SalaHATEDU#10 Hari Kedua: Seni Teater di Antara Kedigdayaan Gugatan -->
close
Adhyra Irianto
19 March 2023, 3/19/2023 04:27:00 PM WIB
Terbaru 2023-03-20T07:14:17Z
ResensiUlasan

SalaHATEDU#10 Hari Kedua: Seni Teater di Antara Kedigdayaan Gugatan

Advertisement
Pertunjukan Sandur dari Bojonegoro
Pertunjukan Sandur dari Bojonegoro (foto: Pratama Reski Wijaya)


Gelaran SalaHatedu#10 hari kedua dibuka dengan sarasehan yang menghadirkan dua narasumber, yakni Winarto Ekram asal Malang dan Mahatma Muhammad asal Sumatera Barat. Daya seni pertunjukan masih menjadi tema utama yang dibicarakan, namun kedua narasumber memberikan pandangan yang berbeda.


Bila Winarto atau Cak Win memberikan stimulan berupa masukan untuk memantik semangat di tubuh calon seniman, maka Mahatma melihat dengan lebih skeptis. Cak Win menekankan pengabdian, kedisiplinan, dan keseriusan dalam mempelajari seni. Mahatma melihat usaha pemerintah yang coba diejawantahkan lewat UU Kebudayaan no. 5 tahun 2017 justru bisa membahayakan seni tradisi yang sudah terbiasa tumbuh secara organik di masyarakat.


Meski ada perbedaan persepsi yang signifikan, namun faktanya kedua narasumber ini tetap duduk berdampingan dan "seakan" saling mendukung satu sama lainnya. Pertunjukan yang hadir di malam harinya akan membuktikan apa yang dikatakan para narasumber setelah melihat situasi sosio-kultural dalam lingkup lebih khusus "daya hidup seni pertunjukan tradisi" di masyarakat.


Menunggu dalam Ketidakberdayaan


Pernikahan antara Ainun dan Richard yang digelar sebagai pertunjukan oleh Teater Asa Jakarta menampilkan lebih banyak kejutan. Ainun hanya bersembunyi di kamar pengantin, membiarkan Richard dan seluruh penonton ikut gelisah menunggunya. Menunggu dalam ketidakberdayaan.


Willy Fwi, seniman teater dari Jakarta awalnya mengira hal itu sebagai gamophobia, alias ketakutan berlebih pada sebuah komitmen jangka panjang. Namun, akhirnya mereka menyadari bahwa penonton dan Richard memang diminta menunggu dalam ketidakberdayaan. 


Sejumlah hal yang sebenarnya kecelakaan teknis, justru menjadikan pertunjukan tersebut menjadi lebih menarik dramatiknya.


Membicarakan yang "Samar"


Komunitas seni Samar, adalah sebuah komunitas seni asal kota Kudus membawakan pertunjukan yang kemudian juga disebut seni samar. Sejak pertama cahaya menerangi wajah panggung dari berbagai sisi, seorang aktor dengan kostum unik berbahan kulit kayu, rotan, dan karung goni masuk perlahan ke panggung, lalu out. Kemudian, beberapa aktor yang mengenakan kain putih di tubuhnya, masuk perlahan dengan topeng yang dibuat dari rotan, karung, dan bahan-bahan yang secara mengejutkan dieksplorasi menjadi semacam topeng.


Pertunjukan seni samar menyuguhkan rentetan peristiwa, dengan pilihan simbol yang sangat dipertimbangkan. Warna putih menjadi dominan, di samping beberapa benda yang bisa ditemukan di keseharian dieksplorasi sedemikian rupa menjadi kostum dan handproperty. Hal ini yang menjadi daya tarik utama pertunjukan Samar ini. Keindahan kostum, pilihan warna putih cerah, berpadu dengan cahaya warna-warni dari ParLED yang menyirami panggung dan tubuh aktor.


Meski harus diakui, di balik indahnya kostum yang dikenakan, simbol-simbol tersebut terkesan saling tumpang tindih, kalau tidak mau dikatakan "nyinyir". Alur cerita nyaris tak terbaca, meski MC telah mempertegas dengan narasi yang sangat panjang. Selain itu, pilihan-pilihan eksplorasinya masih lebih mengarah ke "barat" ketimbang "tradisi". Apa yang dibicarakan masih cukup samar, dan masih bisa diperbaiki lagi ke depannya menjadi pertunjukan yang jauh lebih baik.


Monolog dari Dody Yan Masfa, Surabaya


Monolog Mak Gugat
Monolog Mak Gugat dari Dody Yan Musfah (Foto: Pratama Reski Wijaya)


Hanya ada 15 menit jarak antara pertujukan Samar Kudus ke pertunjukan Sandur dari Bojonegoro Jawa Timur. Waktu yang sangat singkat tersebut terasa sangat cukup oleh seniman teater asal Surabaya, Dody Yan Masfa. Ia menampilkan sebuah monolog di tengah kegelapan, bermodal sebuah senter, dan bertajuk Mak Gugat.


Gugatannya terdiri dari beberapa kalimat, dan direpetisi hingga gugatannya terasa sampai pada semua orang yang ingin "digugatnya". 


"Kita tidak pernah benar-benar serius dengan kebaikan, tak pernah benar-benar serius dengan kebenaran. Kita cuma main-main, memperolok zaman, dan memperburuknya dengan kemalasan."


Gugatannya disampaikan berbisik pada sejumlah penonton, kemudian berteriak-teriak pada orang lainnya. Apa yang disampaikannya terlalu verbal, dan menurut Dody, gugatannya ditujukan pada kondisi teater hari ini.


Kedigdayaan Tradisi; Sandur dan Ketoprak Lesung


Ketoprak Lesung dari Purworejo
Ketoprak Lesung dari Purworejo (Foto: Pratama Reski Wijaya)

Mahatma Muhammad lewat sarasehan SALAHATEDU mengatakan bahwa seni tradisi tumbuh secara organik, dengan kedigdayaan yang berasal dari semangat gotong royong. Sepertinya itu yang dibuktikan lewat dua pertunjukan seni tradisi rakyat; Sandur dan Ketoprak Lesung.


Bila Sandur dari Bojonegoro kembali mempertunjukkan cara generasi muda merespon seni tradisi, maka Ketoprak Lesung dari Purworejo bagaimana cara seni tradisi bekerja dengan cara yang organik. Warga satu desa dengan setia dan bergotong royong membentuk pertunjukan yang menceritakan "Endok Jagat" milik Penembahan Senopati. Sedangkan Sandur, menceritakan kisah Cawi, seorang perempuan yang ditinggalkan oleh calon suaminya berbulan-bulan, tanpa kabar, lalu dinikahi oleh sahabat suaminya sendiri. Selain masalah krisis ekonomi, dan pergulatan antara dua orang sahabat karena perkara "menikung" calon istri, ada masalah yang lebih penting lagi coba diungkap Sandur ini. Persoalan eksistensialis, dengan sedikit bumbu feminism. Bagaimana seorang lelaki mampu memudarkan impian dan cita-cita dari seorang perempuan yang dinikahinya, bukannya itu perkara yang seksi hari ini?

Ads