Advertisement
Oleh: Mahendra
Pertunjukan “Bus Jalur Wajan Penyok”, (https://www.youtube.com/watch?v=xlCItE1KxRA, diakses terakhir kali tanggal 18 Februari 2023), yang berlangsung pada tanggal 4-6 Desember 2022 lalu, yang secara sadar/nyaman saya memilih dengan sebutan “Jalur Bus Wajan Penyok” dipilih sebagai diksi mengandaikan sebuah medan transportasi pesan kekerasan seksual yang ‘rombeng’. Kenapa ‘rombeng’ karena kekerasan terus diproduksi sebagai suara. Akan tetapi hanya sampai pada kebisingan wacana, belum menjadi pilihan sikap dan tindakan setiap orang. Misalnya indeks kekerasan terhadap perempuan/kekerasan perempuan semakin naik setiap tahunnya. Berdasarkan catatan tahunan periode 2022, Komnas Perempuan menyebutkan bahwa jumlah kasus Kekerasan Berbasis Gender Terhadap Perempuan (KBGTP) sepanjang 2021 sejumlah 338.496 kasus naik dari 226.062 kasus di tahun 2020 (Komnas Perempuan, 2022a, 2022b). Tanggal 29 September 2022 juga dilansir dalam laman kemendikbud.go.id, bahwa angka kekerasan seksual di lembaga pendidikan juga meningkat. Justru sekolah, kampus adalah ruang tidak aman bagi kekerasan, khususnya perempuan. (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2023/01/kemendikbudristek-pertegas-komitmen-menghapus-kekerasan-seksual-di-lingkungan-pendidikan, diakses tanggal 7 Maret 2023)
Saya ketika mendengar jalur bus, merasa mau diajak bepergian menjelajahi sebuah kota, sejarah, orang-orang dan destinasi pengalaman yang menjadi polesan wajah kebudayaan daerah itu. Apa dan bagaimana mereka mencitrakan, dirinya, kejadian, juga kenyataannya. Menarik persoalan secara geneologis, dengan seluruh perspektif yang mungkin menjadi medan ruangnya, begitu pun dengan Madura dan tapal kuda. Seperti kita tahu angkutan umum, yang bus antar kotanya kebanyakan tua dan sudah tidak layak pakai alias ‘rombeng’, sebagaimana penuturan beberapa teman, bahwa angkutan bus Jember-Banyuwangi, yang dirasa sangat tidak layak sebagai angkutan umum dengan semerta-merta tarif setinggi langit lebih mahal dari bus yang lebih layak operasionalnya.
Istilah “wajan penyok” sendiri sebuah metafor ‘kerombengan’ wacana ini. Kita sambil membayangkan kekerasan seperti bekas sisa alat memasak yang sudah usang, tidak bisa lagi dipakai sebagai alat transformasi masakan wacana yang terus ‘digoreng’. Kenapa kekerasan harus terus ‘digoreng’? Siapa saja yang akan mau memakannya (menyantap wacananya)? Sungguh pertanyaan yang penuh pencitraan atas fenomena kenyataan kekerasan itu sendiri. Mungkinkah ‘wajan penyok’ dipilih juga sebagai kerja ingatan akan dapur Ibu, yang secara traumatik menghadirkan ‘kepenyokan’ tradisi privat di dalam dirinya? Ada apa dengan ruang privat? Apa mungkin teater kehilangan ruang privat itu?
