Monolog Wanci dan Fenomena Moralitas Perempuan -->
close
Pojok Seni
29 June 2023, 6/29/2023 03:34:00 PM WIB
Terbaru 2023-06-29T08:34:14Z
teaterUlasan

Monolog Wanci dan Fenomena Moralitas Perempuan

Advertisement
Monolog Wanci oleh Sekolah Teater Indramayu
Monolog Wanci oleh Sekolah Teater Indramayu


Oleh: Euis Karmila*


Lagu-lagu Sunda lawas yang booming pada zamannya diputar lamat-lamat mengiringi Icih Prihatin (diperankan Ratih) yang menjajakan diri di antara tumpukan kardus dan sampah-sampah. Icih masuk dari luar area panggung, mengganggu para lelaki yang menyaksikan penampilannya. Ia sampai ke atas panggung ketika lampu-lampu kemerahan menyirami panggung. Kaca mata hitam, penutup kepala, dan tas kecil di tangannya seakan ikut menjajakan diri. 


Pementasan Monolog bertajuk Wanci karya Imas Sobariah, Sutradara Budi Purnomo dengan aktris Ratih dari Sekolah Teater Indramayu dipentaskan di penutup acara Midang Sore, tanggal 3 Juni 2023 lalu. Dalam acara Midang Sore tersebut, sejumlah seniman dari berbagai daerah menampilkan pertunjukan seni, mulai dari tari, musik, hingga teater di Sanggar Mulya Bakti, Jalan Tambi, Sliyeg, Indramayu, Jawa Barat. Meski waktu pentas Wanci ini kurang tepat, yakni di akhir acara dan penonton sudah mulai berkurang, namun pertunjukan ini tetap menyita perhatian. Sasaran pertunjukan tersebut adalah untuk kaum milenial juga orang tua sebagai parenting, seks education, kegelisahan perempuan, stigma budaya patriarki yang masih mengakar di masyarakat.


Naskah monolog Wanci menceritakan kehidupan seorang Wanita yang bernama Icih Prihatini. Seorang Wanita yang bekerja sebagai Pekerja Seks Komersial (PSK) untuk memenuhi kebutuhan keluarganya. Dalam naskah “Wanci” ini, baik secara ekplisit maupun implisit memiliki nilai kehidupan yang menggambarkan perjalanan manusia, terutama nilai moral yang digambarkan dalam naskah tersebut, membuat penonton bisa memahami pesan yang ada didalammnya secara langsung.


Ratih memberikan warna baru dalam pembawaan naskah monolog Wanci ini. Naskah ini memiliki tingkat kesulitan yang tinggi, sehingga ada yang mengatakan bahwa ketika seorang aktor sudah memerankan ini berarti sudah teruji validitasnya sebagai aktor yang berbobot dengan penguasaan peran yang memiliki tantangan dan keluasan membangun emosional. Selain dari penjiwaan, isu yang dibawa dari naskah ini menjadi bagian penting yang membawa stigma perjuangan sebagai perempuan yang melalui banyak rintangan dalam hidup, traumatik di lingkaran hitam, serta budaya patriarki yang masih melekat pada masyarakat terutama pada era kapitalis saat ini. Harapan-harapan menjadi sosok perempuan yang bisa membimbing keluarganya.


Pembawaan naskah monolog Wanci menjadi central point terkait isu RCTI yang ada di Indramayu. Selain itu Indramayu adalah pensuplai tenaga kerja indonesia (TKI) terbesar di Jawa Barat. Bahkan meningkatnya  suplai Pekerja Migran Indonesia (PMI)  menjadi faktor utama sulitnya menemukan lapangan pekerjaan dan rendahnya Pendidikan. Hal tersebut menyebabkan masyarakat masuk dalam kategori TKI illegal dari sepertiga atau setengah dari 22 ribu orang yang tergabung didalamnya. Maka dari itu, terdapat perubahan UU tentang angka usia perkawinan yang sebelumnya  terdapat dalam UU No. 1 Tahun 1974, usia minimal perkawinan 16 tahun untuk perempuan dan 19 tahun untuk laki-laki. Diamandemen menjadi UU No. 16 Tahun 2019, usia perkawinan minimal 19 tahun baik laki-laki maupun perempuan. 


