Kehidupan Sosial dalam Perspektif Dramaturgi Erving Goffman -->
close
Pojok Seni
03 July 2023, 7/03/2023 04:55:00 AM WIB
Terbaru 2023-07-02T21:55:56Z
ArtikelMateri Teater

Kehidupan Sosial dalam Perspektif Dramaturgi Erving Goffman

Advertisement
Kehidupan Sosial dalam Perspektif Dramaturgi Erving Goffman
Erving Goffman

Oleh: Adhyra Irianto


Dramaturgi, menurut Harymawan (1993) adalah seni penulisan dan penyajian bentuk drama. Namun, dramaturgi dalam perspektif Ervin Goffman jauh lebih luas. Dramaturgi, menurut Goffman (1978) adalah "sandiwara panggung kehidupan" antara manusia dengan seni (teater). Dramaturgi menurut Erving Goffman lebih sering disebut dramatisme (Kendall, 2010), alias penggunaan simbol-simbol tertentu dalam dunia sosial. Littlejohn (2009) menyebut bahwa dramatisme sangat diperlukan untuk berkomunikasi, baik di depan publik maupun komunikasi personal.


Hal ini memberikan perbandingan antara interaksi di kehidupan sosial dengan "kehidupan" di atas panggung. Model dramaturgi Erving Goffman didasarkan atas pengaplikasian ide dari evaluasi sosial di kehidupan masyarakat hari ini. Pendekatan dramaturgi Goffman lebih menyasar ke ekspresi dan komunikasi, yang bentuknya bisa berupa lisan, tulisan, perilaku, benda, dan peristiwa tertentu (Lono, 2013). 


Asumsi Goffman, seseorang akan menampilkan "wujud terbaik" dari dirinya. Seperti di panggung, ketika seorang aktor menghadirkan sebuah karakter dengan sangat baik karena akan ditonton oleh publik. Begitu juga di atas "panggung kehidupan" ketika seorang manusia akan mencoba memberikan gambaran terbaik dari dirinya, dengan tujuan gambaran baik itulah yang diterima oleh orang lain. Ini disebut oleh Goffman sebagai Impression Management atau pengelolaan kesan. Aktor menggunakan teknik Impression Management untuk memberikan kesan tertentu dalam situasi tertentu, tentunya dengan tujuan tertentu pula (D Mulyana & Rahmat, 2010).


Dengan perspektif demikian, maka seseorang akan mencoba menunjukkan dirinya dalam "bentuk terbaik" demi menjaga reputasinya. Ketika berinteraksi dengan orang lain, maka hanya "alter ego" yang mereduksi hal-hal yang dianggap negatif dalam perspektif masyarakat, dan hanya menampilkan bagian yang positif saja. Goffman juga berasumsi bahwa kehidupan di atas panggung persis dengan kehidupan sosial, di mana ada front region (wilayah depan) di dunia nyata (front stage di teater) yang menjadi area yang terlihat oleh pemirsanya, dan ada back region (wilayah belakang) atau backstage di teater, di mana aktor menjadi dirinya sendiri karena tidak terlihat oleh penonton. 


Di back region, seorang aktor akan berdandan, merapikan pakaian, bersantai, mungkin makan makanan ringan, minum, beristirahat, dan lain-lain. Tapi di front region, ia akan menjadi karakternya yang kemudian dikagumi (atau tujuan lainnya) oleh pemirsanya. Impression management diorganisir dengan baik, agar aktor bisa tetap beristirahat dan menjadi dirinya sendiri di panggung belakang, dan menjadi seseorang yang berkesan di panggung depan. Inti dari pengelolaan kesan ini adalah, tidak menampilkan apa yang dihadirkan di back region di front region, begitu pula sebaliknya (Glaskov, 2016).


Maka bisa disimpulkan bahwa ada suatu pertunjukan yang dihadirkan oleh seseorang untuk berinteraksi pada orang yang lain. Apalagi, bila seorang individu tersebut memiliki suatu tujuan tertentu. Keberhasilan "pertunjukan" tersebut terlihat dari tercapainya tujuan dari individu yang dimaksud. Misalnya, bila seorang calon legislatif sedang ingin meraih suara, maka ia akan menampilkan bagian terbaik dari dirinya di hadapan masyarakat. Bahkan, meski ia menampilkan dengan "citra negatif", ia juga memiliki tujuan tertentu dengan tampilan tersebut.


