Pelatihan Teater untuk Menangani Kecemasan Sosial pada Remaja -->
close
Adhyra Irianto
18 July 2023, 7/18/2023 10:21:00 AM WIB
Terbaru 2023-07-18T03:21:10Z
teaterUlasan

Pelatihan Teater untuk Menangani Kecemasan Sosial pada Remaja

Advertisement
teater dalam menangangi kecemasan sosial pada remaja
Pelatihan teater dalam menangangi kecemasan sosial pada remaja


Pojok Seni - Ada banyak hal yang terjadi di sekeliling remaja bisa menyebabkan kecemasan sosial, kadang berakhir dengan depresi. Beberapa hal yang dimaksud antara lain intoleransi, ketakutan akan ketidakpastian, dan hal-hal yang berpengaruh langsung pada psikis remaja (Knappe, Sasagawa & Creswell, 2015: 40). Kecemasan sosial bahkan sangat umum terjadi pada seorang remaja, yang bila tidak ditangani dengan baik akan menyebabkan gangguan psikologis yang lebih berbahaya saat dewasa.


Masalah kenakalan remaja, seperti terlibat tawuran, penyalahgunaan narkoba, ketergantungan dengan minuman beralkohol, dan sebagainya akan sangat terkait dengan kecemasan sosial ini. Tidak hanya itu, kecemasan sosial ini juga dikaitkan dengan rendahnya kualitas hidup serta minimnya prestasi pendidikan seorang remaja (Asher, Asnaani, Aderka, 2017: 2). Kecemasan sosial bahkan berpengaruh pada kinestetik seorang remaja, seperti susah berbicara (gagap), sering gugup, mudah kebingungan, nafas sesak, detak jantung lebih cepat, lebih mudah berkeringat, dan sebagainya (Felsman, P., Seifert, C. M., Sinco, B., & Himle, J. A., 2023)


Apa yang menyebabkan seorang remaja sering mendapatkan masalah ini? Perlu dicatat bahwa masalah ini biasanya terjadi pada remaja usia 15-20 tahun. Selang waktu 5 tahun ini adalah periode penting bagi seorang manusia. Ketika ia didera kecemasan sosial di waktu tersebut, maka resikonya adalah pengalihan ke minuman keras, perkelahian, penggunaan narkotika, dan kenakalan remaja lainnya. Penyebab paling utama dari kecemasan sosial ini, menurut Clark dan Wells (1995: 69) adalah ketakutan akan evaluasi negatif dari orang lain. Hal itu akan menyebabkan remaja melakukan penghindaran sosial atau bersembunyi, karena ketakutan akan adanya penilaian negatif dari orang lain terhadap dirinya (Puspita, NA, 2018:154). 


Tindakan bullying dan intoleransi di lingkungan sekitar juga akan membuat remaja tersebut merasa malu, terhina, dan berujung depresi. Teman-teman sebaya bisa menjadi faktor yang memperburuk ataupun menyelamatkan seseorang remaja dari dampak terburuk kecemasan sosial (Kholifah, N, 2016:60). Masalah kecemasan sosial ini paling banyak menimpa remaja tahap akhir, menurut Hurlock (dalam Ajhuri, FK, 2019: 124), yakni usia 18 hingga 22 tahun. Usia tersebut adalah usia transisi dari remaja akhir ke dewasa awal, dan sangat berpengaruh secara psikis pada seorang manusia. Sensitifitas menjadi lebih tinggi, dan emosi menjadi cenderung lebih meledak-ledak. Kecemasan sosial akan sangat berpotensi menimpa remaja di usia tersebut.


Bagaimana Teater Hadir untuk Masalah Tersebut


Hal yang menarik ditemukan oleh Butler (2017) yang membuktikan adanya efek terapeutik dari pelatihan teater untuk anak dan remaja. Tentunya, dalam konteks apa yang dianalisis dan diteliti Butler, teater (atau drama) diperlakukan selayaknya "terapi". Proses terapi yang dilakukan (dan digarisbawahi oleh Butler) adalah bagaimana seorang anak dan remaja akan mempelajari hal-hal tertentu terkait pendalaman akting. 


Pilihan karakter dan pilihan naskah tentunya akan sangat berkaitan dengan proses pencegahan kecemasan sosial. Misalnya, dimulai dengan memilih peran yang mampu menguatkan seorang anak dan remaja untuk melewati transisi menuju dewasa, menanggapi dan merespon tindak intoleransi, serta aktualisasi diri untuk berani membuka diri dan menerima masukan serta kritikan dari orang lain.


Karena itu, latihan yang akan digunakan adalah improvisasi peran. Pelatih atau sutradara (dalam hal ini bertindak juga sebagai terapis) akan memberikan berbagai situasi dan lawan main yang direspon secara spontan dan improvisatif oleh seorang remaja. Hal ini, dianggap sebagai sebuah terapi yang secara empiris mirip seperti terapi perilaku-kognitif (Cognitive-behavorial therapy). Intinya, dalam terapi Cognitive-behavorial therapy (kemudian kita singkat menjadi CBT), aktor (dalam hal ini pasien) dihadapkan dengan situasi yang paling sering ia hindari di kehidupan umumnya (Hofmann, Sawyer, & Fang, 2010). 