Saya sebelumnya ingin memberikan disclaimer, kalau selanjutnya saya banyak berbicara tentang teater di dalamnya, bukan berarti pertunjukan ini juga dapat langsung dipahami sebagai pertunjukan teater. Karena pada dasarnya pertunjukan ini tidak difungsikan sebagai teater sebagaimana pada umumnya. Sekalipun berdasarkan penuturan produser dan koreografer dari project ini dalam sambungan telepon; Wulan Destian Natalia menuturkan bahwa sedari awal tidak mau dibingkai oleh sebutan teater atau tari, hanya saja dalam sesi diskusi bersama Dirdo Adityo, pemberi saran dari Kemdikbudristek, di bulan Agustus 2022 lalu sempat terlontar (secara spontan darinya) bahwa nantinya ingin dipahami sebagai pertunjukan tari. Tetapi Wulan sendiri tidak meyakini, karena karya ini beririsan dengan Hoirul Hafifi, yang biasa dikenal Arung (saya biasa menyebutnya) yang berlatar belakang teater (secara disiplin akademisnya).
Akhirnya Dirdo jadi mendorong untuk memperjelas pertunjukan tarinya—diyakini oleh Wulan sendiri kalau pihak yang mewakili Kemdikburistek pun juga awalnya ragu karena dalam proposal memang tidak secara gamblang disebutkan tari; sekalipun ‘terlihat’ juga sangat beririsan antara tari dengan teater, bisa juga tari dalam teater, atau sebaliknya teater dalam semester tari, yang mana saya juga ingin menelusurinya dalam beberapa jalur merujuk pada ‘keruwetan’ yang sudah berlangsung sedari awal—antara hubungan teater dan tari dalam perlintasannya.
Jalur Kolabs, Bus Pariwisata dan Teater Wisata tentang Semesta Tari
Salah satu penonton yang diundang ke dalam bus, sekaligus diajak menjadi pembaca terkait tema yang dibawa pada pertunjukan “Bus Jalur Wajan Penyok” (Foto: Assiv) |
Saya membayangkan bus pariwisata, tiba-tiba diingatkan pada Ibu-Ibu Pemberdayaan Kesejahteraan Keluarga (PKK). Rombongan Ibu-Ibu yang secara rutin sering melakukan perjalanan tur wisata, acara makan-makan dan arisan. Ya, Ibu-Ibu yang keluar dari rumahnya dan rutinitas keluarga yang membosankan dengan jalan-jalan darmawisata ke destinasi-destinasi wisata atau hiburan dan ziarah. Mereka adalah Ibu-Ibu ceria yang mendapatkan kembali semangat hidup dalam menghadapi kecemasan dengan penuh kebahagiaan setelah berwisata. Terlihat dari seri-seri di wajah, canda tawa, dan dandanan yang sedikit glamor. Itulah ingatan pertama saya dengan bus wisata. Berbeda dengan “Bus Jalur Wajan Penyok”, yang mana saya lebih menyukai dengan sebutan “Jalur Bus Wajan Penyok.”
Video dimulai dengan gambaran sebuah bus berjalan, di dalamnya berlangsung sebuah pertunjukan teater. Dua orang perempuan penari gandrung sedang berlenggak lenggok, seorang lelaki di sebelah kiri, dua perempuan dan sebuah kasur busa. Semua gambar itu ditampilkan oleh sebuah video di dasbord depan bus. Di sana-sini bergelantungan BH, (katho’ Madura) celana dalam, sothel, wajan, topeng, tulisan-tulisan ditempel, panci, dan teks-teks sarkas (hal-hal yang sepertinya selama ini didekatkan dengan narasi perempuan). Ketimbang sebuah bus, saya pikir lebih terlihat seperti sebuah ‘ruangan’, ‘berantakan’ dan ‘jorok’. Secara visual menghadirkan gambar ruangan sebuah kamar personal, sesak dan berantakan. Kita seperti diajak masuk ke dalam suasana privat batin terdalam perihal bagaimana (melihat) perempuan; yang ‘rombeng’ dan ‘jorok’ dalam beberapa tatapan. Dan kita tahu bahwa project ini ingin mempresentasikan kekerasan terhadap perempuan di wilayah kampus seni (salah satunya dihadirkan dalam diskusi zoom di sela pertunjukan—dan mungkin diskusi itu bagian dari pertunjukan).
