkemuka perfilman. Di situs kritik film seperti Rotten Tomatoes, Metacritic dan lain-lain, film ini mendapatkan skor rata-rata 88.
Sama seperti film Jagal, kredit pasca film Senyap (The Look of Silent) juga dipenuhi Anonim |
Perlu dicatat juga, bahwa kedua film ini resmi dilarang diputar di bioskop seluruh Indonesia. Meski demikian, film ini tetap bisa disaksikan di YouTube. Anda bisa menyaksikannya di bawah ini:
Link Nonton Film Jagal - The Act of Killing
Link Nonton Film Senyap - The Look of Silent
50 Persen Kru Anonim
Bila Anda telah menyaksikan film tersebut dua-duanya hingga selesai, jangan beranjak dulu. Coba lihat kredit pasca filmnya. Saat itu, Anda baru menyadari bahwa ada nama-nama "anonim" tertulis di kru-krunya. Mulai dari asisten sutradara, asisten produksi, sampai supir, kameramen, tim umum, dan sebagainya. Semakin ke bawah, maka akan semakin banyak nama-nama anonim di bawahnya. Yah, sekitar 50% dari seluruh krunya adalah anonim alias tanpa nama. Pertanyaannya, kenapa seperti itu?
Kenapa banyak kru di dua film tersebut (Jagal dan Senyap) ditulis sebagai anonim? Sebenarnya, Anda bisa melihat nama-nama yang ditulis adalah nama-nama orang asing, atau bukan WNI. Sedangkan film tersebut diproduksi dan diambil gambarnya di Indonesia. Dengan demikian, baik pemain hingga kru sebagian besar adalah orang Indonesia. Nah, Anda tidak akan menemukan nama-nama orang Indonesia satupun di kedua film tersebut. Itu berarti, nama-nama yang anonim tersebut bisa dipastikan adalah nama-nama orang Indonesia yang menjadi kru di film tersebut.
Nama mereka sengaja tidak ditulis dikarenakan demi keamanan para kru itu sendiri. Ditakutkan, apabila nama mereka ditulis, maka mereka akan menjadi incaran orang-orang yang tidak suka dengan realitas yang dihadirkan dalam film tersebut.
Sinopsis Film Jagal (The Act of Killing)
Film Jagal atau versi bahasa Inggrisnya The Act of Killing, mengambil perspektif dari pembunuh. Adalah Anwar Congo (yang baru meninggal tahun 2019 lalu), yang merupakan tokoh nyata, dan menjadi tokoh terkemuka untuk Pemuda Pancasila di Medan, Sumatera Utara. Anwar Congo di masa muda merupakan penjagal yang bertugas untuk membantai para simpatisan Partai Komunis Indonesia (PKI), termasuk etnis Tionghoa, seniman, tokoh intelektual, dan sebagainya hingga mencapai lebih dari 1 juta orang.
Jumlah 1 juta orang itu hanya di Medan dan sekitarnya saja, bayangkan berapa jumlahnya di seluruh Indonesia! Anwar Congo sebelumnya adalah preman yang biasa menjadi pencatut karcis bioskop pinggiran, dan lebih sering memutar film kelas "rakyat". Namun, pada tahun 1965 itu, mereka menjadi "hero" yang membantai jutaan orang, dimulai dari penyiksaan yang brutal.
Kisah nyata tersebut didramatisir menjadi fiksi, menjadikan Joshua Oppenheimer sebagai sutradara yang berhasil menyintas batas antara film dokumenter dan film fiksi.
Sinopsis Film Senyap (The Look of Silence)
Setting waktu dan tempat film ini sebenarnya sama dengan film Jagal (The Act of Killing). Perbedaan utama adalah perspektif yang digunakan di film ini merupakan perspektif dari korbannya. Ada cerita tentang seorang bernama "Pak Adi" yang memiliki kakak penyintas dan dianggap sebagai simpatisan PKI. Kakaknya ditangkap dan menghilang tanpa kabar.
Pak Adi adalah orang yang mencoba mencari kebenaran, memecah kesenyapan, sekaligus meminta pertanggungjawaban atas hilangnya kakaknya. Sampai ia tahu bahwa kakak-kakaknya dibantai secara keji bersama jutaan korban lainnya.
Kesimpulan
Dua film di atas mengangkat kisah yang luput dari catatan sejarah yang ditulis era Orde Baru. Tanpa menyebut siapa yang salah atau siapa yang benar, kita harus mengakui bahwa jutaan simpatisan dan penyintas yang dikaitkan dengan partai paling kontroversial di sejarah negeri ini, tidak semuanya orang yang bersalah. Ada seniman, intelektual, dan orang-orang yang bahkan tidak tahu apa-apa. Ada tukang bersih-bersih kantor partai, ada tukang yang sering memperbaiki kerusakan di kantor partai, ada supir angkot yang sering menjadi "seksi transportasi" di acara PKI, dan ada etnis Tionghoa yang tidak tahu apa-apa.
Mereka juga ikut menjadi korban genosida brutal di tahun 1965. Hal yang sangat terkait dengan kejadian malam 30 September 1965, yang menyebabkan ada banyak jenderal angkatan darat yang menghilang. PKI adalah partai yang bertanggung jawab dengan pembantaian santri dan ulama di Madiun, dan beberapa tempat lainnya, terkait dengan pemberontakan DI/TII. Pembantaian tersebut juga bukan hal yang dibenarkan.
Baik PKI maupun Orba, adalah dua "otoritas" yang kemudian sama-sama melakukan genosida, dan banyak membunuh orang-orang yang tidak bersalah. Hanya saja, Orba membunuh lebih banyak orang, dan mencatat sejarah sebagai pahlawan, serta berhasil mencuci tangan bekas darah tersebut dengan bersih.
Dua film di atas lebih bertujuan untuk membuka tabir kejahatan kemanusiaan yang mengerikan dan brutal, namun ditutupi dengan sejarah yang ditulis lewat buku pelajaran era Orba. Pembantaian ini juga sangat terkait dengan perebutan kekuasaan yang semakin kukuh di tahun 1966. Ada banyak pertanggungjawaban yang mesti dibenahi oleh Indonesia. Ada banyak kejahatan HAM yang masih harus diselesaikan, dan ada banyak darah yang tertumpah sia-sia dalam sejarah perjalanan republik ini.