Puisi Visual: Futurisme, dan Puisi Hari Ini -->
close
Adhyra Irianto
07 August 2023, 8/07/2023 12:30:00 AM WIB
Terbaru 2023-08-06T17:30:00Z
BeritaSastraUlasan

Puisi Visual: Futurisme, dan Puisi Hari Ini

Advertisement
Apa itu puisi visual?
Puisi visual karya seorang fotografer bernama Cat Leonard

Pojok Seni - Mengusut dan menelisik apa itu puisi visual, akan mengantarkan kita ke perkembangan futurisme di Eropa pada awal abad ke-20. Kenapa futurisme? Tulisan ini akan pelan-pelan mengurai perjalanan "puisi konkret" menjadi "puisi visual" lewat "jembatan" futurisme.

 

Jauh sebelum kubisme menjadikan objek terfragementasi pada abad ke-20, lahir lebih dulu futurisme di Italia. Futurisme menjadi satu gerakan seni-senian yang lahir di Italia, dan kebetulan, sastra adalah bidang seni yang menjadi pelopor kelahirannya.


Filippo Tommaso Marinetti namanya, seorang sastrawan yang meneriakkan manifesto futurisme di tahun 1909. Namun, manifesto itu baru sedemikian berkumandang tepat setelah Italia hancur setelah Perang Dunia I berakhir di sepuluh tahun kemudian.


Futurisme menginginkan semua rasa sakit dan pahit di masa lalu, bisa terlupakan. Caranya, dengan terus meninggalkan semua nilai-nilai lama. Nama futurisme diambil dari kecepatan dunia menuju masa depan, meninggalkan masa lampau. Bukankah, itu akan sangat cocok untuk melupakan perasaan hancur karena perang?


Futurisme terinspirasi dari keinginan manusia era modern yang ingin semua keterbatasan hari ini, mampu diterobos. Kecepatan gerak menjadi secepat cahaya, sehingga kecepatan burung merpati pengantar surat akan benar-benar jauh tertinggal dari kecepatan pesan dikirim lewat email, yang hanya sekedipan mata. Itu masa depan, bagi futuris. Eksistensi mesin, industri, dan teknologi, adalah hal-hal yang abai diperhatikan oleh seniman-seniman yang masih tertidur dalam romantisme klasik.


Ketika pelukis realis melukis potret, misalnya seperti Leonardo da Vinci melukis Monalisa, maka Umberto Boccioni akan melukis semua yang ada di sekitar objek lukisan. Yah, berisiknya mesin di sekitar objek tersebut, bunyi mobil dan motor, mungkin juga desir angin, atau mungkin ada kebisingan dari orang-orang yang berlalu lalang. 


Sejarah puisi visual
Lukisan "futuris" potrait karya Umberto Bocioni


Kira-kira seperti ini, objek yang sama (misalnya objeknya adalah seorang perempuan yang duduk di meja), ketika dilukis oleh seorang futuris, maka yang muncul adalah lukisan kehidupan yang ada di sekitar si perempuan. Mulai dari apa yang kemungkinan ada di pikiran perempuan, bagaimana bisingnya suara keramaian dan kendaraan di sekitar perempuan itu, dan semua unsur-unsur yang juga terlihat ketika melihat perempuan itu.


Keramaian itu adalah unsur yang juga tertangkap oleh pengkarya ketika ingin mengabadikan suatu momentum dalam lukisannya. Bahkan "momentum" tersebut juga ikut tertangkap ketika diambil dengan kamera foto, kan? Sebuah foto mampu menceritakan; perasaan objek foto, keramaian yang ada di sekelilingnya, dan banyak hal lainnya yang juga tertangkap oleh kamera foto. 


Lukisan, menurut para futuris, justru harus mampu menggambarkan lebih baik dari kamera yang tidak punya imajinasi seperti manusia. Di sini terlihat jelas bagaimana eksistensi mesin menjadi hal yang sangat diperhatikan oleh para seniman futuris.


Perlu diingat, karena bermula dari pikiran seorang sastrawan, maka futurisme di awal-awal juga lebih dekat eksperimen teks. Saat itu, tipografi digunakan untuk menyusun sebuah karya teks. Tipografi punya makna sendiri, punya keindahan atau estetikanya sendiri. Teksnya punya keindahan yang berbeda. Keduanya akan saling memberikan sensasi di mata pemirsanya.


Dari Futurisme ke Puisi Visual?


Dari sastra, akhirnya berpengaruh kuat ke lukisan, dan apa yang terjadi di lukisan itu kembali mempengaruhi sastra. Seperti itu kejadiannya, sehingga lahirlah apa yang kemudian disebut dengan nama "puisi visual" (kata benda). 


Apa itu puisi visual


Apa itu puisi visual? Puisi visual adalah gambar atau bentuk bergambar (foto, video, dan lain-lain) yang memberi kesan sebuah puisi dan begitu juga sebaliknya. Puisinya juga akan memberi kesan sebuah gambar. Berarti, ada sebuah komunikasi dua arah antara gambar dan puisinya, sebelum ia datang ke pembaca.


Di sini akhirnya muncul perbedaan dengan istilah "visualisasi puisi" (kata kerja). Perbedaannya adalah di "proses pembuatannya". Dalam pembuatan puisi visual, pengkarya membayangkan kata-kata, sekaligus visualnya. Sedangkan dalam proses visualisasi puisi, seorang pengkarya akan membuat karya teks terlebih dulu, atau mencari teks puisi yang sudah ada, lalu ditambahkan dengan sejumlah unsur atau elemen visual dengan berbagai tujuan. Entah itu mendukung penafsirannya, atau agar menjadi lebih indah, dan berbagai alasan lainnya.


