Hal yang Mutlak Dimiliki Seorang Juri Lomba Seni -->
close
Pojok Seni
30 August 2023, 8/30/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-08-30T14:41:22Z
EstetikaSeni

Hal yang Mutlak Dimiliki Seorang Juri Lomba Seni

Advertisement
syarat menjadi juri
Ilustrasi juri


Oleh: Adhyra Irianto


Setelah sebuah pegelaran lomba seni selesai dilakukan, maka media sosial akan dipenuhi dengan ulasan-ulasan, baik ke pertunjukan yang dilombakan, maupun ke hasil kerja juri. Hal tersebut seakan hal yang sudah pasti terjadi setiap gelaran lomba seni, terutama kritik dan saran pada hasil kerja juri lomba seni.


Ada juri yang dengan legowo menerima kritik, melakukan dialog, berdialektika, hingga akhirnya justru menambah wawasan bagi kedua belah pihak (juri dan peserta yang mengkritisi). Tapi, beberapa juri menempatkan dirinya sebagai sosok mahaguru yang tidak pernah salah dan tidak bisa diganggu-gugat. 


Yah, untuk mempermudah kerja panitia, memang hasil juara tidak perlu harus diubah. Tapi, kinerja jurinya mungkin harus berubah. Sebab, ada beberapa hal yang mutlak dimiliki oleh seorang juri lomba seni, yang mungkin tidak dimiliki oleh seorang seniman "veteran" sekalipun.


Apa saja syarat-syarat mutlak seorang juri lomba seni? Mari kita urai secara perlahan. 


Estetika: Penilaian dan Apresiasi Karya Seni


Estetika secara singkat bisa diartikan sebagai filsafat kesenian. Ini yang menjadi alat bedah untuk menilai dan mengapresiasi karya seni. Proses estetika (aisthanomai) merupakan proses penilaian dan apresiasi sebuah karya seni atau keindahan. Maka, syarat pertama seorang juri adalah mengetahui atau memiliki pengetahuan estetika.


Juri adalah seorang estetikawan (karena bertugas untuk mengukur dan mengapresiasi sebuah karya seni, lalu memberikan penilaian berupa angka), maka juri memiliki "tugas" dan "kemampuan" yang berbeda dari seniman, akademisi/sejarawan seni, kurator, dan kritikus seni.


Perbedaannya bisa dilihat di analogi berikut ini:


  • Seorang seniman akan mampu untuk menciptakan karya dan menjelaskan "premis" dari karya seni, 
  • seorang sejarawan seni juga mampu menjelaskan lini-masa perbedaan, dan sejarah dari sebuah karya seni, 
  • seorang kurator mungkin dapat menjelaskan makna, signifikansi, dan proposisi karya,
  • seorang kritikus akan menulis sebuah karya kritik seni, menggunakan metode kritik seni, kemudian membuat kesimpulan, penilaian, dan menerangkan karya tersebut.


Tapi seorang estetikawan (dalam hal ini seorang juri) akan menjelaskan; 


  • "apa yang membuat karya tersebut indah"
  • "kenapa karya tersebut bisa dikategorikan sebagai karya seni"
  • "seperti apa keindahan karya tersebut bila dipandang menggunakan perspektif lain?"


Seorang juri (yang juga estetikawan) tidak mempertanyakan atau membahas tentang makna karya, perbedaan gaya A dengan gaya B (misalnya  gaya realisme dengan absurdisme), atau malah sejarah/latar belakang sebuah karya seni. Bisa dikatakan, bahwa hal itu bukan "ranah" penilaian karya seni. 


Apakah suatu lagu yang memiliki sejarah yang pelik, dan makna mendalam, namun jelek secara kualitas musikal, bisa dimenangkan dalam lomba cipta lagu? Tidak.


Apakah sebuah karya sastra yang memiliki gaya menulis inovatif, tapi jelek secara kualitas sastrawi misalnya, bisa dimenangkan di lomba menulis puisi? Tidak.