RCTI (Rangda Cilik Turunan Indramayu) di Indramayu yang belum hilang sepenuhnya menjadi alasan yang kuat untuk monolog Wanci dipertunjukan. Karena stigma RCTI yang mencuat di masyarakat sulit terbantahkan. Oleh karena itu, selama perkawinan dibawah umur masih berlangsung, maka angka perceraian akan semakin tinggi, sehingga stigma RCTI pun tidak akan hilang. Menurut Surtees (2004), menyebutkan bahwa berbagai penelitian perihal prostitusi di berbagai lokalisasi di Jakarta, Indramayu, dan Surabaya, hasilnya menyatakan bahwa para pelacur pada umumnya berasal dari kalangan keluarga miskin dan berpendidikan rendah. Ketika faktornya adalah pendidikan rendah menyebabkan seseorang memiliki penghasilan ekonomi yang sangat terbatas, sehingga hal tersebut memaksa seseorang menjadi pekerja seks. Selain itu faktor perceraian akibat dari pernikahan dini dan psikologis yang belum matang berumah tangga, juga menjadi penyebabnya. Adapun sterotype perempuan yang berpendidikan dianggap menentang kodrat. 


Monolog Wanci oleh Sekolah Teater Indramayu
Ratih, memerankan Icih Prihatini, dalam naskah Wanci karya Imas Sobariah, Sutradara Budi Purnomo


Padahal kodrat perempuan hanya menstruasi, hamil, melahirkan, menyusui, sisanya bisa dikerjakan baik oleh laki-laki maupun perempuan, misalnya dalam hal pekerjaan rumah. Akan tetapi, ada saja  pelacuran non-tradisional yang pada umumnya dilakukan oleh mereka yang background nya social ekonomi menengah ke atas dan pendidikan tinggi di kota-kota besar yang dilakukan oleh para pelajar atau mahasiswa (dalam modus pecun, perek, wanita panggilan), serta mereka yang sudah profesional dibidangnya, selain motif ekonomi, pekerja seks non-tradisional bertujuan hanya sebagai petualangan dan eksperimen, disamping dibayar dengan uang, mereka juga menerima barang-barang branded. 


Perkembangan industrialisasi pada akhir abad ke-18 menyeret kaum perempuan  untuk dijadikan tenaga kerja. Impact dari industrialisasi dan revolusioner menjadikan perempuan yang awalnya terkurung di rumah menjadi bagian langsung dari struktur sosial-ekonomi masyarakat. Begitupun perkembangan mental dan psikologis pada hakikatnya  menjadi sebuah  gerakan menuju kemandirian  pribadi yang lebih besar, kemampuan membuat pilihan, kebebasan pribadi dan rasa tanggung jawab (El Sadawi, 2001:83). Seperti tokoh Icih dalam hal ini, secara tidak langsung menyuarakan rasa tanggung jawab dirinya pada keluarganya dengan melakukan pekerjaan yang dianggap hina dan nista sebagai PSK.


Konsekuensinya, paternalisme moral akan berpendapat bahwa prostitusi dapat merusak moral.  Oleh karena itu, pada tataran struktural keperawanan menjadi standar moral dalam masyarakat yang jarang diterapkan kepada semua orang secara merata hanya kepada perempuan saja.  Beberapa dari masyarakat berpendapat bahwa hal yang mendorong pelacur atau PSK melakukan ini diantaranya berkaitan dengan struktur ekonomi, moralitas seksual dan pengandaian ideologis (patriarkhal), sehingga mempengaruhi pola hubungan produksi, dalam masalah ‘’kependudukan’’ menjadi morbiditas. 


Secara psikologis, Icih mengalami gangguan kecemasan secara tidak sadar mempengaruhi keputusan yang ia ambil.  Hal tersebut berkaitan dengan kata hati yang lahir dari persepsi batin terhadap penolakan impuls yang ada pada dirinya. Karenanya, mungkin kata hati juga berasal dari perasaan ambivalen yang berasal dari hubungan antarmanusia. Mungkin ia berasal dari kondisi-kondisi yang juga berlangsung pada tabu dan neurosis kompulsi, yaitu salah satu dari dua perasaan yang bertentangan itu taksadar, dan ia terus ditekan oleh dominasi kompulsif secara sadar (Freud, 2001: 110-11). Sehingga kegelisahan akan timbul saat seseorang belum  siap dalam menghadapi ancaman, baik dari luar maupun dari dalam. Hal itu membuktikan bahwa seseorang akan mengalami kecemasan dan ketakutan apabila dirinya tidak siap menghadapi ancaman ataupun keadaan yang dianggap akan mengancam kehidupannya. 


