Pola Kerja Dramaturgi Baru: Berpikir Melalui Praktik -->
close
Pojok Seni
03 August 2023, 8/03/2023 03:51:00 PM WIB
Terbaru 2023-08-03T08:52:42Z
Materi Teater

Pola Kerja Dramaturgi Baru: Berpikir Melalui Praktik

Advertisement
Pola kerja dramaturgi baru

Oleh: Adhyra Irianto


Pojok Seni - Praktik dramaturgi baru yang ditujukan pada pertunjukan kontemporer, dicirikan dengan cara kerja berpikir melalui praktik. Berpikir yang dimaksud adalah melihat, mengkaji, menganalisa, mengolah, memprediksi, dan menyimpulkan terkait tempat, ruang, waktu, dan komposisi sebuah pertunjukan. Praktik yang dimaksud adalah apa yang dilakukan berdasarkan teori, metode, dan aturan-aturan tertentu.


Bisa dikatakan bahwa praktik dilakukan berdasar dari apa yang sudah dipikirkan. Berpikir biasanya masuk dalam wilayah pemahaman, perencanaan, penafsiran, dan sebagainya, maka dilakukan sebelum praktik. Namun, dalam praktik dramaturgi, hal yang dilakukan adalah praktik dan proses berpikir dilakukan "berbarengan". 


Praktik bisa saja dilakukan berdasarkan teori konvensional yang telah berlaku, namun bisa terus berubah sepanjang proses penciptaan karya. Sejumlah logika, strategi, dan penyimpulan terus dilakukan selama proses penciptaan karya, maka tidak jarang satu pendekatan atau bahkan teori baru tercipta setelah karya tersebut jadi.


Apakah praktik dramaturgi baru ini hanya dilakukan pada pertunjukan kontemporer saja? Faktanya tidak. Praktik dramaturgi baru ini berlaku untuk semua jenis pertunjukan, dan proses kerjanya TIDAK dimulai dengan identifikasi yang berujung distingsi seperti; dramaturgi teater, dramaturgi tari, dan seterusnya.


Keragaman kreativitas praktik dramaturgi menjadi hal yang harus dilihat dari dekat. Keragaman tersebut menjadikan keunikan kerja dramaturg, sehingga dramaturg bisa bekerja di lini apapun, tidak hanya teater (baca artikel sebelumnya berjudul "Ekspansi Dramaturgi: Dramaturgi Baru dan Paradigma Pasca-Mimetik").


Proses Penciptaan Karya Seni


Pola kerja dramaturgi baru


Maaike Bleeker (2023), seorang professor, peneliti, dan dramaturg terkemuka di Eropa, menulis buku berjudul Doing Dramaturgy: Thinking Through Practice (2023). Argumen yang diajukan Bleeker adalah dramaturgi baru merupakan sebuah proses "making-thinking". Argumen tersebut didasari dengan berbagai studi kasus, latar belakang sejarah, lalu ia memperlihatkan bagaimana proses berpikir kreatif dilakukan dengan merajut, menjahit, dan menganyam sejumlah "bahan" menjadi sebuah pertunjukan yang menjadi pusat dari semua pemikiran yang dibenamkan di dalamnya.


Teori dan praktik, dalam perspektif dramaturgi baru, adalah dua hal yang tidak bisa dipisahkan, bahkan "seakan satu". Keduanya saling mendebat, sekaligus saling menutupi. Melakukan teori dan praktik sekaligus itu, seperti seorang seniman-ilmuwan yang (misalnya) melibatkan sejumlah teori fisika dalam pembuatan karya musik. Proses pembuatan musiknya dilakukan, dan teori fisikanya tetap dibicarakan.


Maka "making" sekaligus "thinking" inilah yang disebut Bleeker sebagai melakukan dramaturgi. Bleeker mengakui bahwa hal ini dimulai dengan perluasan teater, ketika pembicaraan penciptaan teater sudah merambah ke pembicaraan sejarah, budaya, ilmu pengetahuan, dan sebagainya. Praktik dramaturgi sudah semakin luas, bahkan sudah menyentuh ranah pertunjukan yang tidak berbasis teks (seperti tari). 


Bleeker tidak menyebut terminologi "dramaturgi ini-itu", seakan ia ingin menyebut bahwa tidak ada yang begitu berbeda dengan pola kerja dramaturgi untuk membuat pertunjukan teater dengan pertunjukan lainnya. Karena bahkan untuk "sesama" pertunjukan teater pun, praktik dramaturgi juga akan berbeda, karena semuanya berdasar pada "kemampuan menanggapi".


