Manikean, Agama Besar yang Telah Hilang Ditelan Waktu -->
close
Adhyra Irianto
29 April 2023, 4/29/2023 04:08:00 AM WIB
Terbaru 2023-04-28T21:09:56Z
BeritaNarasi

Manikean, Agama Besar yang Telah Hilang Ditelan Waktu

Advertisement
Manikean, Agama besar yang telah hilang ditelan waktu
Manikean, Agama besar yang telah hilang ditelan waktu

Ada ribuan agama telah lahir di dunia sejak peradaban manusia dimulai. Di antara agama-agama besar dunia hari ini, ada juga agama-agama kecil yang punya sedikit pengikut secara persentase dari penduduk dunia keseluruhan. Tapi, juga banyak agama yang telah hilang meski pernah memiliki kejayaan besar. 


Manikean (dalam bahasa Inggris Manichaean/Manichaeism) adalah salah satu agama yang lahir di era abad ke-3 masehi dan pernah mencapai kesuksesan dengan jutaan pengikut. Agama ini menyebar dengan cepat di tiga benua sekaligus; Asia, Eropa, Afrika dalam sejarah perkembangan agama ini selama 11 abad. Agama Manikean akhirnya benar-benar hilang di seluruh penjuru bumi setelah dibasmi habis-habisan oleh Romawi era Theodosius I yang didukung oleh gereja Kristen di Eropa pada abad ke-6 (Wendy, 1999). Theodosius I bahkan mengeluarkan keputusan untuk menghukum mati siapapun biarawan, pemuka agama, dan pemeluk agama Manikean. Begitu juga di berbagai belahan bumi lainnya, yang akan diulas secara lengkap di tulisan ini.


Manikean, "Bekas" Agama Universal besar


R. van den Broek dan Wouter J Hanegraff (1998) menyebut Manikean sebagai "bekas" agama universal besar. Manikean memiliki pemeluk berjumlah hingga jutaan orang, tersebar dari ujung timur (Kekaisaran China) hingga ujung barat (Kekaisaran Romawi).


Penyebaran agama Manikean
Peta penyebaran agama Manikean

Sebelum Islam lahir dan berkembang sejak abad ke-7 Masehi, Manikean adalah agama yang disebut oleh pengikutnya sebagai agama penyempurna ajaran-ajaran sebelumnya seperti Zoroaster, Buddha, Yahudi, dan Kristen. Abad ke-3 adalah era berkembangnya agama Manikean sebelum akhirnya menjadi agama dengan sebaran paling luas di dunia pada abad ke-7. Dengan jumlah pengikut terbesar saat itu, agama Manikean menjadi agama terbesar di dunia era itu (Wellburn, 1998).


Manikean lahir sejak diperkenalkan oleh Mani, seorang nabi yang lahir di era Parthia (Iran Kuno), tepatnya era Kekaisaran Sasania (Sasanid). Mani dipuja sebagai nabi terakhir, dan penutup nabi-nabi saat ajarannya menyebar dengan luas. Inti ajarannya adalah kosmologi dualistik, di mana dunia terbagi menjadi dua hal; cahaya spiritual yang bersifat kebaikan, dan dunia material yang bersifat gelap dan jahat.


Maka, menurut ajaran Mani, manusia harus menghindari kegelapan material dan kembali ke cahaya yang menjadi tempat asal juga tempat akhir dari manusia (Ehsan, 1983). Mani juga menandatangani dan mengecap surat yang dikirimkannya untuk urusan penyebaran agama Mani menggunakan cap berbahan batu kristal bertuliskan "Mani, utusan dari Messiah (Yesus/Isa)" Cap ini kemudian diberinama "Sealstone of Mani" yang berada di Museum of the Bibliotheque Nationale de France (Cabinet des Medailles) di Paris.

Batu Cap Mani
Sealstone of Mani

Agama ini hadir bersamaan dengan era dominasi gereja yang "bersama-sama" menghancurkan ajaran-ajaran politeisme kuno sebelum Islam lahir. Namun, "kebersamaan" tersebut menjadi petaka sendiri bagi Manikean, karena menjadikan gesekan antara agama ini dengan Kristen. Jason David BeDuhn, seorang sejarawan agama dan budaya yang saat ini adalah Profesor Studi keagamaan di Northern Arizona University menyebut tentang persaingan (atau perselisihan) antara Manikean dengan Kristen yang berada di bawah dominasi Romawi menjadikan hancurnya Manikean di Eropa (BeDuhn, 2000). Sehingga, Manikean lebih lama bertahan di Tiongkok ketimbang di Eropa. Perkembangan Islam di Persia juga menjadikan Manikean hancur di tempat lahirnya, Iran.


