Mempertanyakan Ulang Stoikisme dan Hubungan Rumitnya dengan Absurdisme -->
close
Pojok Seni
29 July 2023, 7/29/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-07-29T07:28:35Z
ArtikelUlasan

Mempertanyakan Ulang Stoikisme dan Hubungan Rumitnya dengan Absurdisme

Advertisement
mempertanyakan ulang stoikisme


Oleh: Adhyra Pratama Irianto


Tidak begitu mengejutkan ketika buku berjudul "Seni Bersikap Bodoh Amat" (versi bahasa Inggris "The Subtle Art to not Giving F*ck") yang ditulis oleh Mark Manson menjadi best seller dunia beberapa waktu lalu. Pasalnya, pandemi Covid-19 seakan mengantar manusia yang sedang santai dan "menikmati hidup dengan secangkir kopi di saat senja", ke depan pintu gerbang "irrasionalitas dan absurditas hidup". 


Keterkurungan, kebuntuan, kegelapan, dan ancaman kematian datang bersliweran seperti angin. Orang-orang terdekat meninggal satu per satu karena penyakit, pekerjaan hilang satu per satu karena pandemi, segala sektor lumpuh, dan beberapa negara menemui kehancuran dan kebangkrutan.


Kecemasan melanda, setiap manusia akan saling mencurigai. Bahkan orang terdekat pun, ketika pulang tidak bisa langsung menyentuh orang terkasihnya. Ia harus mandi dulu, menyemprot tubuhnya dengan disinfektan, dan mengurung diri dulu selama beberapa hari, baru ia bisa bersentuhan dan berinteraksi dengan orang-orang terdekatnya. 


Saat kondisi seperti itu, tiba-tiba Mark Manson datang dengan stoikisme. Paham yang (negatifnya) menegasi hubungan manusia dengan manusia lainnya. Mencintai diri secara penuh, tidak perlu peduli dengan apapun yang terjadi di luar diri.


Positifnya, stoikisme menginginkan seseorang menjadi "bodoh amat" dengan hal-hal yang berada di luar kendali pikirannya. Maka di saat yang bersamaan, stoikisme menginginkan seseorang menjadi sosok yang apatis dan masa bodoh dengan apa yang terjadi di sekitarnya. 


Kepasrahan, tidak mengeluh, tidak peduli pada hal-hal yang akan membuat Anda cemas dan takut, menjalani hidup dengan bahagia apapun yang terjadi, selalu berpikir positif, dan pada akhirnya berhenti untuk peduli. Kalau dalam terminologi relijius, jadilah seseorang yang "sabar dan tawakal".


Apa yang bisa dilihat dari "stoikisme" ini secara sekilas? Jangan pernah (terpikir) untuk melawan! 


Apapun yang terjadi pada hidupmu, nikmati dan tarik hal-hal positifnya. Sangat menarik, bukan? Apalagi dalam konteks kehidupan "beragama", tentunya hal tersebut akan sangat relevan, apalagi dalam kondisi seperti ini.


Mempertanyakan Ulang Stoikisme


Membicarakan stoikisme, maka kita akan diantarkan ke nama tiga orang filsuf berbeda "profesi". Marcus Aurelius seorang raja, Epictetus seorang budak, Seneca seorang pemikir/akademisi. 


Marcus Aurelius


Kita mulai dari sang kaisar Marcus Aurelius. Apa yang dikatakan oleh Aurelius? Bahwa kita semua memiliki kekuasaan atas pikiran kita sendiri. Dengan menyadari itu, maka kita akan menemukan kekuatan. Jangan pikirkan apa-apa yang ada di "luar itu". Itu yang dikatakan Aurelius dalam buku Meditations.


Aurelius adalah seorang raja, yang memiliki kekuasaan atas wilayah yang berdaulat, rakyat yang berada di dalam wilayah hukumnya, juga kekuasaan atas anggaran negara, hukum negara, aturan-aturan lainnya. Tapi ia meminta "rakyatnya" untuk "hanya" berkuasa atas pikirannya sendiri, serta melupakan semua peristiwa yang terjadi di luar kendalinya.


Yah, beruntung bila kita mendapatkan raja yang baik. Tapi, ketika kerajaan Romawi mendapatkan raja seperti Kaisar Nero yang sinting, atau raja lain yang seperti kakeknya Nero, yang bernama Caligula (yang lebih sinting), maka apa yang harus dilakukan oleh seorang "stoa"? Apakah perlu tetap sabar dan pasrah? Jawabannya, mau tidak mau, bagi seorang stoa adalah "iya". 


