Advertisement
Ilustrasi gambar: Pertunjukan monolog Wanci oleh Sekolah Teater Indramayu |
Pojok Seni - Seni adalah ungkapan jiwa, kata Benedetto Croce (1866-1952) seorang filsuf penganut Hegelian dari Italia. Sosok ini adalah salah satu yang dikenal dunia sebagai salah satu garda terdepan saat mendukung kudeta terhadap Mussolini. Ia juga orang yang mendukung pendirian rezim fasis Italia, sekaligus orang yang kemudian bergabung dengan kelompok anti-fasis.
Pandangan Croce tentang estetika berpijak dari definisinya terhadap seni, yakni intuisi. Maka, dengan sifatnya yang intuitif, seni adalah sebuah kontemplasi yang terjadi di sisi spiritual, atau relung batin seorang manusia. Karya seni, adalah hasil perenungan spiritual, kontemplatif, serta pandangan jujur seorang seniman terhadap apa yang ia rasakan. Hal itu bisa saja sebentuk respon pada lingkungan sekitar, maupun pengejawantahan dari kegelisahannya, atau hasil kontemplasi lainnya.
Karya seni tersebut dipergunakan oleh seniman untuk berdiskusi dengan pemirsanya. Proses tersebut dikatakan Croce sebagai transformasi batin, dari seniman pada pemirsanya lewat karya seni. Maka, apa yang dirasakan seniman lewat perasaan terdalamnya bisa sampai pada pemirsanya langsung di batinnya.
Untuk dapat menyampaikan perasaan tersebut, maka karya seni mesti indah dan sublim. Croce berpendapat bahwa karya seni seharusnya merupakan sekumpulan citra-citra intuitif yang tersusun dengan komposisi tertentu. Dari tesis tersebut, Croce adalah orang yang percaya bahwa sesuatu bisa disebut sebagai karya seni bukan karena ide, gagasan, atau konsep yang diusung. Tapi karena adanya perasaan yang mampu dihantarkannya pada pemirsanya. Sebuah guci yang mungkin sangat sulit cara pembuatannya, mempergunakan teknik terbaru, dan sebagainya, namun tak memberikan perasaan apa-apa pada orang yang memandangnya, bagi Croce, bisa jadi bukan sebuah karya seni. Perasaan dalam hal ini menjadi semacam semen yang menghubungkan bata dengan bata ketika membangun sebuah tembok yang disebut sebagai "karya seni". Karya seni sebagai komposisi citraan intuisi, disusun dengan sebaik mungkin dan menggunakan "perasaan" sebagai perekatnya.
Dalam konteks sastra, Croce membagi keduanya menjadi sastra epik dan sastra lirik. Sastra epik adalah seni yang memuat sebuah peristiwa besar, ide besar, dan hal-hal yang berpengaruh besar. Sedangkan sastra lirik adalah curahan pengalaman batin seorang seniman atau penyair. Betapapun remehnya curahan pengalaman batin tersebut, menurut Croce, itu adalah langkah pertama untuk membangun sebuah hal yang "epik". Maka, lirik yang memuat curahan batin tersebut, nyatanya adalah pondasi dari karya seni yang besar.
Kembali lagi ke belakang, ketika kaum romantik dan kaum klasik terus berseteru tentang definisi seni. Bila kaum romantik akan bermabuk-mabukan dengan perasaan, maka kaum klasik akan meninggikan representasi rasional. Croce dalam hal ini berada di aras kaum romantik dengan restruktur komposisi citraan intuitif tersebut. Maka karya seni bukan kumpulan citra intuitif yang berantakan. Ia harus disusun dengan komposisi tertentu, dengan mempertimbangkan banyak hal.
Karena seni adalah perkara perasaan (intuisi), maka ada banyak hal yang biasanya dipergunakan sebagai definisi seni akan ditolak oleh Croce. Hal-hal yang biasanya dipergunakan sebagai definisi seni antara lain konseptual, moralitas, material, dan fungsi.
Seni bukan perkara konseptual: Dalam perkara intuisi, tidak ada distingsi benar dan tidak benar, atau logis dan tidak logis. Fakta dan fiksi tidak terpisah dalam tataran intuisi. Maka, perkara konseptual tidak bisa digunakan untuk membicarakan apalagi mengevaluasi sebuah karya seni.
Seni bukan perkara moralitas: Moral adalah alat evaluasi normatif. Hal itu tidak berlaku ketika berbicara di tatanan intuitif. Karena moralitas akan bicara dalam konteks realita, sedangkan intuisi berada dalam tataran imajinasi. Apa moralitas yang berlaku dalam lanskap imajinasi?
Seni bukan perkara material: Croce berpendapat, sebuah karya seni tidak bisa dinilai dari apa yang dikandung dalam komposisinya. Mau terbuat dari emas, berlian, maupun kayu bekas sekalipun, karya seni akan tetap karya seni, dan apa yang bukan karya seni juga tetap bukan karya seni.
Seni bukan perkara fungsional: Ada banyak yang menginginkan sebuah karya seni memiliki manfaat dan dampak. Namun, apakah ketika karya seni tidak berdampak, maka bukan karya seni? Apakah ketika karya seni tidak memiliki fungsi, maka tidak termasuk karya seni lagi? Dengan pertanyaan semacam itu, bisa disadari bahwa karya seni bukan hal yang perlu dibebani dengan fungsi tertentu. Tentu saja akan tetap berfungsi, namun seremeh temeh apapun fungsinya, tetap saja evaluasi karya seni tidak bisa disandarkan pada fungsinya.