Sumber berbahasa China, ditulis oleh Linzhou Li (2004) menyebutkan bahwa sisa-sisa terakhir pemeluk agama Manikean berada di daerah Fujian, China. Para pemeluk Manikean mungkin masih ada, dan diteruskan ke generasi penerusnya. Namun mereka bersembunyi, karena takut dan trauma dengan pembantaian yang pernah menimpa pemeluk Manikean di zaman dulu.


Ajaran Manikean


Mani disebut menerima wahyu pertama ketika ia berusia 12 tahun. Wahyu kedua diterimanya ketika berusia 24 tahun, dan saat itulah ia mulai mengajarkan Manikean. Awalnya, pengikut Mani menyebut nama agamanya sebagai Cahaya. Pemeluk agama "Cahaya" ini kemudian disebut Manikean oleh orang di luar agama ini, merujuk pada nama Mani sang pendirinya.


Rekaan wajah Mani
Rekaan wajah Mani, pendiri Manikean

Ajaran Mani mengajarkan berbuat baik, jiwa yang benar, dan menyembah Tuhan yang maha esa seperti yang disembah oleh Isa, Musa, Yakub, Ibrahim, hingga Buddha. Hal itu adalah cara untuk mencapai surga yang dalam bahasa Aram (bahasa Iran kuno) disebut sebagai parādaiĵah. Kata ini juga diserap ke bahasa Inggris menjadi Paradise, bahasa Yunani menjadi paradeisos, dan bahasa Arab menjadi Firdaus. Yah, kata ini berasal dari ajaran Manikean.


Ajaran ini melarang pemeluknya untuk melakukan zinah, mencuri, makan daging, minum-minuman keras, dan lain-lainnya. Apabila hal tersebut dilanggar, maka manusia yang dimaksud tidak akan mencapai surga, tapi akan kembali dilahirkan ke bumi sampai dianggap "layak" untuk menuju surga. Tulisan-tulisan ajaran Mani menggunakan bahasa Aram.


Mani menolak ketika pengikutnya mengganggapnya sebagai Tuhan. Ia mengaku sebagai seorang rasul, bukan Tuhan. Agama ini juga menolak bahwa Tuhan berada di rahim perawan (Maria), dan Tuhan mengakui "keputraan" Yesus ketika pembaptisan Yesus, bukan saat kelahirannya. Perbedaan pandangan terhadap Yesus inilah yang membuat friksi antara Manikean dengan Kristen awal. Meski demikian, di awal-awal kelahiran agama ini, banyak yang menilai bahwa agama ini pencampuran (sinkretisme) dari sejumlah agama antara lain Hindu (dengan konsep reinkarnasinya), Buddha (salah satunya larangan memakan daging, dan berbuat kebajikan terhadap sesama manusia), Kristen, hingga Zoroaster. Raja Sasania (Iran kuno) kedua yakni Shapur I menerima Mani dengan baik, begitu pula ajarannya, sebab Mani tidak memaksa Shapur I untuk berubah agama. Shapur I tetap memeluk Zoroaster hingga akhir hidupnya.


Namun, sejumlah catatan lainnya menceritakan bahwa pada awalnya Shapur I sangat kejam dan menolak Mani. Karena itu, Mani meninggalkan Persia dan pergi ke India. Saat itulah, Mani mengenal Hindu, dan Buddha. Kembalinya dari India, Mani baru diterima oleh Shapur I. Uniknya, menurut John M Robertson (1911) catatan ini justru berasal dari para cendikiawan Islam di abad pertengahan.


Menolak Fideisme


ajaran Manikean


Salah satu hal yang membuat Manikean ditolak oleh agama-agama yang ada saat itu adalah penolakan Manikean terhadap fideisme. Fideisme adalah teori epistemologis yang menyatakan bahwa iman tidak boleh diganggu-gugat oleh logika. Ketika iman dan logika saling berlawanan, maka iman adalah yang benar. Dan, Mani lewat ajarannya sangat keras menolak hal tersebut.


Agama ini secara gamblang menyerang fideisme yang menjadi pondasi sejumlah agama-agama yang sudah solid saat itu. Termasuk ketika awal abad ke-8 ketika Islam memasuki era Abbasiyah, Manikean juga menjadi salah satu "lawan" karena serangannya tersebut. Meski harus diakui, sejumlah ide-ide teologi dari Manikean juga memengaruhi agama-agama universal yang menjadi lawannya tersebut di kemudian hari.