Dalam kacamata estetika, seorang apresiator atau penilai akan mengenyampingkan hal-hal di luar seni. Pertanyaan-pertanyaan yang ada di kepala seorang juri, yang kemudian diwujudkan lewat "form penilaian" adalah;


  1. Apa yang membuat karya ini menjadi karya seni?
  2. Apa hal yang membuat karya seni ini bisa disebut "indah"?
  3. Apa hal yang memungkinkan suatu karya bisa dikatakan indah dalam perspektif estetika tertentu? 
  4. Berapa "nilai" keindahannya, bila dibandingkan dengan karya-karya lainnya?


Juri bisa jadi melakukan gabungan pekerjaan kritikus dan estetikawan. Ia bisa saja menulis ulasannya terhadap sebuah karya, setelah selesai menyaksikan pementasan seluruh peserta. Tapi, tugas pokoknya bukan itu. 


Tugas pokok seorang juri adalah melakukan penilaian, dan membuat statement terkait karya tersebut, dengan landasan yang kuat.


Mengerti Teknik Pembuatan Karya Seni


Seorang seniman bisa saja terus berimprovisasi secara spontan, mungkin bisa menyajikan sesuatu yang menghibur. Tapi, ketika mencoba mengajarkannya pada orang lain, atau murid-muridnya, maka seniman tersebut mau tidak mau akan merumuskan sendiri teknik yang digunakannya. Karena itu, setiap seniman akan merumuskan teknik, metode, dan lain-lain untuk proses penciptaan suatu karya.


Namun seorang juri, akan mengetahui banyak "rumus teknik" yang dimiliki banyak seniman di dunia. Ia tahu untuk membuat puisi dengan gaya tulisan A, akan menggunakan teknik B, sedangkan membuat cerpen dengan gaya tulisan C, akan menggunakan teknik D.


Misalnya teater realisme, maka penciptaan karakter dan aktingnya akan menggunakan metode-metode milik Stanislavsky, Bolelavsky, atau yang cukup baru seperti Meissner, Lee Straisberg, Hagen, hingga Stela Adler


Metode-metode penciptaan akting realisme tadi, "tidak nyambung" ketika digunakan untuk akting presentasional seperti untuk naskah-naskah klasik. 


Mengutip Iswadi Pratama, sutradara Teater Satu Lampung, mengetahui teknik-teknik tersebut membuat seseorang tahu bahwa karya itu "benar", sebelum menyatakannya menjadi "bagus" atau "indah".


Bagaimana Anda bisa tahu sebuah lagu itu indah atau tidak, bila tidak dinyanyikan secara benar? Nada yang fals, tempo berantakan, artikulasi vokal yang tidak jelas? 


Karena karya tersebut tidak sampai di kategori "benar", maka penilaiannya tidak perlu sampai ke pernyataan "indah".


Bagaimana bila seorang juri tidak tahu banyak tentang teknik, metode, dan hal-hal lain terkait penciptaan karya seni? Maka, bisa jadi ia akan menyatakan sesuatu sebagai hal yang indah, padahal tidak benar.


Apakah Anda pernah menemukan kasus seperti ini: 


  • sebuah tulisan racauan dijadikan juara lomba menulis puisi
  • seorang yang membaca naskah seperti deklamasi, dijadikan juara lomba monolog dengan naskah realis
  • seorang yang bernyanyi dengan suara mendesah-desah dijadikan juara menyanyi
  • seorang yang menggunakan jasa AI untuk melukis, dijadikan juara melukis
  • dan lain-lain


Penyebab dari kasus-kasus di atas adalah, juri masih belum banyak pengetahuan tentang karya seni yang "benar", namun langsung membuat penilaian tentang karya seni yang "indah". 


Mampu Memberikan Pernyataan Observasional


Ketika seorang pendengar lagu, mendengarkan lagu baru yang dirilis oleh artis yang ia gemari, maka ia langsung berkata "wah, lagu ini keren". 