Seneca


Sekarang kita beralih ke filsuf kedua, Seneca. Seneca berkata dalam buku De Ira, bahwa manusia tidak perlu "mengendalikan" amarah, tapi menghancurkannya -sehancur-hancurnya-. Kemarahan, kesedihan, kemurungan, kecemasan, dan sifat-sifat yang lahir dari kepedulian manusia pada lingkungan sekelilingnya, menurut Seneca adalah "hal yang secara fundamental bersifat jahat". Jadi, kata Seneca, untuk apa mengendalikan sesuatu yang jahat?


Faktanya adalah, Seneca bunuh diri! Ia diperintahkan oleh Kaisar Nero untuk bunuh diri, dengan cara memotong nadinya sendiri. Tragisnya, ia bunuh diri bersama dengan istrinya Pompeia Paulina


Seneca bernasib jelek dengan hidup di masa para "kaisar gila" Romawi. Mulai dari Caligula, Claudius, hingga Nero. Hidupnya simpang-siur, diasingkan ke sana sini, dituduh macam-macam, dipermalukan, hingga akhirnya diperintahkan bunuh diri. 


Padahal, Seneca adalah orang yang menjadi guru dan mengajarkan Nero sejak berusia 12 tahun, mempersiapkannya menjadi kaisar berikutnya. Tapi, tragisnya, Nero adalah orang yang memerintahkan ia untuk bunuh diri karena percaya bahwa Seneca hendak membunuhnya. Nero juga percaya bahwa Seneca korupsi.


Kisah hidup Seneca menggambarkan bahwa Seneca benar-benar "sabar dan pasrah" menjalani hidupnya, tanpa perlawanan. Ia tidak mengeluh sama sekali. Ia telah berhasil "membius" perasaannya untuk tidak peduli dan mati rasa. Dalam titik tertentu, apakah Seneca tidak terlihat begitu "bahlul" dengan menerima semuanya tanpa perlawanan, dan hanya bersikap bodoh amat?


Dalam keadaan hari ini, apa yang dilakukan Seneca sepertinya sangat berbahaya. Sedikit mengutip Fahrudin Faiz dalam suatu wawancaranya, ketika ia ditanya kenapa umat Muslim saat ini sangat sulit untuk maju berkompetisi dan maju menghadapi persaingan global? 


Jawabannya Faiz adalah, karena umat Muslim diminta untuk "sabar, pasrah, dan tawakal". Namun, hal tersebut terjadi ketika era kekalahan dan hancurnya Turki Utsmani. Dari era tersebut, peradaban Islam perlahan mundur, sedangkan umatnya sibuk "mencari selamt sendiri" dengan mencari "surga" bagi masing-masing personal. Tapi, abai dan bodoh amat dengan apa yang terjadi di sekitarnya, bila tidak berhubungan langsung dengan dirinya. Secara gamblang, sebut saja dengan istilah "takut untuk melawan, lebih baik cari aman, yang penting tetap bisa hidup".


Epictatus


Beralih ke Epictatus, sang budak. Ia terlahir sebagai budak, bahkan nama Epictatus itu sendiri diberikan oleh "tuannya". Satu yang paling difavoritkan banyak pengikut dari Epictatus adalah prinsipnya untuk menerima semua sebagai "kebaikan semesta". Alam itu "dipastikan" baik, maka tidak ada yang baik dan buruk datang dari alam. Semuanya, "baik".


Lagi-lagi tidak ada kata "melawan" dalam kamus hidup Epictatus. Semesta sangat baik, maka untuk hidup dengan baik, manusia harus menyatu dengan alam. Manifesto Epictatus menjadi lirik lagu oleh Rhoma Irama, namun dalam kondisi yang berbeda. 


Langit sebagai atap rumahku, dan bumi sebagai lantainya. 


Bagi Rhoma Irama, itu adalah sebuah kesedihan yang mendalam. Tapi, bagi Epictatus, itu adalah sebuah kekayaan. Kekayaan bagi Epictatus bukan berapa uang yang Anda miliki, atau berapa banyak materi yang Anda punyai. Tapi, seberapa sedikit yang paling Anda harapkan dari dunia? Semakin sedikit yang Anda inginkan, maka semakin kaya diri Anda.


Epictatus mengajarkan "kesederhanaan" karena ia memang hidup "kekurangan". Kesedihan bukan hal yang diharapkan dalam stoikisme, apalagi kemarahan. Dua-duanya hanya lahir ketika kita memperdulikan hal-hal di luar diri kita, di luar kuasa kita, di luar hal-hal yang kita kuasai. 