(Mengenai hal ruang pendidikan bisa dibaca di sini, https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/12/kemendikbud-dorong-penciptaan-kampus-merdeka-yang-sehat-secara-holistik, diakses tanggal 7 Maret 2023). Tetapi kenapa pilihannya bus, sebuah sarana transportasi publik yang sudah tidak begitu menarik hari ini? Dan ingatan Ibu-Ibu PKK plesiran kembali menjadi ingatan yang kontradiksi, apa mungkin berkorelasi.
Saya berpikir, pertanyaan pentingnya adalah sejauh mana konversi bus sarana publik bekerja dalam privatisasi eksploitasi kekerasan saat ini bekerja. Ingatan saya terlempar pada banyak kasus pelecehan perempuan di banyak angkutan umum, kereta api, bus transjakarta, atau angkot. Kita diajak dalam ‘kesemrawutan’ yang sebenarnya tentang kekerasan perempuan. Dan kita tamasya dalam ‘keamburadulan’ wacana tersebut. Berbanding terbalik dengan Ibu-Ibu PKK itu. Saat ini seni telah menjadi medan destinasi wisata baru. Sebuah pemuasan keinginan orang-orang untuk mendapatkan hiburan (atau dalam bahasa tren sekarang ‘healing’). Tapi apakah wisata memungkinkan hadirnya perasaan terhibur? Siapa saja yang mendapatkan hiburan itu? Dua pertanyaan yang sungguh dipenuhi syakwa sangka; bimbang, cemas, curiga, hormat, kalang kabut, khawatir, rusuh, seram, praduga, prasangka, kritikan, tuduhan, dan tuntutan (yang nampaknya tidak tersirat dalam pertunjukan ini).
Apakah kekerasan bisa juga jadi healing? (Sekalipun juga ragu, bahwa pertunjukan ini tidak dipersiapkan sebagai healing). Mungkinkah teater telah bekerja dalam sudut pandang berbalik; pertama, praktik teater seperti benar-benar telah menjadi eksternal. Atau dalam bahasa lain, apakah memang teater kita telah tidak butuh kedalaman. Karena eksternal mengandaikan segalanya dimulai dari luar bukan dari dalam. Berbeda seandainya eksternalisasi sebagai bagian dari metode kerja mengadopsi kenyataan ketika ruang dalam benar-benar ‘kering kerontang’. Kedua, teater healing masihkah berangkat dari katarsis, sedang katarsis dari ruang dalam (atau memang ini tidak ada sangkut pautnya dengan apa yang saya sebutkan—apalagi sehubungan dengan katarsis). Ketiga, ekosistem sebenarnya bergerak di mana dalam kerja presentasi pertunjukan order kekerasan. Tentu tiga poin ini masih sebuah pandangan jauh atas kenyataan yang bekerja.
Alih-alih sebagai kenyataan, justru sebagai ‘gangguan’. Dan dalam dramaturgi gangguan presentasi “Bus Jalur Wajan Penyok” bekerja, distribusi dan pengetahuan. Sebab dalam dramaturgi gangguan, intervensi bekerja. Dan dalam “Jalur Bus Wajan Penyok” mencoba mengintervensi ruang publik akan kekerasan perempuan yang semakin tidak aman, dan samar-samar. Tapi siapakah penontonnya? Jika boleh kita mengandaikan penonton sebagai orang yang menyaksikan, bagaimana sebuah kekerasan menjadi tontonan. Apalagi publik tidak berada di sana (di dalam bus). Pertanyaan lain, bagaimana kesadaran bekerja dalam penonton jaringan (warganet)?