Paradigma konstruktivisme terhadap teori dramaturgi Erving Goffman kemudian dilihat oleh sejumlah peneliti (seperti Glazkov, 2016-lihat daftar pustaka) untuk melihat dan menganalisis secara sistematis aksi yang dilakukan individu untuk memberi "pemaknaan" pada dirinya sendiri di mata masyarakat. Bahkan, tidak hanya pada "kehidupan nyata", tapi beberapa peneliti menggunakan dramaturgi Goffman untuk menganalisis kehidupan di media sosial, misalnya di Twitter (Girnanfa, F & Susilo A, 2022). Hasilnya, ditemukan beberapa "akun alter" yang digunakan seseorang untuk menampilkan atau mencurahkan sisi lain dari dirinya yang selalu ditutupi. Akun alter ini adalah bentuk lain dari backstage, meski terlihat oleh publik namun tetap tidak terlihat siapa subjeknya. Sedangkan impresi terbaik akan ditampilkan oleh akun asli. Akun asli mungkin akan mempublikasikan foto-foto terbaik, kutipan terbijak, dan hal-hal positif lainnya. Sedangkan akun alter akan lebih banyak memuat kisah kesedihan, perselingkuhan, situs dewasa, judi, dan sebagainya.


Hal yang sama akan ditemukan juga di media sosial yang lain seperti Facebook, Instagram, dan sebagainya. Motifnya sama dengan di Twitter, di mana akun asli akan tetap menjaga nama baik, reputasi, dan kesan yang diharapkan dari pemirsanya. Sedangkan akun alter adalah tempat sisi lain dari pemilik akun bisa dicurahkan.


Dari titik ini, meski terasa ada pergeseran, namun pembagian wilayah "front & back" dari Goffman masih sangat terasa. Perbedaan mendasar hanyalah, back stage di hari ini juga merupakan panggung yang berada di mata publik lainnya, sama seperti front stage. Namun, di panggung belakang, individu yang dimaksud akan menggunakan topeng atau make up untuk menutupi dirinya sepenuhnya. Justru dalam kondisi ini, individu tersebut merasa bebas untuk menjadi dirinya sendiri. Sedangkan dirinya yang berada di front stage, adalah seseorang yang terbelenggu oleh dogma-dogma tertentu, atau ingin memberi kesan tertentu lewat tampilan yang sangat berbeda dengan alter ego-nya.


Daftar Pustaka


  • Girnanfa, F. A., & Susilo, A. (2022). Studi dramaturgi Pengelolaan Kesan melalui Twitter sebagai sarana eksistensi Diri Mahasiswa di Jakarta. Journal of New Media and Communication, 1(1), 58–73. doi:10.55985/jnmc.v1i1.2 
  • Glazkov, K. (2016). Erving Goffman’s gaming concept of everyday life: Between symbolic interactionism and ethnomethodology. Sotsiologicheskoe Obozrenie, 15(2), 167-191 https://doi.org/10.17323/1728-192X-2016-2-167-191
  • Goffman, E. (1978). The presentation of self in everyday life. Penguin Books: Harmondsworth. 
  • Kendall, S. (2010). Symbolic interactionism, Erving Goffman, and sociolinguistics. Dalam The SAGE Handbook of Sociolinguistics (pp. 113–124). https://doi.org/10.4135/9781446200957.n8
  • Lono Simatupang (2013). Pergelaran sebuah Mozaik Penelitian Sosial-Budaya (Yogyakarta: Penerbit Jalasutra)
  • Mulyana, D, & Rakhmat, J. (2010). Komunikasi antarbudaya. Dalam Pengantar Komunikasi antarbudaya.
  • Rma Harymawan (1993). Dramaturgi (Bandung: Rosdakarya)
  • Littlejohn, S.W (2009). Encyclopedia of Communication Theory (Jakarta: SAGE Publications)

Ads