Ajaran Manikean terutama ketika era perkembangannya di Romawi memberi penekanan pada ilmu pengetahuan. Menurut keyakinan Manikean, kunci keselamatan hidup manusia adalah ilmu pengetahuan. Pengetahuan akan memberikan perubahan hidup pada seseorang dan menyelamatkan dirinya di dunia dan mengantarkan ke surga.


Hal ini yang ditentang habis-habisan oleh agama-agama lainnya. Salah satu yang paling terkenal adalah perdebatan antara filsuf Santo Agustinus dari Hippo yang beragama Kristen dan pernah memeluk Manikean, melawan filsuf Faustus dari Mileve yang merupakan uskup Manikean. Perdebatan itu terjadi di Kartago (saat ini Tunisia) tahun 383


Kehancuran Manikean


Di Iran


Lukisan eksekusi Mani oleh kaisar Bahram I
Lukisan eksekusi Mani oleh kaisar Bahram I

Agama Manikean yang tersebar dari China hingga Eropa benar-benar luluh lantah sejak abad ke-7. Dimulai dari tempat lahirnya, Iran yang saat itu berada di bawah pemerintahan Kekaisaran Sasania. Meski sepulangnya Mani dari India, ajarannya ditolerir dengan baik oleh Shapur I dan penerusnya Hormizd I. Sayangnya, penerus Hormizd I yang merupakan anak kedua dari Shapur I, Bahram I justru berhenti memberi toleransi pada Manikean dengan dukungan (atau mungkin hasutan) dari pendeta Zoroaster berpengaruh bernama Kartir (seorang pendeta Zoroaster hidup sejak era Shapur I hingga Bahram II).


Sedikit cerita tentang Kartir, ia adalah kasim kerajaan era Shapur I. Sepeninggal Shapur I, anak ketiganya bernama Hormizd I naik tahta, sedangkan Bahram I yang merupakan anak pertama justru tidak mendapatkan singgasana tersebut, karena lahir dari selir. Hormidz I mengangkat Kartir menjadi Pendeta Kepala di Sasania, juga memberikan ruang bagi Mani untuk terus mengembangkan ajarannya. Padahal, keduanya mewakili agama yang berbeda dan terus berselisih.


Ketika Hormizd I yang baru naik tahta tahun 270 kemudian meninggal tahun 271 masehi, alias baru satu tahun berkuasa, tidak ada satupun yang mencalonkan Bahram I sebagai suksesinya. Nama saudara-saudara Bahram I yakni Narseh (anak kedua Shapur I) dan Shapur II (anak bungsu Shapur I) menjadi kandidat kuat untuk menggantikan posisi Hormizd I yang meninggal 1 tahun setelah naik tahta. 


Secara mengejutkan, dengan dukungan penuh dari Kartir yang menjabat sebagai pendeta kepala, Bahram I hadir sebagai calon terkuat pengganti Hormizd I. Dukungan Kartir membuat Bahram I didukung penuh oleh pemeluk Zoroaster di seluruh Iran dan non-Iran yang berada di bawah kekuasaan Kekaisaran Sasania. Singkat cerita, Bahram I naik menjadi raja, dan Kartir serta pendeta Zoroasterian lainnya meminta satu hal; menghukum mati Mani dan seluruh pengikutnya. Bagi Zoroasterian era itu, tindakan kaum Manikean yang menyembah "Tuhannya Kristen" atau "Tuhannya Ibrahim" bertentangan dengan Zoroasterian yang menyembah Ahura Mazda (Dewa tertinggi dan Penguasa Kebijaksanaan).


Hasilnya, Mani ditangkap dan dipenjarakan, serta dihukum mati oleh Bahram I. Sedangkan pengikutnya dianiaya dan dibantai oleh Kartir dan para pengikutnya. Penganiayaan besar-besaran di seluruh negeri menjadikan pemeluk Manikean hanya ada tiga pilihan; pergi dari Persia, atau pindah ke agama Zoroasterian, atau pilihan ketiga; mati!


Sejarah mencatat, pengikut Mani lebih banyak memilih mati daripada dua pilihan lainnya.


Di Romawi (Eropa dan Afrika utara)


Biara Manikean berdiri tahun 312. Dikarenakan pembantaian dan penganiayaan besar-besaran pada pemeluk Manikean di Persia pada akhir tahun 291, maka awal tahun 300, terjadi eksodus besar-besaran pemeluk Manikean ke Romawi. Sayang sekali, kepindahan besar-besaran ini disambut dengan dekrit kaisar Romawi saat itu, Diokletianus yang menentang Manikean pada tahun 302. Namun, Diokletianus mundur di tahun 305 M menjadikan semua tetap berjalan baik, dan biara Manikean di Roma menjadi pusat baru peradaban Manikean.