Video, mungkin sebagai ikhtiar merengkuh publik ke dalam, atau melempar yang dalam kepada yang di luar (eksternal). Pertanyaannya bagaimana teknologi dihadirkan sebagai solusi transformasi gagasan atas kemampatan ruang itu? Sebagai ruang upaya bertemunya kolaborasi, atau teknologi video hanya dipakai sebagai penyampai karena gagalnya ‘mulut’ kita? Semacam gagalnya wacana kekerasan dalam banyak penyelesaian. Saya tidak mau menduga-duga, tetapi ada kemungkinan estetika komputasi (dalam praktik “Jalur Bus Wajan Penyok” ini) belum maksimal, dan itu sangat diakui oleh Wulan maupun Arung sendiri, karena ‘kemaksimalan’ bukan tujuan utama puncaknya. Bisa jadi yang dipakai sebagai kredo dalam hidup keduanya “bahwa ketidakmasimalan sebagai jalur untuk merenggut kemaksimalan yang tertunda”. Barangkali juga Arung (khususnya), sangat ‘bahagia’ dengan segala ‘kegagalan’nya. Kembali terbayang Ibu-Ibu PKK pulang dari plesir membawa foto; diri mereka sendiri, bus, tempat destinasi, kejadian dan momen penting; yang sama sekali bertentangan dalam pertunjukan ini dengan membawa arsip-arsip pertunjukan yang “membagongkan”.
Jalur Teater, Kekerasan, Kekerasan, dan Ingatan
Elsya, performer menari gandrung, Banyuwangi, di “Bus Jalur Wajan Penyok” (Sumber: YouTube Wulan Destian Natalia) |
Saya ingin mengajukan pertanyaan sehubungan dengan teater, yang sudah barang tentu dari awal sudah dijelaskan bahwa ini bukan bentuk teater ataupun tari, karena saya berlatar belakang teater dan ingin mempermudah teks saya sendiri, karena mungkin memang jauh dari bentuk teater (lihat; Ahmad, A. Kasim. 1990. Seni Teater. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan; Noor, Arifin C. 2005. Teater Tanpa Masa Silam (Sejumlah Esai Budaya). Jakarta: Dewan Kesenian Jakarta; Yudiaryani. 2022. Panggung Teater Dunia Perkembangan dan Perubahan Konvensi. Yogyakarta: Pustaka Gondho Suli; Litche, Erika Fischer. 1991. Semiothic of Theatre. Indianapolis: Indiana University Press; dan Soemanto, Bakdi. 2002. Jagat Teater. Yogyakarta: Media Pressindo), kalau berbicara bentuk bisa lebih dekat dengan kerja-kerja performance (secara keseluruhan); sehingga mungkin pemahamannya berbeda dalam istilah ini. Bagaimana teater bekerja? Dan di mana simbol akan didudukkan?
Teater bahkan bisa berada di luar bayangan pikiran. Karena sebenarnya imajinasi tidak berbatas dan bisa di batas. Karena begitu spesialnya sebuah pertunjukan. Bahkan seharusnya sebuah karya pertunjukan teater tidak boleh dikonfirmasi dengan kenyataannya—merujuk pada praktik kerja saya, karena bisa jadi teater benar-benar berbeda dan baru (yang memang mungkin tidak difungsikan sebagai teater kalau terkesan ini sehubungan dengan konfirmasi kenyataan). Begitulah kita sering kali kecele ketika berusaha membaca sebuah pertunjukan teater. Justru karena pikiran kita dipenuhi ‘harapan’ eksternal yang bergelayut dalam konstruksi tatapan pertunjukan. Kalau begitu bagaimana dengam teater “Jalur Bus Wajan Penyok”, yang saya merasa nyaman (sekali lagi) menyebutnya ketimbang teks yang disodorkan Wulan, yang berkelindan dengan Arung. Sudahkah “Jalur Bus Wajan Penyok” sampai pada kekerasan perempuan?