Misalnya, ada seorang remaja yang kerap gemetar bahkan mematung tak mampu melakukan apapun ketika berada di depan umum. Maka, sebagai sebuah "terapi" latihan dan karakter yang diberikan pada pasien tersebut adalah berbicara di depan umum dengan situasi tertentu. Aktivasi dari rasa takut dimulai dengan memunculkan situasi yang ditakuti, lalu dilakukan latihan berulang untuk menjadikannya hal yang biasa. 


Atau, cara kedua adalah dengan menemukan apa yang menjadi faktor penghambat (situasi yang memengaruhi) ketakutan tersebut untuk akhirnya diakses pelintasannya, dan diuji penyebab kesalahan kognitifnya. Dua cara ini yang digunakan untuk menyelesaikan satu per satu masalah yang menjadi faktor penyebab kecemasan sosial pada seorang remaja menggunakan teater sebagai media teraupetiknya (Emunah,2019).


Grup Teater Sebagai "Bengkel"


Pertemuan teater di Teater Satu Lampung

Satu hal lagi yang perlu dipertimbangkan adalah di mana posisi grup teater dalam permasalahan ini. Dalam kegiatan bertajuk Indonesian Theatre Incubation di Bandar Lampung (10 - 13 Juli 2023), sutradara Teater Satu Lampung yang didapuk sebagai pemateri, Iswadi Pratama, memaparkan salah satu pendekatan grup teater bisa menjadi "safe house" bagi para anggotanya. 


Iswadi yang menangani anggota Teater Satu sejak masih berusia remaja menjadikan grup besutannya sebagai "bengkel". (Sebelumnya, Pojok Seni menerbitkan artikel bertajuk Tiga Level Dramaturgi Menurut Eugenio Barba: Organik, Naratif, dan Evokatif yang juga ditulis berdasarkan kegiatan Indonesian Theatre Incubation yang digelar oleh Dewan Kesenian Lampung di Bandar Lampung)


Tentunya, hal yang diperbaiki dalam hal ini adalah masalah psikologis dan sosiologis yang kerap menimpa remaja. Remaja yang datang berlatih ke Teater Satu Lampung, tidak serta merta mendapatkan teori atau metode akting. Tapi terlebih dulu mendapatkan ruang untuk aktualisasi diri, serta berbagi cerita dan keluh kesah. Kemudian, juga ada sejumlah laboratorium akting yang memungkinkan aktor-aktor Teater Satu untuk mendapatkan sejumlah given circumstances dengan konteks tertentu. 


Hal inilah yang sesuai dengan pemaparan Jones (2019) tentang teater sebagai media teraupetik. Hasilnya adalah, Teater Satu didesain sebagai rumah yang aman bagi anggotanya, baik untuk berkreasi, berkarya, bahkan berkeluh kesah.


"Karena itu, sebagai orang yang dituakan di grup Teater Satu, saya juga bertindak sebagai dukun cinta, psikolog, sekaligus pelatih kejiwaan, selain pelatih teater. Grup teater mesti menjadikan anggotanya sebagai seseorang yang menjadi lebih baik, lebih luas wawasannya, lebih pintar, dan tentunya lebih dewasa," kata Iswadi.


Referensi


  1. Asher, M., Asnaani, A., & Aderka, I. M. (2017). Gender differences in Social Anxiety Disorder: A Review. Clinical Psychology Review, 56, 1–12. doi:10.1016/j.cpr.2017.05.004 
  2. Ajhuri, K.F .(2019). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Sepanjang Rentang Kehidupan (Yogyakarta: Penebar Media Pustaka)
  3. Butler, J. D. (2017). The complex intersection of education and therapy in the drama therapy classroom. The Arts in Psychotherapy, 53, 28–35. doi:10.1016/j.aip.2017.01.010 
  4. Clark, D. M., dan Wells, A. (1995). A cognitive model of social phobia.In R. G. Heimberg, M. R. Liebowitz, D. A. Hope dan F. R.Schneier (Eds.), Social phobia: Diagnosis, assessment, and treatment (pp. 69–93). The Guilford. New York.
  5. Emunah, R. (2019). Acting for Real. doi:10.4324/9781315725406 
  6. Felsman, P., Seifert, C. M., Sinco, B., & Himle, J. A. (2023). Reducing social anxiety and intolerance of uncertainty in adolescents with improvisational theater. The Arts in Psychotherapy, 82, 101985. doi:10.1016/j.aip.2022.101985 
  7. Hofmann, S. G., Sawyer, A. T., & Fang, A. (2010). The empirical status of the “new wave” of cognitive behavioral therapy. Psychiatric Clinics of North America, 33(3), 701–710. doi:10.1016/j.psc.2010.04.006 
  8. Jones, P. (2019). Drama as therapy: Theory, practice and Research. ROUTLEDGE. 
  9. Kholifah, Nanik. (2016). Peran Teman Sebaya dan Kecemasan Sosial Pada Remaja (Pasuruan: Jurnal Psikologi)
  10. Knappe, S., Sasagawa, S., & Creswell, C. (2015). Developmental Epidemiology of Social Anxiety and social phobia in adolescents. Social Anxiety and Phobia in Adolescents, 39–70. doi:10.1007/978-3-319-16703-9_3 
  11. Puspita, Novia Ayu. (2018). Hubungan Antara Regulasi Diri Dengan Kecemasan Menghadapi Dunia Kerja Pada Taruna Akademi Kepolisian Semarang (Semarang: Universitas Diponegoro).

Ads