Zooming in-out Tradisi Mappasikarawa dalam “Kisah Kirana” -->
close
Pojok Seni
27 March 2023, 3/27/2023 12:25:00 AM WIB
Terbaru 2023-03-26T17:25:21Z
teaterUlasan

Zooming in-out Tradisi Mappasikarawa dalam “Kisah Kirana”

Advertisement
Dramatic Reading Kisah kirana
Dramatic Reading Kisah Kirana (Foto: Youtube)


oleh Ilda Karwayu*


Zoom in. Seorang perempuan, bergaun tidur satin warna putih susu yang dibalut kimono brokat hitam, sedang duduk disebuah kursi. Di samping kirinya sebuah cermin lipat minimalis, sekotak perhiasan warna kuning-perak, dan satu patteppo (bando bugis) berbahan kuningan telah menjadi perhatiannya. Ia buka kotak perhiasan perlahan. Dari dalam situ, tangannya meraih sebuah pemulas bibir warna cerah yang kemudian diaplikasikannya ke bibir. Zoom out.


Itulah awal dari pertunjukan dramatic reading lakon “Kisah Kirana” yang dibacakan oleh Kala Teater dari Makassar. Lakon tersebut ditulis oleh Nirwana Aprianty, salah satu peserta KalamPuan #2, yang juga berasal dari Makassar. Untuk diketahui, KalamPuan ialah salah satu program berjenis lokakarya dari Perkumpulan Nasional Teater Indonesia (Penastri) dengan sejumlah agenda: Pengayaan Pengetahuan, Metode dan Penulisan Lakon, serta Diskusi Lakon.


Setiap lakon yang lahir dari lokakarya tersebut dibacakan oleh satu kelompok teater dengan konsep pertunjukan dramatic reading; kemudian disiarkan secara daring via kanal Youtube Penastri. “Kisah Kirana” sendiri disiarkan pada Minggu, 19 Februari 2023 pukul 20.15 Wita.


Semangat Individualisme


Perempuan tersebut adalah Kirana, 37 tahun, pegawai perusahaan kosmetik, pengantin baru hasil perjodohan; dengan bibir cerahnya melontarkan ragam pikirannya perihal usia perempuan dan nilai-nilai pernikahan. Sebaris monolog, “Apa urusannya memang dengan kalian?” merupakan satu dari sekian tanda (semangat) individualisme dalam diri Kirana, yang secara sarkas santer menjadi respons atas sikap orang-orang di sekitarnya yang berusaha menarik Kirana untuk menjalani pernikahan (sesuai standar mereka).


Semangat individualisme dalam konteks “Kisah Kirana” mengacu kepada paham yang menghendaki kebebasan berbuat dan menganut kepercayaan bagi setiap orang. Ada prinsip dalam diri Kirana yang sedang ia coba jelaskan meski tampaknya mustahil mengubah kondisinya yang sudah jadi istri seorang lelaki pilihan sang ibu. Lelaki pilihan ibunya itu ternyata, hingga upacara akad nikah selesai, belum pernah ia jumpai—meskipun pernah sesekali menatap foto-fotonya via media sosial Instagram.


Simbol media sosial dan cermin lipat minimalis di atas telah menjadi penguat latar waktu “Kisah Kirana” yang memanglah di masa kini. Sejalan dengan itu sikap individualisme Kirana pun dapat kita tarik benang merahnya ke konteks masa kini. Para perempuan masa kini tumbuh dengan akses yang hampir—atau bahkan telah sama—dengan para lelaki. Oleh karenanya, ada beberapa kebiasaan/kebudayaan terkait diri mereka yang tak lagi relevan sehingga perlu dikritisi kembali substansinya; salah satunya adalah praktik ritual pernikahan mappasikarawa yang menjadi premis pertunjukan “Kisah Kirana” ini.


Sebagai perempuan berkesadaran atas kebebasan berbuat, tokoh Kirana secara intens memaparkan monolog bernada menggugat, antara lain: (1) “Tidak ada gunanya menjadi dewasa saat semua hal di hidupku itu harus menjadi konsumsi keluarga besar.” (2) “Yang kutahu, perempuan Makassar harus memiliki siri’.” dan (3) “Jaman sekarang kan beda.”


Semangat individualisme yang kental dalam sejumlah dialog tersebut membuka ruang tafsir atas kondisi perempuan Bugis masa kini. Semangat kolektif telah berganti menjadi semangat individualisme; tercermin dari cara Kirana memandang dan melakoni hidup. Kirana menjadi cermin bagi kita bahwa para perempuan Bugis, dewasa ini, lahir dan tumbuh bersama darah leluhur tanpa bersedia memikul serta tradisi yang tak lagi relevan bagi mereka. Meski demikian, mereka tak serta-merta bebas.