Atau apa pentingnya bagi seorang Arung yang laki-laki? (yang sudah bisa diduga bahwa ini adalah relasi antara Wulan dengan Arung, yang dibawa keluar secara syakwa sangka, atau pertanyaan ini memang pertanyaan ‘naratif’ yang tidak dibutuhkan jawaban bagi laki-laki yang mengarah pada feminisme atau pro feminisme, atau orang-orang yang hidup dalam ‘karakter’ Arung, yang dipenuhi dengan trauma kekerasan perempuan, atau hal lain sehubungan dengan irasionalitas dalam tubuhnya—yang nampaknya ‘bertegangan’ terus menerus dengan perempuan).
Kekerasan seksual adalah setiap perbuatan merendahkan, menghina, melecehkan, dan/atau menyerang tubuh, dan/atau fungsi reproduksi seseorang, karena ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan psikis dan/atau fisik termasuk yang mengganggu kesehatan reproduksi seseorang dan hilang kesempatan melaksanakan pendidikan dengan aman dan optimal (http://www.dikti.go.id/kabar-dikti/kabar/menciptakan-kampus-aman-dan-nyaman-bebas-dari-perundungan-dan-kekerasan-seksual/). Apa itu “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender”? Menurut Komnas Perempuan (2017), “ketimpangan relasi kuasa dan/atau gender” adalah sebuah keadaan seorang ‘terlapor’ dalam menyalahgunakan sumber daya pengetahuan, ekonomi dan/ atau penerimaan masyarakat atau status sosialnya untuk mengendalikan korban.
(https://itjen.kemdikbud.go.id/public/post/detail/wujudkan-kampus-merdeka-dari-kekerasan-berbasis-gender-puspeka-gelar-webinar) dan (https://www.kemdikbud.go.id/main/blog/2020/11/cara-puspeka-kemendikbud-kurangi-tingkat-kekerasan-berbasis-gender)
Pertunjukan yang dikoreograferi Wulan ini—dan disutradarai Arung; juga bertindak sebagai performer, lecture-performance, dan peneliti dalam bus, yang mana segalanya memang kabur ketika dipertanyakan tentang siapa dirinya. Wulan tidak terlihat di sana, tetapi saya meyakini data-data yang hadir tidak lain secara tidak tersirat merupakan data pengalaman ‘kekerasan’ Wulan yang diperpanjang oleh Arung dalam produksi wacananya di ruang akademis, minat penciptaan (teater—yang mungkin sama sekali pada praktiknya teater secara pengertian global; bukan yang mendalam, bahkan dia sangat senang menyebutnya “dangkal” atas pemahaman teater, makanya dia terus menempuh studi dari S-1 hingga S-3 pada peminatan penyutradaraan teater dengan segala problematiknya). Yang kalau dilihat hampir semua garapannya menampilkan “estetika chaos”.
Estetika chaos ini yang ditawarkan oleh Arung dalam beberapa kerja penyutradaraannya, dipahami oleh saya sebuah cara pandang ‘keruwetan’ atas realitas-realitas dibangun oleh kekacauan yang teratur—yang beberapa disebut sebagai order atas ingatan kekerasan dalam keluarganya, keluarga blater di Burneh, Bangkalan. Traumatik inilah yang mendasari semua gagasannya tentang kekerasan seksual perempuan dalam beberapa pertunjukannya. Dalam “Jalur Bus Wajan Penyok” nampaknya Wulan sendiri ‘diganggu’ oleh Arung, yang kemudian nampak seperti melakukan ‘gangguan’ pada ruang publik, perjalanan pertunjukan di dalam bus sebuah alegori atas kenyataan kekerasan yang terus berjalan, berlangsung di mana-mana, tidak mengenal ruang dan waktu. Dan jelas mengintervensi publik. Intervensi seperti menolak tunduk pada skenario, atau tepatnya kelihaian improvisasi. Karena improvisasi seharusnya dimulai sejak pra-gagasan. Sebelum sebuah pertunjukan terjadi sebagai peristiwa pertunjukan. Menarik mengkonfirmasi pertunjukan pada tematik yang diusung, semacam tema kekerasan ini juga pada tema perempuan.