Begitu juga seseorang yang baru pulang menonton teater, dengan mata yang sembab karena baru menangis terharu, ia berkata "wah, pentas tadi keren".


Meminjam istilah yang digunakan oleh Ari Pahala Hutabarat, dari Komunitas Berkat Yakin Lampung, bahwa penonton memberikan pernyataan konseptual. Tapi, juri tidak seperti itu. Juri harus memberikan pernyataan observasional. Apa bedanya?


Pernyataan konseptual


Pernyataan konseptual adalah sebuah pernyataan berdasar pada proses berpikir yang abstrak. Dengan kata lain, bisa disandarkan pada hal-hal yang abstrak pula. 


Bila Anda penggemar film Korea, lalu di suatu kesempatan menyaksikan film India, maka Anda akan berkata bahwa film India tersebut "biasa-biasa saja", meski film yang Anda tonton merupakan film terbaik sepanjang masa. Namun, ketika menyaksikan film yang "biasa-biasa saja" buatan Korea, Anda akan menyatakan itu adalah film yang "bagus".


Dalam situasi seperti itu, Anda sudah melakukan penilaian. Anda memberikan pernyataan sebagai pengejawantahan dari penilaian tersebut. Tapi, sandarannya adalah hal-hal yang abstrak; kesukaan Anda pada genre, atau malah negara pembuatnya. Bukan indikator-indikator artistik.


Sama kasusnya ketika Anda bertanya pada penggemar band Slank, mana yang lebih bagus antara lagu Roman Picisan milik Dewa 19 atau lagu Anyer 10 Maret karya Slank. Anda sudah bisa menebak jawabannya, bukan?


Para penggemar atau pemirsa akan memiliki landasan yang abstrak dalam penilaian suatu karya seni. Mereka "punya hak" untuk memilih karya seni yang ingin mereka dengarkan, saksikan, nikmati, dan sebagainya berdasarkan rasa suka atau tidak suka pada artisnya, genrenya, bahkan hal-hal di luar artistik.


Dalam ekosistem atau "pasar", maka hal-hal yang dilakukan oleh pemirsa karya seni tersebut sangat dimaklumi. Pemirsa karya seni bisa saja melakukan penilaian se-random apapun terhadap karya seni yang ingin ia beli atau nikmati. Mereka juga bebas memberikan pernyataan konseptual terhadap karya tersebut.


Tapi, tidak untuk juri. Juri tidak bisa memberikan pernyataan suatu karya itu bagus atau tidak bagus, menjadi juara atau tidak, hanya didasarkan pada suka tidak suka, dan hal-hal yang abstrak. 


Karena itu, juri mesti mampu memberikan pernyataan observasional, bukan pernyataan konseptual.


Pernyataan observasional


Pernyataan observasional adalah pernyataan yang berupa sebuah kesimpulan dari sejumlah variabel, indikator, dan hal-hal lain yang didasarkan pada penelitian dan pengkajian yang melibatkan berbagai bidang ilmu pengetahuan.


Seorang pemirsa yang pulang dari pertunjukan teater, boleh saja berkata, "wah, pentas tadi keren". Tapi, seorang juri yang baru sudah menilai sebuah pentas teater tidak diperbolehkan hanya berkata "keren", tanpa landasan. 


Apa yang membuatnya menjadi keren? Apa indikator-indikatornya? Apakah semua unsur-unsur sudah mendukung untuk menjadi suatu komposisi yang utuh dan "keren". Adakah hal lain yang memungkinkan untuk membuat karya tersebut bisa dikatakan "keren"? Serta ribuan pertanyaan lainnya akan siap menyambut pernyataan itu.


