Konspirasi Seni: Bagaimana Menjadikan Harga Karya Seni Jadi Fantastis? -->
close
Adhyra Irianto
20 May 2023, 5/20/2023 01:00:00 PM WIB
Terbaru 2023-05-20T06:01:45Z
ArtikelBeritaUlasan

Konspirasi Seni: Bagaimana Menjadikan Harga Karya Seni Jadi Fantastis?

Advertisement
Konspirasi seni


Pojok Seni - Beberapa tahun terakhir, seorang seniman bernama Maurizo Catelan membuat sebuah karya instalasi berjudul Comedian. Karya itu berupa sebuah pisang yang diplester dengan lakban hitam dan terjual seharga miliaran rupiah. Kenapa bisa ada sebuah benda non estetis seperti pisang dan lakban yang kemudian menjadi sebuah karya seni dan terjual begitu mahal? Tentu saja, hal ini banyak menimbulkan pro dan kontra di mata para seniman lainnya. Seorang seniman lain bahkan datang ke galeri dan memakan pisang tersebut, serta menyebut apa yang ia lakukan sebagai karya seni pertunjukan berjudul "Seniman Kelaparan", sebagai bentuk kritiknya pada pelabelan karya seni pada pisang yang diplester tersebut.


Kotak Brillo karya Andy Warhol

Bila ditelusuri ke belakang, akan muncul nama Andy Warhol yang membuat kardus (box) dan diberi nama Brillo pada tahun 1968. Kardus Brillo ini kembali menjadi bahan pembicaraan di abad ke-21, ketika ada oknum yang memperbanyak box Brillo dengan printing dan menjualnya tanpa izin resmi dari ahli waris Andy Warhol. Hal tersebut wajar saja, mengingat kardus tersebut sangat mudah diperbanyak dan diproduksi ulang. Dengan teknologi di era post-modern ini, maka produksi tersebut bisa jauh lebih cepat, dan kardus milik Andy Warhol bisa diperbanyak dan dijual dalam jumlah masif. Hasilnya, tidak bisa ditelusuri mana kardus yang asli dan mana yang palsu. Perlu diingat, bahwa harga kardus tersebut adalah ratusan juta per box.


Trans-Estetika Jean Baudrillard


Diskursus tentang kardus Andy Warhol dan pisang Maurizo Catelan tersebut mengantarkan kita terminologi trans-estetika yang diistilahkan oleh Jean Baudrillard (1929-2007). Trans-estetika adalah istilah yang digunakan Jean Baudrillard untuk menyebut proses transformasi sebuah benda non-estetis menjadi benda estetis lewat berbagai "konspirasi". Hal tersebut dinyatakannya dalam sebuah artikel berbahasa Prancis berjudul "Konspirasi di Seni". Konspirasi seperti apa yang dimaksud oleh Jean Baudrillard?


Perkembangan seni menurut Jean Baudrillard, berkembang dengan sangat pesat hingga abad ke-20, bahkan terlalu pesat. Hal itu menjadikan perkembangan seni kontemporer dari era 1970-an hingga hari ini hanya berisi "hangover", tanpa kebaruan. Tidak hanya tanpa kebaruan, tapi sekaligus tanpa kedalaman. Dua nama yang paling digaris bawahi oleh Baudrillard adalah Marcel Duchamp dan Andy Warhol. Dua nama ini menjadikan barang-barang yang sudah ada, hingga barang ready-made, namun dimasukkan dalam kategori estetis. Box kardus yang dibuat Andy Warhol adalah puncak dari "kekonyolan" tersebut, menurut Baudrillard.


Jean Baudrillard
Jean Baudrillard


Proses menjadikan barang-barang non estetis yang ditransformasikan menjadi benda estetis inilah yang disebut trans-estetika. Proses trans-estetika ini menjadikan "seni" sebagai sebuah hal yang mubazir. Logika yang digunakan Baudrillard adalah, apabila semua "hal" bisa disebut karya seni, maka semua "hal" juga bisa disebut bukan karya seni. Bila kardus karya Andy Warhol adalah karya seni, maka kardus mie instan atau lainnya yang sudah tidak digunakan lagi dan bertumpuk di belakang minimarket, juga sebuah karya seni. Bila kardus mie instan tersebut bukan karya seni, maka seharusnya kardus karya Andy Warhol juga bukan karya seni.