Apalagi, Agustinus dari Hippo (354-430), seorang filsuf dan cendikiawan berpengaruh di Romawi juga  memeluk agama Manikean. Maka, Manikean terus berkembang di Romawi setidaknya hingga Agustinus dari Hippo menyatakan masuk Kristen di tahun 380-an dan menjadi filsuf dan teolog Kristen terkemuka. Maka Agustinus dari Hippo yang punya pengaruh besar menjelma menjadi musuh utama bagi Manikean. Hasilnya, tekanan pada kaum Manikean mulai kembali terjadi. Tahun 382, giliran Kaisar Theodosius I yang mengeluarkan dekrit untuk menghukum pengikut Manikean dan memberi batasan juga pencabutan hak-hak sipil mereka (Samuel, 1992). 


Berkat dekrit ini juga, uskup Manikean bernama Faustus dari Mileve yang menjadi terkenal karena perdebatannya dengan Agustinus dari Hippo juga diasingkan hingga meninggal bersama banyak pemeluk Manikean lainnya. Periode ini menandakan hilangnya Manikean dari Romawi dan seluruh wilayahnya di Eropa dan Afrika.


Asia Tengah dan Selatan


Di Asia Tengah, Manikean awalnya tumbuh dengan baik di Uyghur. Sedangkan di Asia Selatan, Manikean tumbuh di Tibet. Kaisar Tibet bernama Trisong Detsen mendukung para "penjaga kitab suci identik" Buddha untuk melawan ajaran Manikean hingga keluar dari Tibet. 


Sedangkan di Uygur, agama ini diterima dengan baik. Kekhanan Uygur yang saat itu dipimpin Khan Boku Tekin memeluk Manikean tahun 763, sehingga Manikean menjadi agama resmi bagi Kekhanan Uyghur saat itu (Ramin, 2016).


Manikean hilang sepenuhnya ketika Kekhanan Uyghur hancur oleh Kekaisaran Mongol tahun 840.


Kekhalifahan Islam


Ketika Persia berada di bawah Kekhalifahan Abassiyah pada abad ke-8, sejak awal Manikean terus ditekan, bahkan disiksa apabila tidak mau meninggalkan agama mereka. Salah satu yang tercatat sejarah paling keras menganiaya pemeluk Manikean adalah Khalifah ketiga, Al Mahdi (Wendy, 1999). "Tradisi" ini diteruskan pula oleh Khalifah penerus mereka, hingga Khalifah ke-5, bernama Harun al-Rashid menghentikan penganiayaan tersebut di tahun 780-an. (Shahid, 1984 hal. 425). Khalifah ke-7 bernama Al Ma'mun juga memberi toleransi pada Manikean. Namun, di era khalifah ke-18 yakni Al-Muqtadir, hampir seluruh penganut Manikean kabur dari tanah Persia ke Asia Selatan, karena penganiayaan berbasis agama kembali terjadi. 


Para pemeluk Manikean yang kabur ke Asia Selatan tersebut, pada akhirnya berdiam diri di Samarkand (sekarang di Uzbekistan) dan Turkistan Timur setidaknya hingga abad ke-13. Lagi-lagi, invansi Mongol ke Samarkand saat itu menjadi mimpi buruk bagi pemeluk Manikean (dan agama lainnya) yang dibantai habis oleh tentara Mongol, setelah menguasai kota tersebut.


Di China

Kuil Cao'an
Kuil Cao'an, awalnya didirikan oleh kaum Manikean sebelum dialihkan menjadi kuil Buddha

Catatan paling banyak tentang Manikean ditemukan di China. Bahkan, Manikean bertahan paling lama justru di China, tepatnya hingga abad ke-14. Sebab, sifat agama Manikean yang mengutamakan kebijakan serta kecerdasan menjadi pondasi utama selamatnya manusia dari "dunia materi" sangat mudah beradaptasi dengan budaya asal tempat berkembangnya. Manikean akan sangat berbeda ketika ditemukan di China, bila dibandingkan dengan di Uygur, Iran, Romawi, Afrika utara, dan tempat lainnya.


Berkembangnya Manikean di China tidak bisa dipisahkan dengan perkembangan Manikean di Uygur. Ketika Manikean menjadi agama resmi di Kekhanan Uyghur, maka pengaruh Manikean juga cukup kuat di China. Sebenarnya, Manikean bisa saja berkembang dengan baik apabila para pemuka agama ini tidak terlibat dalam tindakan politik praktis di era dinasti Song, Yuan, dan Ming.