Karena, kritik dan penilaian seni yang didasarkan pada "rasa" itu sangat abstrak. Karena itu, penilaian yang disandarkan pada "rasa" ada sebuah tindakan tidak bertanggung jawab. (baca artikel: Kritik Seni Berdasar "Rasa" adalah Kritik Tak Bertanggung Jawab)


Bersedia atau Membuka Diri untuk Dialektika


Syarat terakhir adalah juri bersedia membuka diri untuk berdialektika, berdiskusi, bahkan berdebat dengan juri lain, dan juga peserta. Juri mesti menyadari bahwa ada banyak mazhab estetika, ada banyak perspektif yang digunakan untuk melihat suatu karya, juga ada banyak kemungkinan lain yang bisa menyatakan sebuah karya menjadi indah atau tidak.


Ingat bagaimana naskah Waiting for Godot dihajar kritikus habis-habisan setelah pementasan pertamanya di Paris? Setelah itu, naskah tersebut menjadi sebuah mahakarya dan mengantarkan Samuel Beckett menjadi dramawan terkemuka dunia, menerima nobel literatur, dan menjadi rujukan seniman dengan "gaya" pertunjukan, serta premis karya yang sama.


Itu menunjukkan banyak hal yang mungkin terjadi lewat sebuah karya. Kritikus di Paris saat itu menilai berdasarkan perspektif teater konvensional. Nyatanya, bentuk teater yang diperkenalkan oleh Beckett menjadi salah satu bentuk baru di jajaran avant-garde yang memengaruhi dunia.


Juri bisa jadi salah, karena tidak ada seseorang yang benar-benar sempurna untuk lepas dari kesalahan. Itu adalah hal yang biasa (bahkan sangat biasa) terjadi. Tapi, akan sangat konyol bila juri tidak mau membuka diri untuk berdiskusi, berdialektika, dan mendengarkan banyak hal dari para pesertanya.


Katakanlah, hasil perlombaan tidak perlu atau tidak bisa diubah lagi. Tapi, kesalahan dan kesilapan baik dari juri maupun peserta, seharusnya tidak perlu terulang lagi. Bagaimana caranya?


Tentunya dengan berdiskusi dan saling bertukar pikiran, bertukar wawasan, dan tidak merasa benar sendiri.


Kesimpulan


Perdebatan tentang standarisasi penilaian seni, sebenarnya bermula dari ketiadaan standarisasi juri itu sendiri. Sebenarnya, negara sudah menekankan bahwa juri mesti memiliki semacam sertifikasi yang diakui oleh BNSP. Hal itu menjadikan pelatihan juri sudah mulai digalakkan di seluruh Indonesia.


Tapi, untuk beberapa provinsi, utamanya kabupaten, hal tersebut masih jauh dari yang direncanakan. Peningkatan kualitas SDM juri tidak bisa hanya dilakukan seperti kegiatan seremonial yang hanya berlangsung satu - dua hari di hotel berbintang.


Hal-hal yang disebut dalam artikel di atas sebagai "syarat mutlak untuk menjadi juri" bisa saja selanjutnya dibuktikan dengan lisensi atau sertifikat. Mengingat, Indonesia hari ini masih cukup kagetan dengan kebiasaan negara lain yang melakukan sertifikasi pada semua profesi yang ada di negaranya. 


Hal itu berlaku untuk semua profesi, mulai dari pejabat tinggi sampai service elektronik. Mulai dari pedagang besar sampai petani dengan lahan yang kecil. Semuanya "tersertifikasi". Termasuk di antaranya, seniman dan pekerjaan lain yang berkaitan dengan seni. Mulai dari kurator, kritikus, praktisi, penata lampu, penata busana, sampai akhirnya; juri!


Ironisnya, lomba semacam lomba batu akik, lomba ikan adu, lomba kicau burung dan lomba layang-layang saat ini sudah dinilai oleh juri yang memegang lisensi atau sertifikat juri, mulai dari level regional sampai nasional. 


Tapi, hal itu seakan tidak berlaku untuk juri seni. Tidak ada persyaratan lisensi tersebut untuk seseorang melakukan penjurian diminta oleh panitia. Bahkan untuk perlombaan yang diselenggarakan oleh negara sekalipun.

Ads