Karena itu, kenapa harus peduli dengan budaya Jawa kalau kita adalah orang Sumatera? Kenapa harus peduli ketika orang-orang di daerah lain hidup kesulitan? Juga kenapa harus peduli bila orang-orang di Palestina dan Ukraina setiap hari dihujani rudal dan bom? Kenapa harus peduli bila hanya membuat kita sedih dan marah? Mau membantu pun, bagaimana caranya kalau kita sendiri hidup dalam kemiskinan?


Lebih buruknya, di era ketika kapitalisme merajalela seperti saat ini, ada banyak pekerja yang dieksploitasi habis-habisan, namun hanya mendapatkan penghasilan yang kecil. Ada banyak guru-guru di daerah terpencil yang digaji Rp300 ribu - Rp500 ribu per bulan, juga ada banyak pekerja yang bekerja dari pagi sampai malam, hanya diberi upah tidak sampai UMR. 


Bila mereka ini memegang penuh apa yang diyakini Epictatus, maka selamanya mereka akan terus dieksploitasi oleh korporat kapitalis, tanpa mendapatkan hidup yang "layak". Yah, hidup yang layak menurut Epictatus adalah orang-orang yang punya sedikit keinginan. Bila melawan, maka mereka akan dipecat. Daripada dipecat, lebih baik dieksploitasi habis-habisan. Muncul lagi prinsip antik Stoikisme, "takut untuk melawan, lebih baik cari aman, yang penting tetap bisa hidup".


Hubungan "Rumit" dengan Nihilisme dan Absurdisme


Banyak orang yang "menganut" nihilisme dan absurdisme kemudian dikait-kaitkan dengan stoikisme. Padahal, nihilisme (ala Nietzche) dan absurdisme (ala Camus) tidak berhubungan dengan Stoikisme yang diperkenalkan tiga tokoh yang dibahas sebelumnya. Atau, kalaupun berhubungan, seperti yang dijadikan "judul" tulisan ini, hubungannya "rumit".


Sebelum melanjutkan membaca lanjutan tulisan ini, ada baiknya pembaca mengenali dulu nihilisme dan absurdisme. Secara sekilas, Pojok Seni memuat ikhtisarnya di artikel ini: Absurdisme dan Nihilisme: Apa Perbedaan Keduanya?


Frederich Nietzche menulis dalam Beyond Good and Evil, bahwa ada orang-orang yang melihat sesuatu secara keliru. Caranya ialah dengan menyangkal, dan mematikan perasaannya sendiri. Semua yang sebenarnya membuat seseorang menjadi tertekan, dianggapnya sebagai sebuah "kebaikan", sehingga mereka menerimanya tanpa perlawanan. Secara eksplisit, Nietzche "mengejek" para stoik, bukan?


Sedangkan Albert Camus, menulis lewat karya fenomenalnya, L'Etranger (Orang Asing). Ia menceritakan bahwa Meursault (si orang asing) yang terus terbentur dengan aturan-aturan umum di masyarakat. Ia membunuh, lalu dipenjara. Ibunya meninggal, kekasihnya ternyata tidak ia cintai, dan situasi kehidupan yang benar-benar absurd. Apakah Mersault menjadi pasrah, dan menerima semua itu? Tidak. 


Ia melawan, ia menentang, dan ia menolak semua pemikiran yang sudah dianggap pakem di masyarakat. Ia hadir dengan pemikirannya sendiri, yang berbeda dari kebanyakan manusia. Semua pemikirannya dianggap sebagai sebuah cara dia "menikmati" kehidupannya.


Bahasa "Camus"-nya, ia menolak pemaknaan hidup yang objektif, karena itu ia memberikan penawaran pemaknaan subjektif sesuai dengan wawasannya, pemikiran rasionalnya, situasi sekelilingnya, dan faktor-faktor lain yang akan berbeda dari orang lain.


Nihilis dan absurdis menolak semua pemaknaan yang ada di dunia ini. Semua "makna" dan "tujuan" dalam hidup adalah persepsi, atau tafsiran setiap orang berdasar apa yang ia lihat, dengar dan pikirkan sepanjang hidupnya.


Di sini terlihat bahwa absurdis dan nihilis, ternyata tidak memiliki hubungan dengan stoikisme. Absurdis mengatakan, menghadapi realitas dan semesta yang kacau, paradoksal sekaligus dilematik ini, seseorang akan memilih antara bunuh diri, atau bunuh diri filosofis. Nah, secara tidak langsung, menyerahkan semuanya pada "yang di atas", dan pasrah saja dengan apapun yang terjadi di hidup adalah salah satu bentuk "bunuh diri filosofis".


