Advertisement
Pentas Terpujilah Engkau Ibu Bapak Guru oleh Teater Ginyo Lamongan (Foto: Pratama Reski Wijaya) |
Oleh: Fikri Husni Hidayat*
Di bawah atap Pendopo Taman Budaya Jawa tengah Surakarta, Teater Ginyo Lamongan menampilkan naskah teater realis yang berjudul “Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru” pada Jumat malam(17/3/2023). Pendopo yang menjadi panggung pertunjukan teater tersebut memperkuat atmosfer kebudayan lokal disaksikan penonton yang terbilang cukup banyak karena melampaui kapasitas tempat duduk yang disediakan. Dengan properti seadanya, lampu kuning nyala redup dan lantunan nyanyian serta iringan gitar membuat pertunjukan teater realis tersebut terlihat sangat sederhana.
Dalam adegan pertama, diceritakan seorang perempuan tua sedang duduk di kursi goyang ruang tamu, tengah melamun menikmati kesendiriannya. Kemudian suaminya datang menghampiri perempuan itu sambil membawa secangkir susu hangat, yang kemudian ditawarkan kepadanya. Namun, perempuan tersebut menolak untuk meminum susu yang diberikan oleh suaminya. Setelah beberapa kali dibujuk oleh pria tersebut, perempuan itu akhirnya berniat meminum susu dengan syarat, keadaan susu haruslah hangat.
Perempuan tua akhirnya meminum susu tersebut setelah pria itu meyakinkannya. Kekecewaan timbul usai perempuan itu menelan susu yang ternyata sudah dingin, Hal itu membuat perempuan tua itu membenci pria tersebut sekaligus hilang perasaan cinta kepadanya. Kemudian, pria tua itu meminta maaf kepada perempuan sambil meminta rasa cinta yang hilang dari istrinya agar kembali. Namun, perempuan tua itu menolak permintaan pria tersebut karena rasa cinta yang dirasanya sudah hilang. Namun, pria tersebut tetap berharap cinta perempuan kembali dengan permohonan maaf yang berulang.
Akhirnya setelah perdebatan yang cukup panjang dan permohonan maaf kesekian kali dari sang pria, perempuan tersebut membuka hati untuk pria tersebut dengan syarat, pria itu harus bernyanyi di depan hadapannya. Namun, pria itu menolak permintaan tersebut. Karena harapannya yang besar agar perempuan tersebut kembali mencintainya, beberapa saat kemudian, sang pria pun dengan terpaksa memenuhi keinginan istrinya itu untuk bernyanyi. Setelah bernyanyi, istrinya marah karena nada yang dinyanyikan suaminya adalah nada tersebut mengingatkan kepada mantan pacar suaminya yang seorang guru yang sudah lama meninggal.
Setelah itu, pria tersebut kembali menyanyikan lagu untuk kedua kalinya dengan lirik yang berbeda, akan tetapi dengan nada yang tetap sama seperti sebelumnya. Hingga akhirnya, perempuan tua itu tetap menolak untuk kembali mencintai suaminya, karena suaminya tidak bisa melupakan mantan kekasihnya yang merupakan seorang guru.
Pembawaan naskah yang banyak memperlihatkan adegan simbolis seperti adegan penolakan sang perempuan terhadap susu yang dingin yang diberikan oleh sang pria, mengundang penonton memiliki antusias untuk menyaksikan pertunjukan tersebut. Begitupun dengan konflik yang diciptakan dalam pertunjukan tersebut memperlihatkan permasalahan kecil yang dibesar-besarkan.
Pengeras suara mungkin bisa menjadi jalan keluar untuk permasalahan dialog para aktor. Tentu saja, selain masalah teknik vokal atau hal elementer lainnya, tapi lebih ke gangguan yang hadir selama pertunjukan. Mulai dari suara bising kendaraan di jalan utama Jebres, serta posisi pendapa yang berada di outdoor. Hal ini mesti dicermati oleh para aktor yang akan bermain di situasi yang sama.
Sebagai drama "well made play" yang sudah direncanakan dengan baik, naskah yang dibawakan tidak mengusung konflik yang berpotensi menghadirkan letupan klimaks. Pemilihan naskah semestinya bisa dipertimbangkan dengan baik sebelum drama tersebut dipentaskan. Meski demikian, pertunjukan tersebut cukup mampu menghibur penonton yang memadati pendapa wisma Seni TBJT malam itu.
*Penulis adalah mahasiswa jurusan Antropologi di ISBI Bandung
Baca juga: Artikel Terkait SALAHATEDU#10: Janger dan Wayang Ala Generasi Muda, Manifesto Daya Hidup Seni Pertunjukan