Diskriminasi, dan penekanan terhadap pengikut Manikean, membuat pemimpin pemberontakan menggunakan kedok agama untuk memobilisasi pengikut mereka. Akhirnya, Manikean terlibat dalam sejumlah pemberontakan besar, seperti Sorban merah (1351 - 1368) dan sejumlah pemberontakan lainnya. Karena "menyembah yang tak terlihat" serta tidak memakan daging hewan, kaum Manikean di era Dinasti Song disebut sebagai Chichai Shimo yang artinya penyembah setan yang pantang makan daging.


Manikean menolak tindakan perdukunan, yang akhirnya menambah masalah dengan China. Hal itu menjadikan alasan untuk mempersekusi dan membantai para pengikut Manikean terus-terusan terjadi. Secara perlahan, hingga abad ke-14, Manikean akhirnya hilang di daratan China. Meski ada laporan bahwa pemeluk Manikean masih ditemukan di daerah Uyghur, namun mereka melakukannya secara sembunyi-sembunyi karena trauma masa lalu. Manikean di China disebut dengan nama Monijiao.


Manikean Hari Ini


Beberapa orang ini dianggap sebagai pendeta Manikean di daerah Fujian, Tiongkok
Beberapa pendeta Manikean di daerah Fujian, Tiongkok

Sebagai sebuah agama yang pernah menjadi agama universal, lintas negara dan bangsa, dan memiliki jutaan pengikut, Manikean menjadi salah satu agama "tersial" di muka bumi. Ajarannya cukup banyak memengaruhi praktik beragama di tempat-tempat di mana mereka tumbuh dengan subur dulunya. Namun, agama ini hilang ditelan waktu. Bahkan di era abad ke-21 seperti saat ini, bisa dikatakan bahwa hanya sedikit saja penduduk dunia yang tahu tentang Manikean.


Catatan terbaru dari situs Manichean.org, sejumlah pemeluk Manikean masih tercatat berada di Afghanistan, Syria, dan Iran dengan setidaknya satu Archiodese (keuskupan) yang disetujui oleh Keuskupan agung di Iran. Meski tersembunyi, namun tercatat bahwa pemeluk Manikean hingga hari ini masih eksis dan terus bertahan hingga hari ini.


Sejumlah arsip kuno Manikean asal Siria di British Library
Sejumlah arsip kuno Manikean asal Siria di The British Library

Ditambah lagi, sejumlah ajaran yang disebut neo-manichean, mengadopsi ajaran Manikean di era modern. Meski tidak ditemukan jejak historis yang menghubungkan antara ajaran Manikean dengan sejumlah ajaran yang disebut neo-manichean tersebut.


Daftar Pustaka:


  1. Hajianfard, Ramin (2016). Boku Tekin and the Uyghur Conversion to Manichaeism (763). Santa Barbara: CA, ABC-CLIO. pp. 409, 411.
  2. Irfan Shahîd, Byzantium and the Arabs in the fourth century, 1984,
  3. John M. Robertson,Pagan Christs(2nd ed. 1911),§ 14. The Problem of Manichæus, (diakses online di http://www.sacred-texts.com)
  4. Li, Linzhou (2004).Fúzhōu mó ní jiào zhòngyào yízhǐ——fúzhōu tái jiāngyìzhōu pǔxī fúshòu gōng. (1 ed.). P. 44.
  5. Jason David BeDuhn The Manichaean Body: In Discipline and Ritual Baltimore: Johns Hopkins University Press. 2000 republished 2002 p.IX
  6. Doniger, Wendy (1999). Merriam-Webster's Encyclopedia of World Religions. Merriam-Webster. pp. 689, 690.
  7. R. van den Broek, Wouter J. Hanegraaff Gnosis and Hermeticism from Antiquity to Modern TimesSUNY Press, 1998
  8. Andrew Welburn, Mani, the Angel and the Column of Glory: An Anthology of Manichaean Texts (Edinburgh: Floris Books, 1998), p. 68
  9. Yarshater, Ehsan The Cambridge History of Iran, Volume 3 (2), Periode Seleucid, Parthia dan Sasanian , Cambridge University Press, Cambridge, 1983.
  10. Lieu, Samuel (1992) Manichaeism in the Later Roman Empire and Medieval China 2d edition, pp. 145–148
  11. https://www.britannica.com/topic/Manichaeism
  12. https://en.wikipedia.org/wiki/Manichaeism

Ads