Sedangkan absurdis menawarkan jalan yang paling tepat untuk menghadapi absurditas hidup, yakni "hidup berdamai dengan absurditas". Kita kejar apa yang ingin kita kejar, kita menyangkal dan menolak kehidupan yang kacau, sekaligus memberikan opsi-opsi yang paling sesuai dengan diri kita.


Bagaimana caranya bisa menawarkan "solusi" itu? Maka kita akan terus memperkaya wawasan, memperkaya secara materi, sekolah setinggi mungkin, menjadikan kehidupan ini sebagai sebuah tantangan dan akan terus kita "tantang". Intinya, menjadi orang yang lebih baik untuk mendapatkan kebahagiaan untuk menikmati hidup. Itu yang ingin dikejar oleh seorang absurdis.


Ia tidak mau dikekang dengan aturan yang ditetapkan orang lain. Tapi, ia membuat aturan untuk dirinya sendiri, dan bahagia dengan itu. Maka sebenarnya, disadari atau tidak, absurdisme yang lahir dari rahim pemikiran eksistensialisme ini sebenarnya punya kaitan yang erat dengan nihilisme.


Nietzche dengan nihilis eksistensialis sebenarnya punya premis yang sama dengan absurdis. Hidup itu tidak ada makna, juga tidak ada tujuan. Maka yang hadir di dunia adalah makna-makna dan nilai-nilai yang palsu, dibangun oleh orang-orang terdahulu yang kemudian menguasai orang-orang berikutnya secara frontal.


Maka untuk menikmati hidup, menurut Nietzche, perlu dimulai dengan menghancurkan nilai-nilai "palsu" tersebut, kemudian membangun nilai yang baru sesuai dengan interpretasi dan keyakinan subjektif diri. Ini adalah active nihilism yang menjadikan hidupnya jauh lebih berwarna, dan lebih bermanfaat bahkan bagi orang lain.


Apa lawan dari active nihilism? Itu adalah passive nihilism yakni orang-orang yang menyerah dan ingin "skip" kehidupannya demi angan-angan kehidupan setelah mati. Itu adalah orang-orang yang pasrah, dan "sabar" menghadapi kehidupan ini.


Nihilism dengan yakin menyatakan tidak ada makna dalam hidup, maka dengan kekuatan dari dalam diri baik kehendak bebas, kesadaran, tanggung jawab, kepribadian, serta keinginan untuk menjadi lebih cerdas, menjadi cara kaum nihilis untuk menjalani hidup yang "berantakan" dan "tidak harmonis" ini.


Berbanding terbalik dengan para stoikisme yang dengan yakin bahwa alam ini harmonis, dan kita sebagai manusia wajib mengharmonikan diri dengan alam. Tapi, para nihilis dan absurdis punya kesamaan pikiran bahwa, alam itu tidak harmoni. Kenapa bencana alam datang dan menghancurkan kehidupan, bila alam itu harmoni? Kenapa ada pandemi Covid-19, bila memang alam itu selalu baik?


Sedangkan kaum absurdis, perbedaan mendasarnya dengan nihilis adalah, adanya keinginan untuk membuat makna baru untuk dirinya sendiri. Pemaknaan yang tidak ada adalah pemaknaan objektif. Untuk menjadikan pemaknaan menjadi "ada" tidak dilakukan dengan mencarinya, tapi menciptakannya. 


Karena itu, kaum absurdis ini "wajib" untuk terus memperkaya wawasan, pengalaman, pengetahuan, dan lain-lain dalam rangka menciptakan "pemaknaan subjektif" tersebut. Setiap pemaknaan yang baru disusun dipertimbangkan agar tidak merugikan dirinya, juga orang lain.


Apakah terasa sangat berbeda dengan stoik yang hanya pasrah dan menerima keadaan tersebut? Populernya stoikisme beberapa tahun terakhir ini bahkan perlu dicurigai sebagai cara untuk menjadikan generasi berikutnya adalah generasi yang lebih tertarik untuk sedikit-sedikit healing, santai dan rebahan, tanpa perlu membuat terobosan dan perubahan. Jadi generasi yang bodoh amat dengan apa yang terjadi, serta jadi generasi yang bisa diekploitasi habis-habisan oleh pemilik alat produksi.


Bukankah sesuatu bisa menjadi benar-benar "viral" dengan dukungan media dan sponsor? Mengapa tidak mulai skeptis dengan "viralnya" stoikisme dan "best seller-nya" buku Mark Manson?

Ads