Representasi Meredupnya Persoalan Tradisi dalam Penampilan Teater Hasil Workshop SalaHatedu -->
close
Pojok Seni
22 March 2023, 3/22/2023 06:17:00 PM WIB
Terbaru 2023-03-22T11:17:08Z
Ulasan

Representasi Meredupnya Persoalan Tradisi dalam Penampilan Teater Hasil Workshop SalaHatedu

Advertisement
Pentas Teater Tirakat oleh peserta Workshop Keaktoran SalaHatedu
Pentas Teater Tirakat oleh peserta Workshop Keaktoran SalaHatedu


Oleh: Fikri Husni Hidayat

PojokSeni - Di penghujung hari terselenggaranya SalaHatedu#10 pada Senin (3/21/2023), Peserta workshop keaktoran membawakan pertunjukan teater dokumenter Tirakat yang di sutradarai oleh Eka Nusa Pertiwi. Pertunjukan tersebut merupakan sepenuhnya hasil dari workshop yang dilakukan Eka dari awal hingga akhir terselenggaranya acara selama 4 hari.


Tirakat sendiri merupakan tradisi setiap agama dalam menjalankan laku ibadah. Contohnya agama Islam, yang menjalankan tilawatil Quran, Dzikir, Sholawat dan lain sebagainya sebagai jalan tirakat. Agama Hindu serta Budha menjalankan tirakat mereka dengan puasa semedhi dan sebagainya. Kristen dan Khatolik juga menjalankan tarikat mereka dengan menjalankan puasa sesuai cara-cara keyakinannya. Tujuan dari Tirakat adalah untuk mendapat keberkahan dari Tuhan yang Maha Kuasa.


Pertunjukan tersebut diawali dengan komando dari MC yang mengharuskan beberapa penonton untuk mengisi lantai panggung pendapa di TBJT agar dapat memenuhi konsep dari konsep pertunjukan, sebagai syarat agar pertunjukan dapat berjalan. Walaupun hanya sedikit penonton yang mengisi pendapa tersebut, akhirnya pertunjukan tersebut tetap dimulai.


Adegan diawal pertunjukan, para pemain memperagakan permainan anak-anak yang bernama Cublak-Cublak Suweng. Setelah adegan permainan selesai, para pemain menyebar pada area sekitaran pendapa yang tidak lama setelah itu penerangan lampu dimatikan. Kemudian dalam adegan tersebut, sorotan cahaya senter dari beberapa hp yang digenggam dari sebagian pemain, secara kompak menyoroti sebagian pemain yang melakukan adegan monolog. Setelah itu, momen pertunjukan yang bersifat interaktif terjadi.


Singkat adegan saat berakhirnya pertunjukan, 2 orang yang ikut terlibat dalam konsep pertunjukan tersebut meminta agar penonton dapat menyatakan interpretasi mereka terhadap substansi pertunjukan tersebut. “Dari seluruh penghayatan pertunjukan ini, saya minta tolong kepada para penonton agar dapat mengeluarkan pendapat atau mungkin keresahan terkait dengan pertunjukan ini,” kata salah seorang dari dua orang tersebut.


Setelah sesi tersebut berakhir, adegan selanjutnya dilanjutkan dengan lantunan Al-Qur’an dan sholawat oleh 5 orang. Hal tersebut dilakukan karena malam itu merupakan malam pertama di bulan Ramadhan 1444 H. Menurut Eka Nusa Pratiwi selaku sutradara berkata, bahwa konsep pertunjukan tersebut merupakan keresahan-keresahan dari masing-masing pemain yang dihimpun menjadi keresahan yang mengerucut kepada permasalahan tradisi. Hal itu diperlihatkan dalam adegan interaksi seorang pemain dengan penonton tentang suatu fenomena terkait kisah buruh pabrik rokok yang menjadi simbolisasi substansi pertunjukan tersebut.


Kisah tersebut menceritakan sebuah tarian suatu daerah dengan gerakan serupa dengan cara buruh rokok melinting di pabrik Sigaret Kretek Tangan (SKT). Dari tarian tersebut, membuat para pelakon tarian itu berkeinginan kuat untuk menjadi buruh di pabrik rokok tersebut. Namun sayangnya zaman yang telah berkembang telah merubah Sigaret Kretek Tangan (SKT) berubah menjadi Sigaret Kretek Mesin (STM), sehingga secara skala besar, volume buruh produksi dikurangi karena digantikan oleh produksi penggunaan mesin.


Dari semua pertunjukan yang ditampilkan sebelum sholawat dimulai, alur yang mereka mainkan cukup memuaskan para penonton dengan menggiring suasana yang seakan-akan tegang. Walaupun ada sesi meminta pendapat kepada penonton yang terkesan memaksa. 


Pakdhe Gigol selaku seniman teater legendaris hidup di TBJT, angkat bicara secara langsung pada sesi tersebut. Secara garis besar, beliau mengkritik kurangnya wahana psikologi para pemain pertunjukan yang lebih cenderung terkesan mengintimidasi penonton saat meminta pendapat. “Dalam menggiring pertunjukan, pelaku teater harus mengerti psikologi para penonton. Oleh karena itu, kalian gagal dalam hal tersebut,” ujar Pakdhe Gugol.


* Penulis adalah mahasiswa jurusan Antropologi di Institut Seni Budaya Indonesia (ISBI) Bandung


Baca artikel terkait SALAHATEDU #10 di Surakarta berikut:

Ads