Advertisement
*Ambrosius M. Loho, M. Fil. (Dosen Filsafat Universitas Katolik De La Salle Manado-Pegiat Filsafat-Budaya-Seni)
Pojok Seni - Seminggu terakhir, dunia sosial media secara khusus di Sulawesi Utara disuguhkan oleh penampilan apik nan mengesankan, oleh Zaitun Voice (Sumber: Tribunnews Manado), sebuah kelompok Masamper seni khas Nusa Utara-Sulawesi Utara, yang mempertontonkan sebuah budaya seni bernyanyi berbalasan, didukung oleh koreografi sederhana yang menunjukkan kekompakan dalam bernyanyi berbalasan itu, di panggung Indonesia’s Got Talent (IGT) 2023. Sekurang-kurangnya dari amatan penulis melalui video dan berbagai pemberitaan yang beredar, mereka membuat para juri terpukau di ajang yang dimaksud.
Sepekan berikutnya, budaya seni dari Utara Sulawesi yakni tepatnya Minahasa, dalam ajang yang sama, Indonesia’s Got Talent (IGT) 2023, juga diikuti oleh kelompok anak muda yang mempertontonkan keahlian mereka memainkan musik khas Minahasa, musik Kolintang. Mereka menamakan diri Grup Kolintang Major 9, dengan berangkat dari 9 sub etnis Minahasa. (Sumber: Berita Manado). Sembilan anak muda ini berada dalam jalur yang berupaya, untuk terus menggaungkan musik kolintang, melalui ajang pencarian bakat di Indonesia. Diketahui Kolintang sejak 2013 diusung oleh para pegiat budaya seni dan pemerhati kolintang yakni Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia untuk mendapatkan pengakuan dari UNESCO, sebagai warisan budaya tak benda (WBTB) dari Indonesia khususnya Minahasa.
Namun demikian, baik Masamper maupun Kolintang telah terdaftar sebagai Kekayaan Intelektual Komunal (KIK) di Kementrian Hukum & HAM Republik Indonesia. Maka secara sah juga, kedua budaya ini telah diakui sebagai warisan intelektual masyarakat Indonesia pada umumnya, dan masyarakat di Sulawesi Utara, baik itu dari Nusa Utara (Sangihe-Sitaro-Talaud), dan Minahasa secara khusus.
Penampilan mereka sedemikian menggugah hati masyarakat yang dibuktikan dengan membagikan video penampilan mereka ke berbagai sosial media. Kendati begitu, menurut perspektif penulis, melampaui penampilan-penampilan yang memukau dari kedua kelompok ini, yang terpenting adalah pertanyaan reflektif, apa makna yang terpenting dari penampilan itu?
Ketika penulis merefleksikan kedalaman arti dan makna tampilnya kedua budaya seni dari Sulawesi Utara ini, fokus utama penulis adalah sebuah pandangan bahwa yang terpenting yang perlu untuk diangkat adalah bahwa budaya seni dari Utara semenanjung Sulawesi, yakni Sangihe, Sitaro dan Talaud, dan Minahasa itu semakin dikenal, populer dan menjadi perbincangan dunia sosial media, yang secara otomatis juga akan dicari tahu bagaimana asal muasalnya, bagaimana budaya itu hidup dan untuk apa budaya itu lahir, tumbuh dan berkembang di Sulawesi utara bahkan di Indonesia, termasuk apa kekayaan budaya seni ini membawa dampak apa bagi kehidupan masyarkat Indonesia.
Maka dari itu, penulis perlu menguraikan poin-poin berikut yang atas cara tertentu, perlu untuk dijadikan pengetahuan entah sebentuk informasi utamanya masyarakat Indonesia dan dunia secara keseluruhan.
Kita semua akan sepakat jika malihat bahwa: Seni adalah sebuah proses yang melatih keterampilan serta aktivitas manusia untuk menyatakan atau mengonsumsikan perasaan atau pula nilai yang dia miliki. Adapun kegiatan yang dimasukan dalam katerori kegiatan seni, adalah folklore (seni bercerita, upacara ritual, seni berpantun, dll.), musik, tarian, drama, lukis, seni pahat, permainan, olahraga, dlsb. Di sinilah dimulainya sebuah kehidupan manusia karena kehidupan di dalamnya terdapat sebuah kebudayaan yang pada akhirnya mensyaratkan adanya hubungan interpersonal dan khususnya komunikasi antarbudaya. (Wiradharma).
Sejalan dengan itu, tampilnya kedua kelompok seni yang memperkenalkan budaya seni dari Sulawesi utara ini, tentu memiliki arti dan makna sebagai sebuah upaya diplomasi budaya Indonesia ke dunia Internasional. Dengan ini maka, semua unsur baik pemerintah, maupun masyarakat pada umumnya, telah turut berperan aktif dalam misi diplomasi budaya ini. Bahkan untuk musik kolintang, upaya pengajuan ke UNESCO sebagai warisan budaya tak benda yang diakui, telah berlangsung sejak 2013. Semua insan kolintang, untuk menyebut Persatuan Insan Kolintang Nasional (PINKAN) Indonesia yang digawangi oleh Ketua Umumnya, Penny Iriana Marsetio, SS., telah terus berjuang untuk misi ini.
Sejalan dengan riset Gunawan Wiradharma berjudul “Misi Kebudayaan sebagai Alat Diplomasi Sastra”, penulis sepakat dengan penegasan berikut: Bahwa secara praktis, kesenian tradisional seperti sastra, musik, dan seni-seni lainnya, sejatinya mengabdi kepada misi kebudayaan yang berfungsi untuk menyosialisasikan investasi pada bidang diplomasi budaya dan membantu pemerintah dalam merancang peraturan dan ketentuan yang melingkupi kehidupan masyarakat dari keberagaman budaya. Selain itu, misi kebudayaan dapat membangun dan menjaga semangat freedom of imagination, expression dan opportunity kepada semua elemen masyarakat pada keberagaman seni budaya sebagai aset terbesar bangsa ini. Maka, dengan adanya misi kebudayaan kita perlu menyadari bahwa hal tersebut dapat mengubah kesadaran dan perilaku masyarakat tentang intellectual property dan perlindungan terhadap warisan budaya. (Wiradharma, tanpa tahun).
Akhirnya penting dan mendesak untuk semua masyarakat menyadari akan pentingnya pemajuan kebudayaan dalam gerak bersama, demikian juga, diplomasi budaya yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, juga menjadi gerak bersama dengan semua masyarakat. Di sisi yang sama, tampilnya kedua kelompok budaya seni dari Sulawesi Utara ini, harus diletakan pada sisi yang lebih penting, bahwa mereka telah bergerak bersama untuk misi pemajuan kebudayaan serta diplomasi budaya yang berkesinambungan. Salam Budaya.