Abad ke-20 adalah era lahirnya puisi-puisi visual dari para "avantgarde" futurisme (dan beberapa dari kubisme) yang menciptakan karya yang kemudian disebut puisi visual. Secara umum, kita bisa menyebut bahwa puisi visual adalah "sebuah lukisan yang disusun dari kata-kata".


Dick Higgins menyebut puisi visual adalah sebuah karya intermedialitas antara visual dan kata. Keduanya berbeda, dan memberi kesan yang berbeda. Keduanya "bekerja" dengan cara "saling merasuk satu sama lainnya", bukan salah satu di antaranya adalah "pendukung".


Terjadi pemisahan antara puisi visual dengan puisi konkret di beberapa waktu setelah itu, untuk sekedar membedakan keduanya. Willard Bohn menulis "trilogi" berjudul Estetika Puisi Visual (The Aesthetics of Visual Poetry) di tahun 1986, Puisi Visual Modern (Modern Visual Poetry) tahun 2001, dan ditutup dengan Membaca Puisi Visual (Reading Visual Poetry) di tahun 2010. Dari rentetan tulisannya itu, Willard Bohn mencoba menyebutkan bahwa puisi visual sama sekali berbeda dengan puisi konkret, baik cara membuatnya, cara memahaminya, hingga cara menikmatinya.


Klaus Peter Dencker menulis artikel tentang "Dari Puisi Konkret ke Puisi Visual: Sekilas Masa Depan Elektronik" dan mencoba merumuskan tesis tentang apa itu puisi visual. Cara yang dilakukan oleh Klaus Peter Dencker adalah berdiri di tengah-tengah (ia menyebutnya sebagai Zona Perbatasan) antara sastra, dan seni "visual", baik itu fotografi maupun film.


Berdiri di antara dua disiplin ilmu tersebut akan membuat seseorang terpengaruh dari keduanya sekaligus. Yah, keduanya mesti saling mempengaruhi seseorang, sebelum ia menyusun sebuah puisi visual. 


Mirip seperti seorang yang berdiri di zona perbatasan antara seni musik dan sastra. Lalu, ketika menulis sebuah puisi, maka di kepalanya akan langsung lahir pula sebuah melodi. Apa yang lahir berikutnya adalah sebuah lagu. Agak sulit membedakannya dengan "puisi" yang ditulis lebih dulu, baru "dimusik-kan". 


Tapi, cukup mudah untuk membedakannya dengan "musikalisasi puisi". Sebab, proses memusikkannya menjadi unsur yang diperlombakan. Peserta diberikan puisi yang sama, lalu masing-masing dengan tafsiran musikalnya menampilkan sebuah lagu (karya musik) dari puisi yang sama.


Visualisasi puisi dan puisi visual akan sangat mudah dibedakan. Berikan puisi yang sama pada peserta, lalu dengan tafsiran visualnya masing-masing akan membuat sebuah puisi visual. Maka itu adalah sebuah proses, itu disebut visualisasi puisi.


Puisi Visual dan Teknologi Hari Ini


Puisi visual
Puisi visual karya JA Hartley


Yah, media elektronik dan digital akan mempermudah penyebarannya seperti virus. Dengan dukungan keindahan visual, juga didukung dengan keindahan melodi, menjadikan puisi visual (yang kemudian sering disebut sebagai puisi cyber) menjadi lebih cepat diterima generasi hari ini. Wajar saja kalau Dencker menyebut bahwa puisi visual adalah "puisi hari ini", terutama di masa depan yang kita prediksi gerakannya akan jauh lebih cepat lagi dari hari ini.


Douglas Kerney, seorang penyair asal Amerika kemudian menjadi begitu populer ketika menulis puisinya dalam bentuk puisi visual yang terpengaruh dari bentuk-bentuk puisi para dadais. Carrie Mae, seorang seniman kontemporer menulis From Here I Saw What Happened and I Cry yang kemudian menjadi salah satu puisi visual yang mempengaruhi para fotografer untuk menciptakan karya fotografi yang menghadirkan juktaposisi gambar dengan teks-teks puisi. 


Dari Jepang, seorang fotografer yang juga bermain-main dengan juktaposisi adalah Kansuke Yamamoto. Karyanya yang kemudian menjadi karya puisi visual tanpa kata-kata. Menurut Clement Greenberg dalam "Towards a Newer Laocoon" kata-kata bisa mengarahkan pembaca. Sedangkan visual tanpa penjelasan kata-kata akan memberikan kebebasan bagi pemirsanya untuk menafsirkan apa saja yang mereka tangkap. Hal ini yang menjadi landasan sejumlah seniman post-modern untuk mulai menghilangkan kata-kata, bahkan dalam puisi visual, seperti Kansuke Yamamoto.


puisi visual
"Puisi visual" karya Kansuke Yamamoto 


Hingga akhirnya, puisi visual terus berkembang dan memanfaatkan semua lini kemajuan teknologi. Baik itu foto, video, dan berbagai bentuk lainnya. Karena itu, tidak perlu "gagap" lagi dengan puisi visual di era teknologi hari ini. Namun masih ada yang menganggap puisi adalah "puisi konkret" maka selain itu bukan puisi. Maka, itu sama saja seorang yang terus bertarung melawan realitanya sendiri, bahwa zaman sekarang sudah melaju secepat mobil. Seperti yang dikatakan oleh Marinetti, 10 tahun sebelum Perang Dunia I bermula.

Ads