Tubuh Seni Pertunjukan di Era Disrupsi Digital -->
close
Pojok Seni
02 May 2023, 5/02/2023 09:58:00 AM WIB
Terbaru 2023-05-02T02:58:42Z
Ulasan

Tubuh Seni Pertunjukan di Era Disrupsi Digital

Advertisement
Pentas teater spectacle di China
Foto: Pentas Teater Spectacle asal China tahun 2009, mengangkat kisah hubungan manusia dengan robot

Oleh: Ridwan Hasyimi


Tanggal 24 Desember 2022 lalu saya menghadiri sekaligus terlibat dalam festival kesenian Nyiar Lumar. Sejak pertama kali digelar tahun 1998, Nyiar Lumar rutin berlangsung dua tahun sekali di Komplek Situs Lingga Hyang, Astana Gede, Kawali, Ciamis, Jawa Barat. Pernah sekali absen, tahun 2020, karena pandemi.


Meski sudah sekian kali hadir dan terlibat, selalu saja ada pengalaman baru. Baru kemarin pertama kali saya ber-Nyiar Lumar bersama anak dan isteri saya, lengkap. Baru kali pertama juga saya memasang tenda dan tidur di sana sampai pagi hari. Baru kali kemarin juga saya terlibat sebagai performer yang membuka Lalampahan dengan “mandi”. 


Ada pula perasaan baru yang aneh, yang baru saya temukan di Nyiar Lumar kemarin. Tak biasanya orang-orang bubar padahal Ronggeng Gunung masing berlangsung. Kemarin, Nyai Ronggeng sampai harus mengonfirmasi ke  panitia apakah akan terus lanjut atau selesai, padahal jam masih menunjukan tiga dini hari, waktu yang lumrah di Nyiar Lumar untuk menari mengelilingi api unggun. Agak mengagetkan sebab mulanya penonton sangat padat. Kemudian sebagian besarnya pergi di waktu yang terlalu dini untuk pergi. Tak biasa.


Sampai siang hari saat saya dan keluarga masih di sana, baru kebaruan-kebaruan itu yang mampu saya rasakan. Sore hari, ketika saya berbincang dengan Deri Hudaya—seorang dosen, sastrawan, petani, tuan tanah, dan penduduk dunia meta—barulah saya terpikir hal lain tentang Nyiar Lumar.


Bukan. Ini sesungguhnya bukan kebaruan yang baru. Hal baru yang terpikir itu sebetulnya hal yang melekat pada Nyiar Lumar sejak lama. Hanya saja, pada konteks hari ini saat semua kehidupan mengalami disrupsi digital, hal itu menjadi sesuatu yang berbeda.


Di suatu kafe di Kota Tasikmalaya, Deri bicara panjang lebar mengenai kesibukannya belakang ini dan masa depan dunia. Menurut Deri yang mendaku sedang mendalami dunia digital, kehidupan di alam realitas tidak akan lagi berlangsung lama. Pasalnya, segala kemajuan peradaban manusia di dunia fisik harus dibayar mahal dengan rusaknya alam. Lahan tempat dibangunnya gedung-gedung lambat laun akan penuh dan habis. Kertas-kertas medium ilmu pengetahuan itu menggunduli sekian hektar hutan. Dan sebagainya. Dan sebagainya. Intinya, ada wacana ekologi dibalik gencarnya kampanye dan pengembangan dunia digital. 


Kian kemari alam kian rapuh karena ulah manusia dan kehidupan tidak bisa dijalankan dengan cara seperti ini terus menerus. Harus ada solusi demi kelangsungan peradaban manusia. Menurut Deri yang mengutip pendapat para ahli yang disimaknya, metaverse solusinya. Di sana, di dunia baru itu, tidak ada lagi emisi karbon akibat kendaraan berbahan bakar fosil, pemanasan global, kertas yang merusak hutan, dan lain sebagainya. Energi yang dieksploitasi hanya listrik dan itu  pun renewable resource. 


Kendati berpihak pada keniscayaan metaverse, lelaki penyendiri itu tidak menampik “back to nature” sebagai alternatif. Ketika sebagian besar umat manusia berbondong-bondong bertransformasi menjadi avatar dan bermigrasi ke dunia digital, sebagian lain—yang barangkali jumlahnya sangat sedikit—memilih hidup dengan gaya lama, tanpa teknologi. Bahkan mungkin juga tanpa uang.