Kacamata dan Nanas sebagai Sebuah karya Seni


Sebagai bukti dari pernyataan Baudrillard, ada dua kejadian unik terjadi di tahun 2016 di Amerika, dan tahun 2017 di Skotlandia. Berikut pemaparan dari dua kejadian unik tersebut.


Kacamata di San Francisco Museum of Modern Art


konspirasi seni
Kacamata milik TJ Khayatan diletakkan di sudut galeri dan dianggap oleh para pengunjung sebagai sebuah karya seni.


Kejadian pertama di Amerika, terjadi ketika dua orang pemuda di San Francisco yakni Kavin Nguyen (16) dan TJ Khayatan (17) bingung melihat pameran karya seni di San Francisco Museum of Modern Art di tahun 2016. Salah satu karya yang dipamerkan adalah dua boneka binatang di atas selimut. Para pengunjung bicara tentang filosofi setiap karya, sedangkan mereka bingung apakah ini benar-benar karya seni?


Karena penasaran, dua pemuda itu meletakkan kacamata mereka di sudut San Franscisco Museum of Modern Art. Hasilnya, “karya seni” itu jadi perhatian banyak orang. Kejadian itu dibagikan oleh dua pemuda ini di media sosial miliknya, memicu banyak respon dari publik.


Salah satu karya yang dipertanyakan oleh TJ Khayatan dan Kavin Nguyen adalah Dua Boneka di Atas Selimut

Keduanya mengatakan, sangat mudah untuk menjadi seniman di zaman sekarang. Asalkan punya akses masuk ke galeri, serta mendapatkan akses untuk memamerkan karya, maka karya Anda akan menjadi sebuah karya seni monumental.


Padahal, dua orang ini hanya meletakkan kacamatanya di sudut galeri tersebut.


Nanas di Galeri Robert Gordon University Aberdeen Scotland


konspirasi seni
Nanas yang ditinggalkan oleh Ruary Gray dan Llyod Jack dikira sebagai sebuah karya seni oleh panitia dan diletakkan di lemari pajang.

Tahun 2017 di Robert Gordon University di kota Aberdeen, Skotlandia. Dua orang mahasiswa setempat bernama Ruari Gray dan Llyod Jack membeli sebuah nanas di supermarket dan kembali ke kampus untuk menanam nanas tersebut. Kebetulan sekali, ada pameran karya seni di kampus mereka, dan mereka masuk untuk menontonnya. 


Nanas yang dibeli tadi terbawa ikut masuk, dan mereka letakkan di atas meja pajangan yang kosong dalam galeri tersebut. Entah mereka sengaja entah tidak, tapi mereka kemudian lupa dengan nanasnya. Dua hari berselang, mereka kembali ke galeri untuk mengambil nanas yang tertinggal, dan baru sadar bahwa nanas tersebut sudah berada di kotak kaca, berjejer dengan karya-karya seni lainnya yang "bernilai tinggi".

 

Kedua pemuda ini menceritakan apa yang terjadi pada media massa Mirror. Tentu saja, kejadian tersebut membuat dosen-dosen seni, kurator, kritikus, dan sebagainya di Skotlandia mendapat sorotan tajam dari publik.


Penyebab Trans-estetika


Kondisi yang terjadi di 2016 dan 2017, bila ditarik ke belakang sebenarnya memiliki latar belakang yang sama dengan kondisi era 1970-an dalam pandangan Baudrillard. Hal ini, menurut Baudrillard menjadikan batas antara seni – bukan seni menjadi sangat abstrak, dan membahayakan ekosistem seni, termasuk industri seni itu sendiri. Pihak yang dirugikan tentunya semua yang berada di dalam lingkungan atau ekosistem seni, mulai dari seniman, kritikus, akademisi seni, sampai pemilik galeri dan seterusnya.


