Sebuah Antitesis: Apakah Benar Adab Lebih Penting dari Ilmu? -->
close
Pojok Seni
07 September 2023, 9/07/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-09-07T03:22:54Z
ArtikelOpini

Sebuah Antitesis: Apakah Benar Adab Lebih Penting dari Ilmu?

Advertisement
apakah adab lebih penting dari ilmu


Oleh: Adhyra Irianto


Saya pernah dituduh "menggurui" seseorang yang lebih senior. Penyebabnya adalah, saya mengkritisi apa yang ia katakan, mengajaknya berdiskusi, atau lebih tepatnya: berdebat.


Namun, pada akhirnya, sebuah kalimat paling pamungkas dikeluarkan "senior" tersebut untuk menghentikan perdebatan. "Hanya mencari-cari kesalahan orang yang lebih tua, benar-benar tidak sopan dan tak beradab. Kita tidak butuh orang berilmu, karena adab jauh lebih penting daripada ilmu."


Kalimat tersebut biasanya akan disambung dengan lebih pedas, "untuk apa orang-orang berilmu tapi tidak beradab, tidak ada gunanya baik di dunia, maupun di akhirat."


Sampai di sini, mari kita coba bicarakan lagi apakah benar adab itu lebih penting daripada ilmu? Kalau iya, maka adab yang seperti apa, dan ilmu yang seperti apa? Apa standar kesopanan, untuk seseorang dikatakan "beradab"?


Adab dan Ilmu: etika dan etiket


Adab secara etimologi berasal dari bahasa Arab, yakni Addaba (Yu'addibu/ta'dib) yang artinya adalah pendidikan. Nah, pendidikan yang dimaksud adalah pendidikan etika; budi pekerti, perangai, tingkah laku, dan sebagainya.


Maka pembicaraan kita mengarah ke "etika". Orang yang beradab itu adalah orang yang beretika. Orang yang tidak beradab, adalah orang yang tidak beretika. Maka, beradab itu sinonim dengan beretika.


Sayangnya, di Bahasa Indonesia, kita hanya mengenal satu kata: etika. Sedangkan dari bahasa asalnya, yakni bahasa Inggris (berakar dari Perancis), dikenal dua kata: ethique dan etiquette. Atau, kalau ditranslasi menjadi etika dan etiket. Kadang-kadang, etiket itu menjadi "etik", tapi kadang-kadang etik lebih mengarah ke kata sifat untuk etika.


Apa perbedaan etika dan etiket?


Etika, berasal dari kata Ethique (prancis kuno), dari bahasa latin Ethice, dan berasal dari bahasa Yunani, Ethos. Kata ini berarti "prinsip moral yang mengatur tingkah laku seseorang, atau mengatur bagaimana pelaksanaan suatu aktivitas". Dalam perkara "etika" ini, bila Anda melanggar "etik", maka Anda adalah orang yang tidak beretika. Misalnya, membunuh orang lain, atau mencuri. Sebagian besar "etika" akan berlaku universal atau umum, sedangkan ada lagi "etik" yang menyangkut etika suatu lebih spasial atau khusus.


Etiket, berasal dari kata Etiquette (Prancis Kuno). Kata ini berarti "kode adat perilaku sopan" dan biasanya berlaku dalam satu kelompok tertentu. Apa yang disebut sopan di Korea, misalnya, adalah memberikan tamu kita minuman beralkohol yang mahal. Semakin mahal dan langka yang kita berikan, maka semakin menghargai tamu. 


Tapi, di wilayah barat Indonesia, sebagian besar akan menganggap hal tersebut sebagai hal yang sangat tidak sopan. Anda mungkin dianggap mencari gara-gara ketika menjamu tamu Anda (terutama yang beragama Islam) dengan minuman beralkohol.


Lebih jelasnya seperti ini: 


Bila Anda melanggar etika, maka Anda adalah orang yang tidak beradab atau tidak bermoral. 


Misalnya: Anda mencuri barang yang bukan punya Anda, atau Anda memukuli tetangga Anda, maka apa yang Anda lakukan adalah hal yang tidak bermoral. Anda perlu mendapatkan hukuman untuk itu.