Menurut Freud, kecemasan dibagi menjadi tiga bagian di antaranya, kecemasan objektif atau realistis, kecemasan neurotis, dan kecemasan moral. Kecemasan objektif atau realistis adalah kecemasan atau ketakutan yang realistis, atau takut dari bahaya-bahaya luar, sehingga merasa terancam dan memiliki kecenderungan untuk menjadi takut kalau ia berada dekat dengan benda-benda tertentu atau keadaan tertentu dari lingkungannya. 


Kecemasan neurotis memperlihatkan ciri-ciri kepatuhan secara eksplisit sebagi reaksi untuk melawan godaan yang mengintai dari dalam ketaksadaran, sehingga ketika penyakitnya makin parah, ia berkembang menjadi rasa bersalah dalam derajat yang lebih tinggi. Maka dari itu, hasrat mendapatkan tekanan, kemudian libido bertransformasi menjadi kecemasan, tanpa ragu- ragu kami katakan sebagai "fobia suara hati." 


Kecemasan moral adalah rasa takut dan khawatir tokoh yang timbul akibat perasaan bersalah dan berdosa ketika hendak melakukan atau sedang melakukan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma yang ada pada masyarakat.  Kecemasan ini merupakan hasil dari konflik Id dan Super Ego (2018:5-6).


Hal itu mengindikasikan bahwa, supply factors sangat beragam yang bersumber dari dalam diri pekerja seks maupun lingkungannya dan dapat digolongkan menjadi kondisi individual,relational dan struktural. Faktor individual berkaitan  dengan  psiko-sosial-pendidikan pekerja seks antara lain trauma psikologis yang terjadi di masa lalu, kesalahan dalam meresepsi norma-norma dan tujuan hidup, kurangnya  rasa percaya diri, rendahnya pendidikan, dan gangguan seksual (Baker dkk, 2010). Faktor- faktor relasional yang berkaitan dengan lingkungan pertemanan, kegagalan dalam hubungan perkawinan/percintaan, atau konflik dengan keluarga yang dialami oleh pekerja seks. 


Selain itu, Koentjoro (1996) menyebutkan bahwa faktor struktural berkaitan dengan tekanan ekonomi yang ada dalam keluarga, kesulitan untuk mendapatkan pekerjaan yang memadai dan sesuai fashion, lemahnya kedudukan anak perempuan dalam keluarga, atau adanya local wisdom yang membiarkan adanya  pelacuran.  


*Penulis adalah Mahasiswa Pascasarjana ISBI Bandung jurusan Pengkajian Seni


Daftar Pustaka


Baker, L. M., Dalla, R. L., & Williamson, C. (2010). Exiting prostitution: an integrated model. Violence Against Women, 16(5), 579–600

Cahyani, Ratih D., et al. 2018. "Kecemasan Tokoh Icih Prihatini dalam Naskah Drama              Monolog Wanci Karya Imas Sobariah: Analisis Psikologi Sastra." Jurnal Online            Mahasiswa Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Riau, vol. 5, no.        1, pp. 1-13.

El Saadawi, Nawal. 2001. Perempuan Dalam Budaya Patriarki. Pustaka Pelajar (Anggota IKAPI)

Freud, Sigmund. 2001. Totem dan Tabu. Penerbit Jendela

Koentjoro, K. (1996). Prostitusi di Indonesia:Sebuah Analisis Kasus di Jawa. Bulletin Psikologi, IV (2), 43-54

Lim, L.L. (1998). The Sex sector: Theeconomic and social base of prostitution in Southeast Asia. Canberra: Australian National University.

Rudy Gunawan, FX. 2000. Mendobrak Tabu. Penerbit: Galang Press Yogyakarta

Rusyidi, Binahayati., Nurwati, Nunung.2018. Penanganan Pekerja Seks Komersial di          Indonesia. Universitas Padjadjaran, Vol 5, No.3, 303-313


Webologi 


https://www.fokuspantura.com/stigma-rcti-di-indramayu-belum-hilang/

Ads