 Tapi, ia akui tidak mudah hidup seperti urang Kanékés atau yang tenar disebut Suku Baduy di Banten di zaman kini. Sama seperti tidak mudahnya mempertahankan Nyiar Lumar dengan segala “kepurbaannya” di tengah gempuran kemajuan teknologi dan ekosistem digital. 


Lantas, bagaimana nasib kesenian? Apakah Nyiar Lumar yang teguh digelar tanpa listrik itu harus hijrah juga ke dunia metaverse?


Sejak beberapa tahun belakangan, khususnya sejak gencarnya pengembangan Artificial Intelligence (AI), dunia kesenian termasuk salah satu yang turut serta mengembangkan dan menguji coba. AI bisa membuat komposisi musik sama indahnya dengan yang ditemukan seorang komposer berdaging. AI bisa membuat cerita drama, novel, cerpen, dan puisi berdasarkan pengolahan sekian juta data karya sastra yang diunggah sastrawan sendiri atau mereka yang mengaku pecinta sastra ke internet. AI bisa membuat lukisan sebab data visual begitu bertebaran di dunia maya. AI bisa menciptakan plan floor/pola lantai untuk sebuah pertunjukan teater dan tari dengan algoritma yang dibenamkan padanya. Apa kesenian tidak lagi perlu manusia?


Dalam pemahaman umum, seni adalah ekspresi manusia atau respon manusia atas segala hal yang tiba dan muncul pada dirinya, internal maupun eksternal. Seni berpijak pada dimensi fisik dan nonfisik. Dimensi non fisik seni dapat berupa kehendak untuk menciptakan seni, kerja kreatif imajinasi, dan cita rasa seni yang relatif sebab terikat pada kultur yang berbeda-beda. 


Pada dimensi fisik, segala yang non fisik terkait seni diwujudnyatakan menjadi karya seni. Karya seni adalah penghadiran ulang (representasi) dari gagasan atau ide tentang seni sekaligus presensi dalam konteks karya seni sebagai objek yang meruang dan mewaktu. Gagasan seni tidak mungkin menjadi karya seni tanpa medium sebab gagasan atau ide adalah hal abstrak yang tak berwujud. Sementara, karya seni adalah hal konkret yang berwujud. Untuk mentransformasikan sesuatu yang abstrak menjadi konkret perlu medium. Hal ihwal medium inilah yang kemudian membagi seni menjadi (sekurang-kurangnya)  genre musik, rupa, sastra, teater, tari, dan film.


Rupa adalah seni yang menggunakan aspek visual sebagai medium dasar dan utamanya. Musik menggunakan bunyi, sastra menggunakan bahasa (lisan dan tulisan), teater menggunakan laku, tari menggunakan gerak, dan film menggunakan gambar bergerak.  


Musik membasiskan diri pada bunyi. Sumbernya bisa berasal dari non tubuh atau tubuh manusia. Tubuh manusia dalam konteks ini adalah tubuh yang memiliki aspek arti biologis dan fisiologis: tubuh darah-tulang-daging. Pada praktiknya musik berkembang sedemikian rupa sehingga menghasilkan banyak instrumen penghasil bunyi di seluruh dunia. Suara (yang berasal dari tubuh) manusia (voice) statusnya adalah salah satu instrumen dan medium musik di antara jutaan pilihan. Artinya, tubuh manusia bukan suatu yang tak tergantikan sebagai sumber bunyi.


Pada seni rupa, status tubuh manusia bisa menjadi alat, medium, dan inspirasi karya. Kendati demikian, sama seperti pada musik, tubuh manusia bukan suatu yang sangat vital sampai-sampai tak tergantikan. AI zaman kini bisa membuat “lukisan” hanya dalam beberapa menit. Bahkan “ia” bisa diperintah untuk membuat lukisan bergaya/beraliran tertentu. 


Sastra menggunakan bahasa sebagai mediumnya. Pada sastra lisan, tubuh manusia adalah basis utama. Tetapi, dalam bahasa tulisan, tubuh mulai berkurang porsinya. Bahasa (baca: seni sastra) jadi membutuhkan aksara dan instrumen untuk menghadirkan-ulang sekaligus menghadirkan dirinya: pensil, kapur, kertas, mesin tik, komputer, printer, dan sebagainya. Pada sastra tulisan, tubuh manusia bukan lagi sebagai pelaku utama. 


