Advertisement
Oleh: Adepura Indra, S.Sn
TEATER REALISME 1850-an
Kini pada zamannya dari bermula beratustahun yang lalu, teater hanya menggambarkan ilusi tentang kenyataan di atas panggung. Teater mengungkapkan kenyataan keseharian apa adanya, tanpa stilisasi. Inilah teater realisme itu sesungguhnya, dimana standarisasi atas apa ilusi tersebut (yang terjadi diatas panggung) adalah faktual atau kenyataan itu sendiri: dengan campurtangan sutradara sebagai penonton utamanya dan aktor sebagai pelaku tokohnya.
Rekaan Teater Realisme setidaknya akan dipengaruhi dua perihal yaitu representasi dan presentasi yang digunakan untuk mengintrepretasikan kenyataan (Kernoddle, 1967) dalam pengertian sebagaimana presentasi adalah pemahaman yang berusaha menghadirkan seluruh kenyataan di atas panggung apa adanya dan representasi yaitu keinginan untuk menghadirkan panggung sebagai interpretasi dari seluruh formula dan unsur-unsur pemanggungan yang kesejarahannya telah hadir. Nah, pada tataran inilah akhirnya penonton (diyakinkan) bahwa panggung adalah ekspresi stilisasi tentang kehidupan manusia, bisa jadi menghadirkan realita dengan tidak apa adanya(dibaca: dibungkus melalui ideologi tertentu atau suatu kebenaran ideologi)
Memilih teater realisme, sepakat seniman sebagai pelaku harus mempertimbangkan serta menyeleksi materi panggung dan menerjemahkannya dalam bentuk berbagai sudut pandang: mengungkap kondisi manusia dengan lingkungannya melalui berbagai cara, meodifikasi dan defenisi baru. Maka pada titik pencipta proses kreatif ini, teater realisme akan mengalami modifikasi menjadi bentuk realisme terpilih (selected realism) dan realisme terstilir (stylized realism) dengan turunannya sebagaimana realisme terpilih mempolakan pemahaman bahwa kekuasaan dan warna lokal bukanlah suatu titik simpul keberhasilan suatu karya seni, dan realisme terstilir mempolakan serangan yang eksplosif terhadap lingkungan. Maka yang hadir dalam sebuah pertunjukan; realisme terpilih akan menghadirkan bentuk komedi sosial sedangkan realisme terstilir mengarah kepada karya – karya ekspresionis.
Kesamaannya adalah bahwa posisi manusia tidak lagi menjadi korban lingkungan, dan secara aktif ikut menentukan perkembangan lingkungan; mempertahankan dirinya di tengah lingkungannya tanpa harus meninggalkan dan melarikan diri dari kenyataan/ realistis – isme (pada sifat)
Nah, kesimpulan jika anda bermain realime dalam teater setidaknya 4 hal penting dibawah ini akan menuntun anda yaitu :
“sesuatu tidak boleh diperindah atau diperburuk dari keadaan yang sebenarnya”,
“apabila pembaca atau penonton tidak menyetujui ungkapan itu, justru merekalah yang harus diperbaiki”,
“Visualisasi Realisme menolak gagasan Theophile Gautier tentang I’art pour I’art (baca teater miskin: non realism teater: Jerzy Grotowski) karena visualisasi seharusnya digunakan untuk menunjukan kepentingan masyarakat”
“Bentuk Dramatik naskah menunjukan bentuk well made play dengan ciri eksposisi jelas dalam mengambarkan situasi dan watak tokoh, pengolahan situasi atau peristiwa, suspens muncul tak terduga dan berbalik menurut logika, serta plot berlangsung kontinyu dan memuncak dengan resolusi secara logis dan meyakinkan” (Yudiaryani, Panggung Teater Dunia 2002)
Realisme… Puitika pada realisme festival atau Festival Teater Realisme
Apa yang coba dihadirkan oleh Teater Taksu Pekanbaru dalam karya Orang Kasar dapat dimaknai sebuah proses penterjemahan aktual naskah dengan pemahaman sudut pandang tokoh (Nyonya Martopo). Sutradara Teater Taksu cukup bijak tetap menghadirkan suasana Orang Kasar yang di terjemahkan W.S Rendra kealam Indonesia (baca : surabaya) dengan menghadirkan alunan irama gending banyuwangi sebagai backsong pemanggungan, laku logat bahasa oleh para tokoh serta yang paling menarik adalah penterjemahan setting (ruang tamu; pada naskah, kebagian teras rumah pada pemanggungan) dan penambahan makna simbolik sangkar burung sebagai terjemahan sudut pandang tokoh Nyonya Martopo yang terkurung (baca dengan melengkapi kata tambahan: hatinya) semenjak ditinggal mati suami.
