Advertisement
Pementasan Sanggar Pasinaon Pelangi Surakarta (Foto: Pratama Reski Wijaya) |
Perayaan Sala Hatedu ke 10 di wisma seni Taman Budaya Jawa Tengah, Solo hari ketiga, Minggu (19/3/2023) memberikan gagasan yang mengejutkan. Lebih mengejutkan lagi karena gagasan tersebut datang dari anak-anak dan pemuda.
Rangkaian hari ketiga dimulai dengan lokakarya audio pertunjukan oleh Sentanu. Banyak perspektif audio yang dijabarkan Sentanu, ternyata membangun suasana pertunjukan dan memberikan pengalaman audio yang mengesankan bagi penonton. Sentanu memberi contoh sederhana, ketika sehari-hari seseorang mendengarkan bunyi yang dihadirkan dunia, maka apa yang membuatnya menjadi natural? Jawabannya adalah, karena suara tersebut datang dari tempat yang berbeda (surround), juga berbeda intensitas volumenya. Suara seseorang yang sedang mencuci piring di dapur misalnya, akan jauh lebih berkesan bila dihadirkan dengan sangat lamat-lamat, dan speaker berasal dari belakang. Masih banyak lagi perspektif menarik dari Sentanu yang selama ini luput jadi perhatian para pencipta karya teater.
Pertunjukan dimulai dengan para pembaca puisi cilik dari Rumah Ilalang. Sebanyak 8 orang anak berusia masih sangat muda, malah kebanyakan sekolah dasar, membacakan puisi dari berbagai penyair Indonesia seperti D Zawawi Imron, Rego Ilalang, dan sejumlah penyair lainnya dibawakan dengan apik oleh para pembaca puisi. Para pembaca puisi cilik ini juga memberikan harapan bagi seniman yang sudah berusia lanjut, bahwa regenerasi terus berjalan. Dan, ada orang-orang yang terus ikhlas berjuang untuk menjaga regenerasi terus lahir di Nusantara.
Generasi Muda Menggugat
Pementasan Teater Kusuma UNTAG Surabaya |
Dua pertunjukan yang bisa digarisbawahi dan menampilkan gugatan adalah Teater Kusuma Untag Surabaya dan Sanggar Pasinaon Pelangi dari Surakarta. Teater Kusuma Untag Surabaya mencoba "menceritakan Jaran Kencak" dengan sejumlah gugatan mengejutkan. Mereka memulai dengan perdebatan kosong antara Lumajang dan Madura. Lumajang adalah Madura kata seorang aktor, dan Lumajang adalah Lumajang, bukan Madura, kata seorang aktor yang lain.
Maka pertanyaan yang ingin mereka hadirkan pada publiknya adalah, kenapa? Apa yang berbeda bila Lumajang adalah Madura, dan Lumajang bukan Madura? Apa yang akan berubah? Hal itu juga yang menjadi isu yang sering dihembuskan oleh orang-orang yang ingin mendapatkan banyak dukungan. Sumatera bukan Jawa, Indonesia tidak boleh Jawa-isme, Indonesia bukan Amerika, ini bukan itu, itu bukan ini, dan lain-lain. Semuanya berasal dari perspektif yang subjektif, yang dipaksakan menjadi seakan-akan "makna objektif". Sesama manusia dibenturkan dengan politik identitas. Karena itu, John Lennon mendendangkan "Imagine there's no countries, It isn't hard to do, Nothing to kill or die for, And no religion, too" dalam lagunya bertajuk Imagine. Yah, Lennon sejak lama takut dengan perbedaan-perbedaan yang dimanfaatkan segelintir orang yang punya kepentingan, untuk mengadu dan membentur-benturkan antar golongan. Jalan yang paling baik, adalah dengan menghilangkan semuanya sekalian.
Kemudian, para aktor Teater Kusuma bermain Jaran Kencak dengan semua selipan humor berbahasa Jawa. Tapi kemudian, muncul seorang "puteri ular" yang tiba-tiba mengajak semua penonton untuk ikut goyang Tik Tok. Seperti yang direncanakan, ada banyak penonton yang ditarik ke atas panggung dan ikut menarik Tik Tok yang kebetulan sedang viral itu. Setelah semuanya kembali ke tempat duduk, para aktor hanya mengeluhkan kenapa lebih mudah mengajak orang untuk menari Tik Tok, ketimbang mengajak bermain Jaran Kencak? Ada masalah apa di sini? Maka, para aktor ini mengakhiri pertunjukan dengan deduksi, bahwa Jaran Kencak tidak perlu dibunuh, karena ia bisa mati sendiri, bila keadaan masih seperti saat ini.
Pementasan Sanggar Pasinaon Pelangi Surakarta |
Namun, jawabannya bisa didapatkan dari pementasan ketoprak anak-anak bertajuk "Superhero" dari Sanggar Pasinaon Pelangi dari Surakarta. Awalnya, pertunjukannya seperti imaji anak-anak pada umumnya. Muncul sejumlah superhero, baik dari dalam negeri yang diwakili oleh Nyi Roro Kidul, Sri Asih, Gatot Kaca, Wiro Sableng, dan sebagainya. Juga datang superhero dari luar negeri yang diwakili oleh Spidermen, Wonderwomen, Catwomen, dan sebagainya. Apa yang terjadi adalah, para superhero ini bertarung karena "politik identitas". Yah, bagi superhero luar negeri, Gatot Kaca cs tidak menarik sebagai superhero karena tidak masuk Marvel. Sedangkan bagi superhero dalam negeri, mereka adalah penguasa mutlak di negara ini, dan Spidermen cs mesti angkat kaki.
Mengejutkan, karena berikutnya mereka menghadirkan monster yang menculik Spiderman. Para superhero ini kemudian saling berunding, dan menyadari bahwa mereka sebenarnya memiliki tujuan yang sama, musuh yang sama. Mereka sama-sama bertugas untuk melawan kejahatan, kenapa mereka mau saling dibentur-benturkan? Mirip dengan isu Lumajang-Madura yang dibawa oleh Teater Kusuma, para superhero ini mempertanyakan kenapa harus saling bertarung? Apa yang sebenarnya paling ingin mereka tunjukkan dengan pertarungan itu?
Kemasan pertunjukan cukup menarik, apalagi bila melihat dalam perspektif anak-anak. Semua orang ingin terlahir dengan bakat sebagai superhero. Tapi, apakah setiap orang itu sanggup menanggung resikonya? Bila seorang memiliki kecerdasan di atas rata-rata, apakah ia siap merelakan dirinya untuk menjadikan kecerdasannya itu berguna bagi semua orang? Apakah ia rela menghabiskan waktunya untuk membuat suatu penemuan yang berguna bagi lebih banyak orang? Maka anak-anak ini menjawab dengan lagu penutup yang memukau dari Coldplay&Chainsmoker,
".......
But she said, "Where'd you wanna go?
How much you wanna risk?
I'm not looking for somebody with some superhuman gifts
Some superhero
Some fairy tale bliss
Just something I can turn to
Somebody I can kiss"
Dua pertunjukan manis ini memberikan kesan yang mendalam bagi pemirsanya. Yah, kekurangan teknis seperti tempo yang "tidak stabil", penggunaan multimedia yang kurang maksimal, dan sebagainya, hanya seperti batu kerikil yang mudah saja diperbaiki ke depannya.