Dalam pertunjukan ini ada ibu kandung, sebagai representasi orang tua, yang telanjur kuat mengikat tradisi dalam dirinya, dan dengan keras kepala mengestafetkan itu kepada putri sendiri. Sebagai perempuan berwawasan dan memiliki kesadaran terhadap darah leluhur dalam dirinya, Kirana tak lantas secara ekstrem menentang perintah ibunya; meskipun telah berusaha menawarkan dialog kepada ibunya mengenai pernikahan, terutama ketidaksetujuannya terhadap praktik ritual pernikahan mappasikarawa. Dijelaskan oleh Kirana dalam monolognya: bagaimana tubuh perempuan didikte harus menerima sentuhan tanpa persetujuan diri, pun bagaimana ritual pernikahan mappasikarawa, secara filosofis, menjunjung nilai-nilai kepatuhan yang hanya dibebankan kepada istri. Zoom in. Tampaklah upaya Kirana menarik-ulur sikap kritis dan baktinya (sebagai wujud toleransi) kepada para kerabat tua.


Toleransi Kirana tak berhenti sampai disitu; ia pun menampakkannya pada aksen monolog ketika memerankan sejumlah bibi dan kerabat yang bersukacita merayakan pernikahan Kirana. Selain aksen, kehadiran kosakata bahasa Bugis di sela-sela monolog bahasa Indonesia di beberapa bagian, secara konsisten, telah menjadikannya simbol identitas ruang bagi tokoh Kirana sendiri. Belum—jika bukan tidak—banyak pertunjukan yang membolehkan aksen bahasa daerah hadir mendampingi bahasa Indonesia di atas panggung. Kekhawatiran bahwa penonton (di luar radar pengguna bahasa daerah tersebut) nantinya mengalami ketersendatan dalam menikmati pertunjukan agaknya merupakan satu dari sekian pertimbangannya.


Akan tetapi, tampaknya itu tak berlaku bagi pertunjukan-pertunjukan Kala Teater. Hampir selalu ada momen dimana aksen Bugis hadir secara organik dalam pertunjukan mereka. Darinya, tumbuh sebuah sudut pandang: penonton tidak diremehkan kemampuannya mencerna pertunjukan. Dan, darinya pula kita belajar bahwa dramaturgi pertunjukan yang beririsan dengan kebudayaan tempatnya berlatar mestilah melibatkan aksen bahasa daerah—sebagai bagian dari kebudayaan tersebut. Pertunjukan “Kisah Kirana” yang menerapkan hal itu akhirnya berhasil menguatkan suasana tradisi mappasikarawa.


Selain aksen, ada pula teknik zoom in-out pada pertunjukan yang telah mengajak—bila tidak ingin disebut mendikte—penonton untuk fokus secara dramatis kepada sejumlah sudut pandang. Barangkali upaya zoom in di atas mengingatkan kita kepada kerja kamera dalam film; sebagai medium pertama antara penglihatan kita dan momen pertunjukan ini. Terlepas dari efek dramatisnya yang tebal, tetaplah kehadiran fitur ini membuat penglihatan penonton tidak bebas. Lain halnya bila menonton secara langsung; sepasang mata setiap penonton bebas menentukan ke sudut mana pandangannya ditujukan. Namun, penonton tidak senaif itu untuk terus-menerus membandingkan medium pertunjukan.


Fokus zoom in pada getar bibir Kirana yang tampak di balik kursi bolong berhasil menegaskan upaya dirinya mempertahankan semangat individualisme sebagai prinsip. Ia berpaling; menolak menyelesaikan proses ritual mappasikarawa. Di lain sisi, zoom in terhadap patteppo di beberapa kesempatan juga hadir sebagai simbol penentangan terhadap semangat Kirana tersebut. Jukstaposisi antara keduanya mempertebal konflik batin Kirana.


Tak hanya itu, zoom out di beberapa momen pun berlaku demikian. Ketika penonton sedang menempatkan fokusnya kepada patteppo atau Kirana, kamera seketika mundur. Zoom out. Kerja tarik-menarik semakin luas, dan kali ini terjadi antara yang bicara—ekspresi dan simbol—dan yang tampil—ruang kamar. Sepanjang pertunjukan, kurang lebih 27 menit, penonton dibuat maju-mundur memahami tradisi mappasikarawa dari sudut pandang Kirana, perempuan yang masih sanggup bertoleransi meski nyatanya telah dilecehkan prinsip hidupnya oleh perintah leluhur.



*ILDA KARWAYU, menulis puisi, fiksi, dan non-fiksi. Telah menerbitkan sejumlah buku puisi, antara lain, “Eulogi” (PBP, 2018) dan “Binatang Kesepian dalam Tubuhmu” (GPU, 2020). Aktif berkegiatan di Komunitas Akarpohon Mataram; serta melakukan kerja manajerial seni—khususnya musik dan teater—di Mataram.

Ads