Bila Anda melanggar etiket, maka Anda tidak serta merta menjadi orang yang tidak beradab atau tidak bermoral, meski Anda bisa dikatakan tidak sopan. 


Misalnya: Anda menggunakan tatto di seluruh tubuh Anda, atau Anda tidak mencium tangan guru Anda ketika bertemu di pasar, maka apa yang Anda lakukan bukan berarti menjadikan Anda sebagai orang yang tidak bermoral. Dan, Anda juga tidak perlu mendapatkan hukuman untuk itu.


Masalahnya, perbedaan konseptual ini tidak ada di Indonesia. Tapi, kenapa saya harus mempermasalahkan perbedaan antara etika dan etiket ini?


Masalahnya keduanya sangat sering berbenturan. Misalnya, berbohong adalah pelanggaran etika. Sedangkan berkata dengan tidak sopan adalah pelanggaran etiket.


Tapi, ketika calon anggota legislatif berkata dengan sangat sopan, bahkan diawali dengan salam dan shalawat sebelum berpidato, meski berbohong (dalam pidatonya), maka itu dianggap sebagai perilaku "beradab". Sedangkan, seseorang yang berkata kebenaran tapi dengan nada yang tinggi, serta menggunakan kata-kata yang tidak sopan, itu akan dianggap sebagai perilaku "tidak beradab".


Ilustrasi lainnya, seandainya ada kecelakaan. Seseorang ditabrak motor ketika hendak menyeberang. 


Bila ada seseorang yang menyelamatkan orang lain yang kecelakaan tersebut, sehingga sangat terburu-buru, lalu berjalan tanpa menundukkan badan di depan orang yang lebih tua, maka dia juga akan dianggap sebagai seorang yang tidak beradab. 


Sedangkan seseorang yang selalu tersenyum, berjalan menunduk di depan orang lain, tapi di saat itu menjadi seseorang yang tidak peduli dengan kejadian itu, tetap akan dianggap sebagai seorang yang beradab.


Karena perbedaan konseptual antara etika dan etiket ini sangat abstrak di Indonesia, maka sering vonis "tidak beradab", "tidak bermoral", dan sebagainya menjadi ditimpakan pada orang-orang yang "mungkin" kurang sopan.


Seorang yang lebih tua melakukan kesalahan. Maka biasanya, perilaku yang dianggap "beradab" adalah seorang yang lebih muda membiarkan saja kesalahan tersebut, atau kalaupun memberi tahu dengan melakukan segala cara agar orang yang lebih tua itu tidak tersinggung.


Kalaupun seorang yang lebih tua itu tersinggung, meski sudah dengan lemah lembut diberi tahu, maka cara yang beradab adalah: seorang yang lebih muda tersebut harus meminta maaf.


Atau, kita anggap kejadian yang lebih ekstrim. Ketika Anda hendak berangkat beribadah (misalnya, berangkat ke masjid untuk salat Jumat), di jalan ada seorang pengendara motor yang tertabrak mobil. Apa yang akan Anda lakukan?


Anda akan sangat tidak beretika bila membatalkan rencana Anda untuk salat Jumat, demi menyelamatkan seseorang yang tak dikenal tersebut dan membawanya ke rumah sakit. Tapi, Anda akan melanggar "kewajiban" yang bersifat spasial (merujuk ke komunitas atau agama tertentu) bila tidak salat Jumat. Kembali ke pertanyaan di atas, apa yang akan Anda lakukan?


Dalam kondisi tersebut, jelas terasa ketiadaan batas antara etika dan etiket secara konseptual telah menimbulkan banyak hal yang paradoksal. Masalahnya, perilaku beradab yang mana yang dimaksud? Beradab karena beretika, atau beradab karena beretiket?


Sebagai penutup, sebuah pertanyaan lagi. Bagaimana cara membedakan etika dan etiket secara konseptual? Hanya satu syaratnya: berilmu. Dengan berilmu, maka seseorang bisa tahu seberapa "beradabnya" seseorang. Maka, ilmu semestinya berada lebih dulu, sebelum seseorang bisa beradab.

Ads