Andy Warhol bersama Duchamp mentransformasi “benda biasa” baik alamiah, bahan mentah, maupun yang sudah ready-made menjadi karya seni. Akibatnya, perbedaan karya seni dengan bukan karya seni menjadi “mubazir”. Ilmu pengetahuan seni dianggap hal yang juga mubazir. 


Kejadian di dua galeri yang diceritakan di awal tadi, adalah contoh nyata dampak buruk dari trans-estetika pada ekosistem seni. Dampaknya: Estetika sebagai disiplin ilmu independent menjadi tidak berguna bagi masyarakat pascamodern. Pengalaman estetis bagi masyarakat modern adalah pengalaman yang didapatkan setiap hari, termasuk “bernafas” sekalipun. Apabila hal ini terus berlanjut, maka baik seniman, sarjana seni, akademisi seni, sekolah/kampus seni akan semakin kehilangan kepercayaan dari masyarakat luas.


Konspirasi Menjadikan Karya Seni Harga Fantastis


Sekarang, kenapa juga barang-barang "seni" tadi bisa memiliki harga yang fantastis? Pisang milik Catelan dijual seharga Rp1,8 miliar, dan box Andy Warhol terjual seharga ratusan juta per box? Baudrillard dengan tegas menyatakan, hal itu bisa terjadi karena sebuah "konspirasi".


Konspirasi ini melibatkan pihak yang jauh lebih banyak. Mulai dari akademisi, kritikus, institusi, pemerintah, pemilik galeri, kurator, media massa, hingga seniman itu sendiri. Harga dari karya seni tersebut bisa "dilipatgandakan" dengan harga yang sangat fantastis disebabkan "fungsi kultural-simbolik" dari karya seni itu sendiri.


Dalam perspektif ekonomi, ada dua hal yang memengaruhi harga barang. Pertama, nilai guna. Kedua, nilai tukar. 


Nilai guna berkaitan dengan seberapa butuh masyarakat dengan hal yang dimaksud. Bila petani, maka ia akan membeli sebuah cangkul karena membutuhkannya. Dengan kata lain, nilai guna adalah derajat kegunaan komditas bagi (calon) konsumen.


Nilai tukar berkaitan dengan berapa nilai dari barang tersebut berdasarkan bahan, waktu pembuatan, skill yang diperlukan, dan sebagainya. Dengan kata lain, nilai tukar adalah rasio pertukaran dari sebuah komoditas dengan komoditas lainnya.


Sayangnya, karya seni tidak didasarkan dari dua hal tersebut. Nilai dari sebuah karya seni ditentukan dari dua hal, yakni nilai tanda dan nilai simbolik.


Nilai tanda terkait dengan "brand", status, dan siapa di balik sebuah "produk" itu. Tisu biasa hanya dijual seharga Rp15 ribu per kotak, namun tisu dengan merek terkenal akan dijual seharga Rp25 ribu - Rp30 ribu per kotak. Lalu, tisu yang "bekas" digunakan Lionel Messi dijual seharga miliaran. Hal itu menunjukkan bahwa nilai tanda merupakan status dari sebuah produk/komoditas, yang membedakannya dengan komoditas serupa.


Nilai simbolik terkait dengan status produk tersebut, dalam kemampuannya mengubah perspektif sosio-kultural. Bila seseorang menggunakan laptop bermerek A, maka ia akan dianggap sebagai masyarakat menengah ke atas. Seseorang membeli sepeda motor merek tertentu, dengan harga sangat mahal, namun berdampak pada perspektif lingkungan sekitarnya memandang status sosialnya. Maka bisa diartikan bahwa nilai simbolik merupakan status komoditas tertentu dalam perspektif sosial dan budaya.


Dua "nilai" terakhir inilah yang akan memengaruhi harga sebuah karya seni. Karya seni tidak dipengaruhi oleh "nilai guna", karena sejak awal sifat dari karya seni itu sendiri tidak memiliki nilai fungsi. Bahkan, mekanisme sistem budgeting di era post-modern ini juga sudah tidak terkait lagi dengan "nilai tukar" dan "nilai guna". Hal itu yang menjadikan pembelian sebuah karya seni hari ini, bukan karena seseorang "membutuhkan", tapi terkait dengan prestise, status sosial, identitas, dan kehormatan seseorang.


