Filsafat Seni & Cara Pandang Baru tentang Kesenian (?) -->
close
Pojok Seni
29 September 2023, 9/29/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-09-29T01:00:00Z
ArtikelSeni

Filsafat Seni & Cara Pandang Baru tentang Kesenian (?)

Advertisement
Ilustrasi kesenian kolintang
Kesenian Kolintang (Foto by Stave Tuwaidan)


Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*


Filsafat adalah ilmu kritis. Sekurang-kurangnya itulah pandangan dari guru saya Prof. Franz Magnis Suseno. Dalam buku filsafat sebagai ilmu kritis, dia mengetengahkan bahwa filsafat memang ilmu kritis, yang atas cara tertentu mampu mengkritisi semua hal dalam realitas, tak terkecuali seni dan kesenian yang juga telah lama berkembang dan bahkan akan terus berkembang. 


Filsafat juga memberi perspektif bagi manusia bahwa, segala sesuatu menjadi terbuka untuk sebuah kritik, untuk semua pemahaman yang lebih dalam dan bermakna. Filsafat bahkan menurut Donald (2012), sebagai ilmu yang menyelidiki hal-hal mendasar dan menyeluruh. Ilmu ini dipandang sangat berbeda dengan ilmu-ilmu lainnya, karena dia mengkaji segala sesuatu secara menyeluruh. Dia juga terus-menerus mempertanyakan dan berupaya menjawab berbagai macam permasalahan yang tak dapat dijawab oleh ilmu lainnya secara rasional dan bertanggung jawab. 


Oleh karena itu, filsafat tidak dapat tidak bersifat kritis. Kritis di sini dalam artian terus menerus bertanya—secara eksternal mempertanyakan hal-hal di luar dirinya (lingkup ilmu khusus) dan juga secara internal mempertanyakan diri sendiri, sehingga tidak berhenti pada sebuah klaim kebenaran—tentang hal-hal fundamental dan mencari jawaban secara rasional dan bertanggung jawab. 


Sejalan dengan itu, setiap subjek pada dasarnya harus dapat berpikir filosofis dalam menghadapi segala realitas kehidupan ini yang menjadkan filsafat harus dipelajari. Berpikir filsofis itu nampak dalam ciri-ciri tertentu yaitu: Radikal yaitu berpikir sampai ke akar-akarnya. Universal adalah berpikir tentang hal-hal serta proses-proses bersifat umum, konseptual, koheren dan konsisten. Termasuk didalamnya, berpikir secara sistematik, komprehensif dan bebas, serta bertanggung jawab. (https://www.indonesiana.id/read/133462/pentingnya-filsafat-sebagai-ilmu-kritis)


Pendek kata, sifat kritis merupakan tuntutan internal dari berpikir filosofis itu. Seorang pemikir memang seharusnya selalu kritis, bertanya dan mencari jawaban-jawaban rasional. Dengan demikian, jelaslah bahwa disinilah terletak tanggung jawab filsafat, yakni secara kritis terus menerus mempertanyakan dan juga harus berani menawarkan jawaban-jawaban rasionalnya bagi permasalahan-permasalahan dalam realitas.  Dalam hal ini, filsafat juga terbuka terhadap segala kritik yang menyangkal jawabannya dan berani mengajukan argumentasi rasional secara objektif, sehingga jawaban yang diberikan bisa dimengerti.


Dari dasar pemikiran tentang filsafat dalam uraian di atas, pertanyaan selanjutnya adalah, bagaimana filsafat bisa memandang seni dan kesenian dengan cara kritis? Untuk menjawab hal tersebut, kiranya kita perlu menempatkan bahwa filsafat kesenian itu sama dengan estetika, karena secara substansial. Karena itu, maka estetika sejatinya merupakan refleksi filosofis tentang nilai estetis, pengamalan estetis, hubungan seni dan masyarakat. Inilah sejatinya sumbangan estetika bagi perkembangan seni, yakni sumbangan teritisnya yang berguna dalam perumusan seni yang memadai. (Suryajaya, 2016).