Kali pementasan berikutnya, sanggar Belacan Art Community (BAC) dalam naskah Badai Sepanjang Malam mencoba membangun ilusi panggung realis dengan menghadirkan panel panel pemisah ruang imaji. Setidaknya ada dua ruang besar yang diciptakan yaitu suasana rumah (pedesaan) tempat Tokoh Jamil dan istrinya tinggal dan ruang rumah perkotaan
sebelum penempatan Jamil di desa Klaulan (Lombok Selatan). Namun yang pasti apabila pilihan penterjemahan naskah oleh sutradara pada penampilan BAC ini adalah realisme aktual, maka identitas desa yang dimaksud, juga tahun kejadian yang direka terasa kurang pas. Penampilan peserta ke-3 UKM Batra UNRI dalam naskah Orang Kasar. UKM Batra UNRI memberikan suasana ke-siap-an pementasan yang berbeda jauh dari peserta sebelumnya. Tampak jelas persiapan pementasan oleh kelompok ini telah terencana dengan cukup baik. Sutradara memberikan tafsir ruang setting dengan mayoritas warna cream pada panel-panel dinding dan beberapa lukisan (bergaya populer) tergantung menghiasi, termasuk lukisan sang penterjemah naskah (W.S Rendra). Bagi saya yang awam bisa jadi itulah mungkin wajah tuan Martopo. Terpatahkan kesatuannya dengan pilihan lampu hias dan meja telepon yang cendrung klasik kolonial dan kehadiran identitas kursi tamu berbahan rotan dengan gaya anyaman Cirebon. Secara utuh jelas tawaran penokohan dan isu yang dibangun melalui plot cerita dan terjemahannya lewat pemanggungan diolah baik oleh sang sutradara, bahkan gimik pemain dan desain bisnis akting memang sengaja diciptakan sebagi bentuk ciri pemanggungan.
Sanggar Goebok Creative tampil segar dan meruang. Klasik suasana Lombok dan magisnya pedesaan jelas tergambar pada setting yang diciptakan. Bermain dengan pilihan “rapi” sangat dibangun oleh sang sutradara pertunjukan baik dari segi keaktorannya atapun segi pilihan settingnya. Sebuah contoh pertunjukan yang bisa dikatakan istilah ”main aman” pada proses penggarapan dan pementasannya.
Sesi selanjutnya yaitu tawaran pementasan Malam Jahanam oleh Maharani Entertaiment. Kesan tanggapan utama pada pementasan ini adalah bukan pada setting yang dibangun, namun menurut saya adalah pola penterjemahan faktual tokoh pada cerita oleh para aktor dan artisnya. Ini menjadi semacam boomerang bagi sang sutradara apabila kurang bijak dalam proposi peletakkan pembangunan alur serta plot yang diciptakkan. Bahkan sesekali saya dibangku penonton merasakan putus ilusi pada bangunan kenikmatan katarsis coba saya ciptakan lewat tontonan.
Penampilan Jejak Langkah menutup festival teater bergendre realisme pada hari itu. Jejak Langkah hadir dengan pembagian ruang dan pembagian pengadeganan pada tiap ruang dalam satu frame besar tembok ilusi (berkeonsep pementasan auditorium). Awalnya pilihan ini merasa “mengganggu” bagi saya sebagai penikmat tontonan namun lambat laun mulai saya pahami bahwa ruang yang coba diciptakan oleh sanggar Jejak Langkah adalah sebuah rekontrusi naskah atau penyesuaian pada masa yang lebih kini. Diperkuat dengan pernyataan tokoh Jamil dalam tulisan dibuku harian yang dibaca oleh istrinya yaitu tertahun 2011 setahun setelah penempatan mereka disebuah desa untuk bertugas sebagai guru.
Hingga penampilan ke-6 (enam), saya duduk manis di bangku penonton. Penterjemahan secara global tentang apa yang telah disajikan oleh peserta malahan mengarahkan saya kepada sebuah simpulan tentang makna kekuatan dialog, bukan tawaran realisme (teater) pengolahan dialog verbal dan non verbal oleh para aktor dan artis terkesan puitika atau merujuk pada salah satu fungsi bahasa sebagai penterjemahan karakter, identitas dan lain sebaginya. Bahkan tidak hanya itu: hingga setting yang di rancangpun mengalami makna puitika yang kuat. Bukankah, teater realisme adalah sebuah bentuk teater yang pemahamannya dimulakan pada “sesuatu yang tidak boleh diperindah atau diperburuk dari keadaan yang sebenarnya” ??
Pemahaman berikutnya dapat jadi peristiwa puitika ini berdampak karena identitas Riau (pekanbaru) berlatar melayu dengan segudang budaya tutur dan sastra yang kental. Pembacaaan dialog dan verbal gerak menjadi terlalu kaku dan jauh dari realistisnya kenyataan ber-dialog/ berkomunikasi. Kesan logat dengan melagukan dialog atau terjemahan pengindahan konsep setting menjadi sangat global dirasakan. Sebuah fenomena realisme puitika pada festival Anak Pekan 2.0 Tahun 2023 yang memilih gendre realisme festival atau Teater Realisme pada tataran konsep pertunjukannya.