Film sebagai genre seni yang lahir belakangan justru masih punya ketergantungan besar pada tubuh manusia. Perlu ada peristiwa yang direkam dan pelaku peristiwa itu adalah tubuh manusia kecuali film kartun dan animasi. Dua jenis film yang belakangan disebut statusnya ragam pilihan namun bukan arus utama. Hingga saat ini film masih memerlukan tubuh manusia sebagai pelaku peristiwa. Kendati demikian, status tubuh manusia bukan yang utama sebab film adalah gambar bergerak (motion picture), bukan gerakan tubuh manusia. 


Lain dengan film apalagi genre seni yang disebutkan lebih dulu, bagi tari dan teater tubuh manusia yang berdarah-tulang-daging ini adalah medium sekaligus instrumen dasar dan utama dan tak tergantikan. 


Sepesat apapun kemajuan dunia teknologi tahun 2023 ini, tari masih dirayakan dengan tubuh manusia yang berdarah, bertulang, dan berdaging. Tubuh bukan sekadar medium karena ia melahirkan gerak, melainkan tubuh adalah identitas tari itu sendiri yang tak tergantikan. 


Sebelas dua belas dengan tari, teater juga menempatkan tubuh manusia sebagai basis utama. Seorang maestro teater, Arifin C. Noer dengan tegas menyatakan bahwa sutradara boleh mati tapi aktor tidak. Artinya, manusia yang lantas disebut aktor itu adalah jantung teater itu sendiri. Aktor bukan sekadar artikulator gagasan sutradara atau penulis naskah, melainkan kreator itu sendiri. Dengan tubuh darah-tulang-dagingnya ia menjadikan laku dirinya dan dirinya sendiri, tentu saja, sebagai karya seni itu sendiri. Aktor dan teater secara umum tidak bisa tidak pasti sebelah kakinya berpijak pada dimensi fisik, sementara satu kakinya ada di dunia metafisik (ide, imajinasi, jiwa). Aktor adalah manusia dengan segala kompleksitas lahiriah dan batiniahnya.


Pada teater memang ada genre teater objek yang justru menempatkan objek (non tubuh) sebagai “aktor utama”. Bahkan mungkin saja ada pertunjukan teater objek yang sepenuhnya kerja-kerja mekanik mesin di panggung. Namun, itu hanya satu genre saja. Sementara, sebagian besar masih menjadikan tubuh manusia sebagai basis utama. 


Porsi tubuh manusia baik sebagai medium maupun instrumen dalam musik, seni rupa, dan sastra, cukup bahkan sangat besar. Dengan melesatnya perkembangan dunia digital, kecerdasan buatan, dan teknologi, segala yang bersifat non tubuh manusia, termasuk medium dan instrumen seni, telah, sedang, dan akan diambil alih oleh “mereka”.


Bahasa program disusun sedemikian rupa menjadi algoritma canggih yang bahkan memiliki kemampuan untuk mempelajari hal baru. User (pengguna) tidak lagi harus memperbaharui data atau kemampuan si AI sebab ia telah mampu melakukannya sendiri sejauh terkoneksi dengan internet. Ia mampu mengolah data berupa bunyi menjadi komposisi musik; warna, garis, dan bentuk menjadi lukisan atau desain produk; kata-kata menjadi puisi; gambar bergerak menjadi film-film baru.


Sejauh ini, hanya teater dan tari yang belum mampu diciptakan AI secara utuh. Bisa saja ia menciptakan naskah drama; membuat floor plan/pola lantai; desain artistik, kostum, rias, tata cahaya, poster, booklet, kaos produksi; rencana keuangan; mengambil alih tugas sutradara, perancang artistik, dan pimpinan produksi lainnya. Namun, AI tidak akan bisa mengambil alih tugas aktor/penari. AI tidak memiliki dimensi darah-tulang-daging sebagaimana aktor/penari.


AI bisa saja menganalisa sebuah peran dengan sangat akurat dan komprehensif lebih dari yang mampu dilakukan aktor paling rajin dan cerdas sekalipun, tetapi ia tidak akan pernah bisa memerankannya.  


Pada titik ini AI tidak bisa mempresentasikan sebuah karya seni teater atau tari. Tidak bisa dan jangan pernah sampai bisa atau seni pertunjukan akan tamat sebab tanpa tubuh berdarah-bertulang-berdaging, seni pertunjukan bukankan kesenian. 


Tasikmalaya, Januari-Mei 2023


Baca Tulisan lain dari Ridwan Hasyimi di Pranala ini: Kumpulan Tulisan Ridwan Hasyimi

Ads