Dalam praksis yang penulis amati dan alami, narasi-narasi dalam uraian tentang kesenian tradisional, telah banyak dipublikasikan, tampak hanya berupa kronologi penampilan seniman atau sekelompok penyaji seni di atas pentas-panggung saja. Jika demikian, maka pola pikir yang dibangun dari sajian ini adalah hanya mengarah pada/ berorientasi kepada ‘jika sudah tampil maka selesai’, dan kita tidak memiliki nilai lebih dari sekedar itu. Demikian juga, semua penyaji seni ini, hanya fokus pada euforia, berdasar pada pemikiran bahwa saya telah melakukan sesuatu terhadap kesenian tertentu. Bahkan melebihi itu, semua hanya fokus kepada performance art, sebuah kesenian, tanpa meninggalkan sesuatu yang lebih bernilai, dan bermakna bagi para pengamat dan penonton.


Kendati demikian, dengan pola pikir filosofis, kita perlu mengupayakan sebuah cara pandang baru terhadap apa yang ditampilkan di atas panggung, karena sudah seharusnya juga seniman atau penyaji seni membeberkan struktur argumentatif makna apa dia tampilkan di atas pentas. Maka dari itu, menurut hemat penulis, teori disinterestedness Kant telah sangat tepat untuk dijalankan dalam proses performance art, baik oleh seniman (pelaku seni) maupun penikmat seni (penonton). Konsep Kant ini menekankan bahwa keputusan citarasa (judgement of taste): indah atau tidak indah sebuah karya seni, bukanlah bersifat logic, melainkan estetikal. Keputusan citarasa ini mengartikan bahwa si penyaji seni dan si penikmat seni, sama-sama harus mengalami sebuah keputusan estetis yang berdasar pada suatu sajian yang indah. Semua tidak dalam upaya untuk mengambil keuntungan dari apa yang disajikan, melainkan fokus pada sajian bahwa ‘seni yang di panggung itu, benar-benar indah’. 


Sejalan dengan itu, beriringan dengan statement Dawami (2021) dalam “Estetika Seni Sebuah Sejarah Singkat dari Martin Suryajaya”, bahwa Danto (Artur Danto) akan mengatakan, ‘Kita tidak akan melihat sebuah benda sebagai karya seni, apabila kita tidak memiliki penafsiran tentang seni, pengalaman seni, diskusi seni di dalamnya’. (Bdk. https://mirmagz.com).  Hal ini dimaksudkan bahwa sebuah benda menjadi karya seni, karena ada jejaring sosial yang membuatnya disebut sebagai karya seni. Karena ada interaksi antara penulis rupa, jurnalis seni, publik seni, yang semua berdiskusi. Didalamnya ada interaksi antara penulis, jurnalis seni, serta publik seni, yang semua berdiskusi menjadi karya seni, maka ada konvensi karya seni. Bukan masalah instrinstik dari benda itu sendiri. (ibid)


Akhirnya, dari uraian yang serba sangat singkat ini, penulis berkeyakinan bahwa sebuah cara baru untuk melihat sebuah kesenian, harus berorientasi kepada kesatuan antara karya seni, penyaji seni, dan penonton atau publik yang menghasilkan sebuah kesimpulan bahwa hal ini indah, menarik, adalah sesuatu cara pandang baru dari sebuah pola berpikir filosofis, itulah bangunan dasar dari sebuah filsafat kesenian atau biasa kita kenal dengan estetika. Dengan perspektif filsafat kesenian, maka karya seni tidak lagi hanya sebatas tentang keindahan komposisional suatu karya, melainkan juga tentang pengaruhnya bagi orang banyak.  (Martin Suryajaya dalam https://kebudayaan.kemdikbud.go.id/galerinasional/lahirnya-estetika-baru-seniman-bukan-lagi-pencipta-artefak-seni/)

* (Dosen Filsafat Unika De La Salle Manado)

Ads