Advertisement
Seorang influencer media sosial bernama Hasanudin Abdurakhman menulis tentang pembicaraan tentang budaya yang selalu terhenti pada soal seni budaya. Padahal, pondasi budaya adalah akal budi. Sebab, kata budaya itu berasal dari buddhayah yang berarti akal budi (bentuk jamak dari buddhi).
Apa yang dilakukan oleh suatu kelompok masyarakat, itu adalah budaya. Hasanudin Abdurakhman yang menyebut dirinya "buayawan" itu menulis dalam artikel di status Facebook-nya. Secara gamblang ia menyebut para budayawan tidak punya gagasan untuk mengubah perilaku ratusan atau ribuan manusia dalam bentuk gerakan budaya.
Sebagaimana yang kita ketahui, gerakan budaya secara masif terbukti mampu memberikan perubahan signifikan. Misalnya, gerakan avant-garde yang digagas sejumlah kelompok intelektual, seniman, arsitek, dan sejumlah kelompok masyarakat mampu membuka mata banyak orang untuk menentang nilai-nilai budaya yang sudah ada saat itu. Meski tetap dilakukan dengan pendekatan artistik, namun gerakan ini merangkul setiap masalah sosial yang timbul pasca perang. Karena itu, ide-ide perubahan menjadi hal yang umum, mengubah mindset masyarakat Eropa yang depresi pasca perang, dan kembali membangun dirinya sendiri.
Maka sebenarnya, membicarakan budaya, bahkan sampai didukung UU Pemajuan Kebudayaan, semestinya membicarakan tentang pola pikir, mengubah mindset, dan perilaku harian.
"Bukan Budaya Kita"
Masih sangat teringat ketika tanggal 14 Februari, ada banyak muda-mudi yang merayakan hari kasih sayang (Valentine's day). Maka, komentar atau respon yang paling banyak muncul adalah "Valentine bukan budaya kita". Situasi yang sama ketika ada sekolah yang menggelar Bunkasai (festival budaya Jepang), atau festival kuliner asal luar Indonesia. Jawabannya akan sama, "itu bukan budaya kita".
Namun, faktanya apa yang menjadi budaya kita? Menerobos lampu merah? Menyerobot antrian? Budaya membaca yang sangat rendah? Rendahnya sikap kritis? Buang sampah sembarangan? Selalu terlambat? Mana yang jadi budaya kita?
Dan menariknya, hal tersebut memang tidak pernah dibicarakan oleh para budayawan. Budawayan adalah orang-orang yang membicarakan seni tradisi, pakaian daerah, musik daerah, bentuk rumah daerah tertentu, sejarah daerah, dan setipenya. Apakah ada yang membicarakan bagaimana mengubah pola pikir? Tidak ada.
Hasanudin Abdurakhman bukan orang pertama yang mengkritisi "gagalnya" para budayawan negeri ini. Tahun 2017, sebuah kolom di media daring memuat tulisan milik Kalis Mardiasih yang secara umum mengkritisi hal yang sama. Dalam tulisan berjudul "Budayawan dan Visi Kebudayaan yang Tak Pernah Tuntas" itu, Kalis bahkan mengkritisi bahwa pembicaraan tentang "budaya" saat ini sudah dikultuskan atau diagungkan, sehingga hanya dibicarakan oleh sekelompok orang dalam kelas di sistem sosial tertentu. Seakan budayawan adalah sebuah profesi yang elit, serta berhak untuk mendapatkan gaji dalam jumlah tertentu.
Bila kacamata kapitalistik dan ekonomis digunakan untuk melihat visi kebudayaan, maka pembicaraan tentang budaya akan berakhir di industri budaya, serta objektifikasi tempat-tempat wisata. Bila benar kebudayaan adalah investasi masa depan untuk membangun peradaban bangsa seperti yang menjadi visi dari UU Pemajuan Kebudayaan, maka sudah jelas bahwa pembicaraan kebudayaan di sini berarti bicara tentang bisnis dan keuntungan untuk "membangun" peradaban.
Di sisi lain, ketika Dirjen Kebudayaan Kemdikbud RI, Hilmar Farid pada tahun 2017 menyindir budaya membaca masyarakat Indonesia yang sangat rendah, tapi berbanding terbalik dengan budaya berkomentar di media sosial, sejumlah gerakan "budaya" dilakukan untuk menghalau tersebut. Gerakan tersebut bisa dikatakan gagal, mengingat hal yang disindir oleh Hilmar Farid pada tahun 2017, masih tetap terjadi di tahun 2023. Tapi, tidak ada gerakan baru untuk merevisi gerakan yang gagal itu.