Hal inilah yang sangat berpengaruh pada harga karya seni. Ketiadaan pengaruh nilai tukar dan nilai guna, menjadikan "konspirasi" tertentu bisa melonjakkan harga karya seni dengan sangat fantastis. Di sisi lain, penilaian pra-pembelian terhadap suatu karya seni juga menjadikan harga karya seni menjadi begitu fantastis.


Apa yang membuat lukisan abstrak karya Wilem de Kooning berjudul Interchange memiliki seharga Rp4,2 Triliun.


Kita bisa menjawab: teknik lukisan, pelukisnya ternama, atau dari segi estetikanya.


Namun, jawaban paling pertama adalah: calon konsumen sudah menilai lukisan sebagai benda yang punya derajat lebih tinggi dari karya kerajinan. Ini berarti, semua komoditas niscaya dikonstitusikan secara semiotik


Lukisan salvator Mundi dibeli oleh putra mahkota Arab Saudi
Lukisan Salvator Mundi karya Da Vinci dibeli oleh putra mahkota Arab Saudi seharga Rp6,7 Triliun

Putra Mahkota Mohammed bin Salman (MBS) menjadi sosok yang membeli lukisan berjudul Salvator Mundi karya Da Vinci dengan harga $450 juta atau sekitar Rp6,4 Triliun di tahun 2017.


Pembelian ini menjadikan lukisan Salvator Mundi sebagai lukisan termahal di dunia. 


Sisi lainnya, MBS diyakini sebagai salah satu orang kaya termuda di dunia saat ini. Dan, Arab Saudi bisa menjadi lebih baik hubungan bilateral dengan Amerika Serikat, karena sudah dianggap menjalankan “liberalism”.


Dengan kata lain, Rp6,4 Triliun menjadi sangat mahal bila hanya ditasbihkan sebagai harga sebuah lukisan. Tapi, uang segitu menjadi cukup murah untuk membeli sebuah status sebagai orang paling terkemuka di dunia, serta membeli hubungan kerja sama dengan negara terkuat di dunia.


Minusnya, sebuah "makna" dalam karya seni tereduksi menjadi citra (Jean Baudrillard juga menerangkan tentang teori simulakra yang akan kita bahas detail di artikel lainnya). 

Dalam buku ini, Baudrillard menjabarkan asal mula kebutuhan

Kebutuhan manusia juga bersifat arbitrer. Sehingga watak arbitrer menjadikan nilai dari suatu komoditas tidak alamiah. Perlu dikonstruksi lewat mekanisme penandaan (terutama untuk menopang status sosial).


Minus point berikutnya adalah adanya reduksi nilai “makna” dari suatu komoditas terhadap suatu fenomena. Misalnya, Che Guavara adalah seorang ikon perlawanan. Maka, calon konsumen yang “ingin tampak sebagai sosok yang melawan” akan berminat membeli kaos bergambar Che Guavara.


Atau, Dewa 19 adalah ikon band industri dengan target pasar “menengah ke atas”. Maka, calon konsumen yang ingin tampak sebagai seorang penggemar musik dengan tingkat social menengah ke atas, akan berminat untuk membeli kaos bergambar Dewa 19. Perlawanan, dan sense of music, dalam dua kasus di atas, direduksi jadi “citra”


Tawaran Jean Baudrillard


Seniman mesti mengembalikan seni sebagai logika sensasi, atau intuisi yang terencana. Pertimbangkan modus wacana dalam karya, dan membebaskan diri dari belenggu konsepsi tertentu, dan menunjukkan pada dunia sifat pra-individualisasi seni, alih-alih sebagai “hal berfungsi”, atau "produk industri".


Sedangkan akademisi, pengkaji, kurator, kritikus, dan sebagainya, menurut Baudrillard, mesti mendefinisikan ulang ukuran kualitas artistik dan estetik setiap karya seni di era kontemporer dengan mengkaji nilai ekonomi dan sosio-politik dari suatu karya seni, yang didukung (dikawinkan) dengan semiotika. Seniman mestinya tidak memikirkan hal ini.

Ads