Advertisement
Oleh: Ambrosius M. Loho, M. Fil.*
Susanne Langer seorang filosof yang terkenal dengan Philosophy in a New Key: A Study in the Symbolism of Reason, Rite and Art (1942), dan Feeling and Form (1953) menyatakan bahwa ekspresi merupakan unsur yang terkait erat dengan pemahaman simbolisasi seni. Simbol seni, menurutnya, adalah simbol ekpresi manusia dan ekpresivitas inilah yang membuat simbol seni tampak hidup. Ekpresi ini pula yang menghadirkan subjektivitas seniman, sehingga simbol-simbol seni tidak jadi beku, tetapi dapat berbicara kepada semua orang. Jadi ekspresi memungkinkan suatu komunikasi dengan orang lain. Karena seni bukan suatu imajinasi yang elit atau tertutup, melainkan justru untuk membuka diri. Ekspresi juga menuntut adanya wujud kongkret agar seni tidak berhenti sebagia imajinasi saja.
Simbol dalam kesenian tradisional tentu tidak hanya ada dalam satu seni tradisional saja. Semua budaya yang ada di Indonesia tentu memilikinya. Teranyar musik kolintang yang sedang populer, demikian bisa dikatakan, karena saat ini salah satu grup anak muda yang merupakan seniman kolintang handal, sedang berkompetisi di Indonesias Got Talen 2023. Fakta keikutsertaan mereka ini tentu tidak semata hanya menyimbolkan sebuah upaya pengembangan dan pelestarian saja, bahwa musik itu bergaung terus, tetapi pada prinsipnya, nilai-nilai musikalitas dan ekspresi seni adalah hal yang utama dan penting.
Kendati begitu, sebuah karya seni musik kolintang yang dipertunjukkan, untuk ukuran tertentu, merupakan ekspresi total seorang seniman: Penggarap, pelatih, pemain musik, dan bahkan semua musisi yang melibatkan diri dalam pertunjukan musik itu. Tak bisa dipungkiri, ekspresi total para pelaku seni ini, menjadi sesuatu yang terikat utuh. Di dalamnya tentu saja segenap ketrampilan, pengetahuan dan kemampuan, diupayakan demi sesuatu yang melebihi nilai baik, benar dan indah.
Terlepas dari pengungkapan ciri khas asli Musik Minahasa, kandungan filosofis kultural musik kolintang juga, tidak serta merta dilepaskan. Loho dalam Harmoni dalam Seni sebagai Cermin Hidup, Tribun Manado, Senin, 18 Desember 2017) mengungkapkan nilai filosofis kultural musik kolintang itu sebagai berikut:
Pertama, harmoni. Kolintang tidak bisa dimainkan oleh satu orang saja, melainkan oleh perpaduan sekelompok orang yang memainkan musik kolintang itu secara bersama-sama. Kerja sama yang serempak dan harmonis akan melahirkan harmoni nada-nada yang indah dan merdu. Harmoni dalam musik pada poin ini mensyaratkan sebuah fakta bahwa kelompok musik kolintang yang bermain musik, turut pula menciptakan keselarasan dalam sebuah pertunjukan di panggung. Mendasari itu, harmoni dalam sebuah kelompok masyarakat di Minahasa sangat kental. Masyarakat Minahasa adalah kelompok yang diperkuat oleh keselarasan untuk kehidupan bersama.
Kedua, persaudaraan dalam kelompok, di mana satu pemain terhadap pemain lain saling memadukan semua alat musik Kolintang yang berjumlah 9 orang. Di sini, nilai yang bermakna dan tak kalah pentingnya dalam persaudaraan adalah mapalus/gotong-royong. Nilai persaudaraan dalam bermusik, berakar kental dari tradisi budaya Minahasa. Semboyan Sam Ratulangi juga, terkait erat dengan hal ini, bahwa sesame haruslah menjadi orang yang bisa menghidupkan orang lain.
Ketiga, nilai kreativitas. Seseorang bisa menjadi creator (pencipta) dalam harmoni arrangement. Sebuah gubahan lagu yang dibawakan oleh pemain di atas panggung, tentu saja menampilkan kreativitas masing-masing yang dibawakan dalam sebuah kelompok. Jadi, kreativitas menunjuk pada sikap kreatif seorang penggarap (arranger) dan pemain yang membawakan lagu dalam musik kolintang itu.
Dengan demikian, maka perlu kita ketahui bahwa harmoni, persaudaraan dalam kelompok dan kreativitas, justru menjadi pembelajaran bagi semua, dan tidak hanya orang-orang yang berkecimpung, atau pun yang cinta akan kolintang termasuk orang-orang yang hanya sekedar menikmati kolintang itu. Nilai-nilai dalam pembelajaran music kolintang itu menjadi sebuah hal yang ‘berlaku untuk semua’, tak kenal siapapun, dan jika demikian maka musik kolintang menjadi milik semua orang karena nilai filosofisnya yang luas. Major 9 menjadi salah satu contoh betapa mereka menjadi kelompok yang berada di garda terdepan dalam upaya mendukung musik kolintang ini semakin diakui. Sukses terus major 9, kolintang terus bergaung secara berkesinambungan.
*Penulis adalah Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado - Pegiat Filsafat-Estetika