Ada beberapa gerakan budaya yang berhasil. Di antaranya, gerakan "budaya" baru yang berhasil adalah gerakan menikah muda, penggunaan penutup kepala untuk perempuan, menolak vaksin, pamer kelas sosial di medsos, saling unjuk slogan klise ketika demonstrasi mahasiswa, dan gerakan politisasi berkedok agama.
Penaklukan Dunia Ketiga Arthuro Escobar
Arthuro Escobar, seorang antropolog dan profesor antropologi di University North Carolina, Amerika Serika memaparkan bagaimana cara negara-negara adidaya menaklukkan dunia ketiga. Di dalamnya tentunya diperlukan adanya perubahan sosial-budaya yang dimulai dari perubahan mindset. Hal ini dilihat dari apa yang dipraktikkan oleh masyarakat industri barat, dan sekarang juga dilakukan oleh negara timur.
Kolonialisme budaya disebut sudah terjadi sejak awal era abad ke-19. Imperialisme budaya dimulai dengan penguasaan budaya, struktural, sinkronisasi budaya, kemudian penguasaan ideologi, berlanjut ke dominasi dan ketergantungan budaya, hingga akhirnya menuju kolonialisasi elektronik dan ekonomi.
Simpelnya, bagaimana Jepang sebagai negara produsen sepeda motor dan mobil tetap menjaga masyarakatnya untuk tetap naik kendaraan umum dan jalan kaki. Namun, di sisi lain membuat Indonesia ketergantungan pada kendaraan yang mereka buat?
Secara umum, proses penaklukan dunia ketiga di era baru ini menggunakan tiga langkah utama. Pertama, menjadikan apa yang selama ini normal dilakukan di tempat sasaran, menjadi tidak normal lagi. Tentunya, ini dilakukan dengan pengajuan wacana, dan mengubah ideologi. Bicara tentang hal ini, berarti bicara tentang pola pikir.
Langkah pertama ini (kita sebut sebagai abnormalisasi) lebih sering dimulai dengan cara "meyakinkan" ketimbang "menyerang". Bahwa kecepatan menuju tempat kerja adalah hal yang utama, ketimbang harus berdesak-desakan di dalam angkutan umum. Maka, "sebaiknya" menggunakan sepeda motor atau mobil pribadi. Bila tidak punya uang, maka "sebaiknya" beli dengan cara kredit atau dicicil.
Perlahan tapi pasti, perubahan ideologi dimulai di sini. Ketika sudah cukup besar pengaruhnya, maka proses akan masuk ke langkah kedua, yakni konseptualisasi. Di langkah kedua ini, mulai dari akademisi, institusi, dan cendikiawan mulai terlibat. Untuk legitimasi kebenaran, diperlukan konseptualisasi keyakinan, lewat jalur akademik. Baik perkuliahan, kurikulum, sampai seminar dan penerbitan buku-buku.
Langkah ketiga, sebagai sebuah penutup yang indah, maka hal tersebut akan dibungkus dengan kebijakan dari tingkat pemerintah kabupaten/kota, sampai ke level pemerintah pusat. Lewat Undang Undang, peraturan presiden (perpres), peraturan pemerintah (PP), peraturan menteri, dan sebagainya.
Maka budaya sebenarnya bisa memeluk dan merangkul peradaban, menjaga otentisitas bangsa, justru ketika masih berbentuk perang wacana di tahap satu. Namun, budaya masih berupa parade pakaian adat, sambil bernanyi lagu daerah, berujung festival kuliner.
Budayawan, menjadi suatu gelar agung bagi seorang yang sudah berpendidikan tinggi, berusia tua, dan punya pengalaman (utamanya di bidang seni, sejarah, antropologi, dan seterusnya). Lebih banyak yang berteriak tentang hak, ketimbang membaca ulang visi kebudayaan. Mahasiswa sebagai agen perubahan, juga perlahan mulai dikendalikan kekuatan politik, dan kapitalisme. Keberhasilan suatu gerakan ditandai dengan banyaknya pengikut di media sosial, atau minimal jumlah "like" dan "subscribe", ketimbang isi gerakan itu sendiri. Tenaga pengajar di tingkat sekolah, tertekan dengan peraturan ketat, sehingga sulit memberi kreativitas lebih bagi dirinya sendiri, apalagi untuk siswa. Sedangkan tenaga pengajar di tingkat perguruan tinggi, lebih banyak bicara tentang "scopus" ketimbang apakah tulisannya mampu memberikan perubahan.
Mengutip kata Kalis Mardiasih, semoga selalu ada waktu untuk kita (bangsa ini) untuk merasa berdosa, dan ingin terus belajar mengubah diri.