Yah, dramaturg dalam hal ini mesti memiliki sebuah kemampuan yang disebut Bleeker sebagai "kemampuan menanggapi" dengan cara yang logis untuk memahami semua hal yang terkait dengan karya, mulai dari cara kerja sutradara (atau pencipta karya), visi utama mereka, keunikan mereka, proses kerja mereka, konteks utama, apa yang mereka respon. Tanggapan logis dari seorang dramaturg digunakan untuk menyusun dan merangkai setiap proses "kerja ini" ke "kerja itu", atau "konteks ini" ke "konteks itu" secara logis dan mendukung estetika dari karya yang diciptakan.


Selain pencipta dan karya ciptaan, dramaturg juga "menanggapi" apa dan siapa saja yang terlibat dalam penciptaan karya tersebut, apa perannya, posisinya, dan bagaimana pola kerja mereka. Di mana pertunjukan tersebut akan ditampilkan, bagaimana kemungkinan penontonnya, baik latar intelektual, atau sosio-kultural, bahkan ekonomi. Hal-hal tersebut menjadi "material" kerja seorang dramaturg. Bisa jadi, cara produksi pertunjukan, konteks pertunjukan, pengelolaan kondisi kerja, dan sebagainya akan sangat mempengaruhi apa yang akan dilakukan dalam proses penciptaan. 


Proses penciptaan (latihan, penyusunan adegan, dan sebagainya) tetap dilakukan, sambil berpikir berdasar hal-hal yang sudah disebutkan di atas. Bisa jadi, pertunjukan yang tadinya sudah diarahkan untuk membicarakan konteks tertentu, akan berubah karena hal-hal yang "ditanggapi" oleh dramaturg.


Apa yang Mesti Dimiliki Dramaturg dalam Dramaturgi Baru


Sekarang, untuk melakukan praktik kerja dramaturgi di atas, apa yang minimal dimiliki oleh seorang dramaturg? Apa yang merupakan tanggung jawabnya? Apakah "egoisme" pencipta karya mesti tetap "dilindungi" oleh seorang dramaturg?


Apa yang pertama mesti dimiliki seorang dramaturg adalah "kemampuan menanggapi". Seperti yang sudah dibicarakan di atas, kemampuan menanggapi akan menjadikan seorang dramaturg dapat menyusun, merencanakan, dan menganyam sebuah pertunjukan. Untuk memiliki kemampuan menanggapi tersebut, dramaturg mesti menguasai sejumlah keterampilan, keahlian, dan pengetahuan di berbagai jenis disiplin atau ilmu pengetahuan. Dramaturgi menjadi penyambung antara sebuah proses kreatif dengan pengetahuan dari luar disiplin ilmu seni - katakanlah hukum, ekonomi, sejarah, antropologi, dan sebagainya. Perbedaannya adalah, pengetahuan (atau kebenaran) dari luar tidak diterapkan secara pakem dalam sebuah pertunjukan. Justru ia akan menjadi pendukung dan hal yang bersifat imanen dalam sebuah karya.


Ini yang membuat banyak sutradara teater misalnya, menolak dramaturg (dan praktik kerja dramaturgi) pada karyanya. Karena akan ada banyak interupsi, ketidaksetujuan, perdebatan, gangguan, intervensi, dan sebagainya hadir dari seorang dramaturg pada karya ciptaannya. Misalnya, sutradara memiliki suatu visi, baik "pesan" yang ingin disampaikan, maupun visi artistik. Namun, dramaturg akan melihat "material" yang dimiliki, latar belakang penonton, tempat pertunjukan, dan sebagainya. Hal-hal tersebut bisa mengintervensi visi awal sutradara.


Dramaturg akan mendukung hal yang imanen di dalam karya pencipta, menjaga hal yang etis di dalam karya hingga nantinya dipertunjukkan. Interupsi, intervensi, ketidaksetujuan dan sebagainya, seperti yang disebutkan di atas, justru adalah tanggung jawab dan kepedulian seorang dramaturg pada sebuah karya. 


Maka itu yang selanjutnya mesti dimiliki seorang dramaturg. Ia harus "peduli", dan menjaga etis dan hal yang imanen dari sebuah karya. Tapi, ia juga jeli melihat struktur yang berada di sekitar karya. Termasuk di antaranya, materi atau sumber daya yang dimiliki satu grup/seniman, infrastruktur, fasilitas, keuangan, dan hal-hal lain yang akan (mau tidak mau) mengubah visi awal seorang pengkarya.


Tentunya, artikel ini masih belum cukup detail mengulas apa yang akan dikerjakan oleh seorang dramaturg (dalam dramaturgi baru), dan bagaimana step-by-step proses kerjanya. Hal ini akan coba diurai dalam tulisan berikutnya di Pojok Seni.


Follow Pojok Seni di Instagram dan Facebook page, atau di Google News agar tetap mendapatkan pemberitahuan artikel menarik terbaru.  

Ads