Advertisement
Pertunjukan Teater Rakat berjudul Pulang (foto: Zaeni Boli) |
Oleh: MOH. ZAINI RATULOLI (Zaeni Boli)
Apakah kau percaya pada puisi , atau bisakah kita percaya pada puisi ? Yang ku tau puisi mampu menggerakkan hati tapi tak mampu menghidupi penyairnya paling tidak itu yang dirasakan oleh para Penyair di Indonesia. Adakah penyair hidup dari kata katanya , mungkin hanya Chairil dan iapun mati muda. Lalu, mengapa sutradara muda seperti Jovan Kleden memiliki rasa optimis itu.
Jovan Kleden, sutradara pertunjukan Pulang yang dimainkan oleh Teater Rakat mencoba menghidupkan sikap optimis itu dalam pertunjukannya. Pertunjukan yang berlangsung kurang dari 30 menit ini diaduk sedemikian rupa lewat tubuh para pemain untuk menjelaskan cerita tentang keputusasaan, rasa kecewa dan penderitaan yang dirasakan.
Pulang adalah cerita sederhana yang tak sederhana. Ada banyak hal yang ingin disampaikan dan teater tak memiliki cukup hak untuk menggurui atau menasihati. Akan tetapi mengingatkan ada ruang yang boleh untuk disuarakan. Bahwa siapapun tak memiliki hak untuk mengatakan hal buruk tentang kegagalan seorang dalam hidup. Bahwa sikap yang berlebihan hanya akan menjerumuskan si korban menjadi depresi.
Tapi bisakah teater bicara lantang menyuarakan hal tersebut? Alih alih bicara terus terang, pertunjukan Rakat mengajak kita berpikir optimis bahwa selalu ada jalan bagi segala persoalan. Dan, mungkin di kesempatan, di atas panggung terbuka, sebuah panggung out door beralaskan aspal ini, sutradara yang berpikir optimis ini menawarkan solusi, yang mungkin di kehidupan nyata, hal ini adalah kemustahilan. Bahwa puisi bisa menjadi dewa penolong bagi kesulitan permasalahan. Sesuatu yang gegabah namun manis bagi yang mencintai puisi.
Bahwa teater adalah kehidupan dan kehidupan membutuhkan puisi agar ia lebih indah dan bermakna. Sebuah pertunjukan yang indah dan optimis itu digelar di samping Pelabuhan Fery Waibalun, Kabupaten Flores Timur. Pada hari Sabtu di awal Agustus yang dingin, sebelum musim tanam tiba. Di atas tanah yang tak ada lagi tanaman kapas.
Ketika semua orang memilih pergi meninggalkan kampung halamannya. Hingga hal yang tersisa tinggal cerita dan kenangan yang berdebu.