Advertisement
PojokSeni - Bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat jasa pahlawan-pahlawannya. Setidaknya itu narasi yang diperdengarkan pada warga Indonesia sejak usia belia. Tapi menurut Sanento Juliman, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat warganya, yang merupakan orang-orang biasa saja. Karena konsep kepahlawanan, menurutnya adalah konsep teatral. Pahlawan pun, juga tokoh teatral.
Lewat esai terkenalnya berjudul Dalam Bayangan Sang Pahlawan (terbit tahun 1968), almarhum Sanento Juliman yang merupakan budayawan dan pengajar di jurusan Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB), berargumen bahwa pahlawan adalah penanda masa silam yang agung, dramatis, dan romantis.
Sebagai tokoh penggerak cerita, maka pahlawan mesti diletakkan di posisi yang agung, cukup fiktif sekaligus meyakinkan, dan tentunya dramatis. Penangkapan Diponegoro, cukup dramatis, begitu juga perang Tuanku Imam Bonjol sebagai kaum Paderi dengan kaum adat di Sumatera Barat juga cukup dramatis. Namun, syarat kepahlawanan yang cukup mutlak adalah, kematian. Tanpa kematian, seseorang tidak akan menjadi pahlawan.
Sebagaimanapun represifnya era Orde Baru misalnya, namun ketika mantan Presiden RI kedua, Soeharto, meninggal dunia, maka ia otomatis memenuhi syarat untuk menjadi pahlawan; agung, dramatis, perkasa, melambangkan keberanian, dan kekuatan. Maka pahlawan, akan sangat erat hubungannya dengan dua hal; perang dan kematian.
Bagaimana dengan guru, orang-orang bijak, pemikir, filsuf, dan sebagainya yang tidak mencerminkan syarat tokoh teatral tadi? Sanento Juliman memberi contoh satu nama, Mahatma Gandhi. Mahatma Gandhi tidak mencerminkan kekuatan, tidak menggunakan kostum kebesaran, juga memberi kesan "lemah" dengan tubuh yang kurus kerontang, bungkuk, berkacamata, sekaligus "ompong".
Faktanya, ia masuk ke jalur lain, "seorang maha", bukan pahlawan. Ia pertapa, seorang yang suci, dan seorang yang kudus, seorang yang cerdas, dan guru bangsa. Tapi tidak "di-pahlawan-kan". Pahlawan itu "superhero". Kekuatan, otot, keberanian, dan keagungan adalah syarat mutlak. Maka guru, pemikir, orang bijak, filsuf, tadi kalaupun dikategorikan sebagai pahlawan, maka mereka akan disebut "pahlawan tanpa tanda jasa". Itu sama sekali berbeda dengan "pahlawan" yang dimaksud oleh Sanento Juliman.
Pahlawan adalah tubuh yang besar, mengakomodir jumlah massa yang berteriak mengelu-elukan namanya dari bawah mimbarnya. Wajah penuh amarah, mulut terbuka berteriak, itu adalah template keagungan yang dimaksud. Tubuh yang besar, penuh kemuliaan, dan itulah "peran" yang sedang dilakukan seorang pahlawan. Apa yang dilihat di atas panggung, menurut Sanento Juliman, adalah perannya. Perannya yang bergerak dan berkata-kata di atas panggung.
Maka konsep membesar-besarkan pahlawan, adalah konsep men-teater-kan negeri ini. Nama-nama seperti Hercules, Superman, sampai Wiro Sableng, juga muncul sebagai pahlawan, sebagaimana pahlawan-pahlawan yang tercetak di mata uang, dalam tubuh dan pikiran generasi berikutnya.
Tapi, apa tujuan dari konsep "kepahlawanan" ini? Apa motifnya?
To be free from freedom
Seorang pahlawan, tidak memiliki kebebasan personal. Ia tidak perlu punya cita-cita, tidak mementingkan pekerjaan, pendidikan, bahkan keluarga dan orang-orang terdekat. Semuanya, bukan hal yang bisa memberi makna juga harga kepahlawanan. Pahlawan harus bebas dari kebebasan (to be free from freedom). Ia mesti berjuang dalam satu gelombang massa yang punya fanatisme yang sama. Ia punya beban sebagai seorang yang mengorbankan dirinya, nyawanya, juga hal-hal yang "tidak memiliki harga kepahlawanan".
Konsep ini yang memaksa generasi penerus mesti melanjutkan obor perjuangan, mengorbankan bahkan membuang diri sendiri untuk kepentingan yang jauh lebih luas dalam perspektif fanatisme tertentu. Boleh menghancurkan siapapun yang berlawanan dengan ideologi mereka, atau siapapun yang "salah" atau "antagonis" dalam perspektif mereka.
Seorang yang memandang rendah ideologi mereka, boleh untuk dicacimaki, dikirim ke penjara hingga tiang gantungan, sampai disiksa bahkan dibunuh. Gerakan massa dalam satu fanatisme yang sama ini akan kompak membela. Tapi, itu tidak berlaku untuk organisasi massa yang menghasilkan cendikiawan, seniman, atlet, pekerja profesional, dan pemikir. Organisasi ini, kata Sanento, tidak memproduksi pahlawan. Mereka mungkin memproduksi "pahlawan" dalam jalur yang berbeda.
Bersambung ke bagian II