Kekerasan sebagai sebuah perlakuan tidak adil atas relasi kuasa seseorang atas orang lain melalui gender, khususnya patriarki sebagai dominasi lelaki. Dan penggorengan wacana perempuan seperti ingin menarik empati kita (masyarakat), mendorongnya untuk menolak, juga distribusi dan produksi pengetahuan. Bagaimana memaknai solidaritas dalam isu kekerasan? Solidaritas sebagai langkah pencegahan, semacam membangun kekuatan melalui kolektivitas rasa sakit bersama. Atau justru sebaliknya sebagai kemarahan. Jika kita menimbang kenyataan yang terjadi dalam narasi kekerasan gender dan feminitas, pertanyaan bagaimana dengan Arung yang laki-laki menjadi penting—yang tersembunyi membawa narasinya Wulan untuk saling mengedvokasi bersama. Solidaritas sering hanyalah motif di luar diskursus kekerasan itu sendiri. Mungkin juga adalah resistensi. Walaupun saya percaya momentum pertemuan rasa sakit, kolektivitas energi dan kreativitas sebagai usaha menolak kekerasan bisa bekerja maksimal dalam performance. Sebab sejatinya sebuah karya adalah perlawanan.
Jalur Tubuh, Kehadiran, dan Koreografi Sosial
Moh. Said, sopir bus yang membawa narasi kekerasan di sepanjang jalan Banyuwangi-Situbondo, Surabaya-Bangkalan, & Malang-Blitar (Foto: Assiv) |
Tubuh seperti dilihat oleh Tatsumi Hijikata sebagai keberadaan, cara hidup bukan tarian seperti dinukil dari afrizal malna dalam (Malna, Afrizal. 2020. kandang ayam korpus dapur teks. Yogyakarta: DIVA Press). Tubuh dibawa oleh seorang penampil kepada wilayahnya yang transparan, dalam artian terbuka bagi pandangan. Sehingga kehadirannya melampaui warna dan ruang. Begitu pun kekerasan di dalam kehidupan kita. Dalam praktik teater kita hari ini seperti dilemparkan pada narasi (walaupun dalam capaiannya yang berbeda) ke dalam teater spesifik, isu tertentu, metode, praktik dan distribusi spesifik, semacam teater miskin (poor teathre) Jerzy Grotowsky (1933-1999) di Polandia. Pada sisi lain kehadiran teater sekarang yang anti representasi seperti menolak kerja koreografi. Sejalan juga dengan kenyataan masyarakat kita yang semakin terbuka (sarkas dan banal). Apa adanya dan spontan. Sehingga dalam banyak kerja pertunjukan sebagai action sosial, sebagai kejadian mampat; padat, tidak berongga-rongga: buntu; terhenti (tidak mengalir lagi dan sebagainya). Seolah tubuh ditinggalkan narasi yang semakin tinggi di awang-awang.
Koreografi yang dilakukan Wulan dalam pandangan saya memang ‘dirahasiakan’ melalui tubuh Arung yang banyak menghadirkan apa yang ada dalam dirinya sendiri sambil lalu ‘menyeret’ benda-benda di sekitarnya, seperti seng, karet, kain sarung, botol, selang, wajan, sepatu, tali juga tubuh perempuan penari. Bahkan juga berbalik ‘menyeret’ Wulan ke dalam dirinya (yang terus dipertentangkan—semacam pertentangan intelektual, metaforik, di antara keduanya, atau bahkan ‘medan kuasa’ itu ada di antara keduanya). Dia menghadirkan simbol-simbol kekerasan, mengacak garis struktur penceritaan hingga ke nadir semiotik. Model dan bentuk pertunjukan semacam ini, kita sering menemukannya di dalam banyak aliran seni. Pernah muncul fenomena ini dalam seni rupa sebagai happening art, di antara salah satunya Allan Kaprow (1927-2006), perupa Amerika, di mana kita tidak hanya diajak pada kepuasan mata dan telinga tapi pada dialektika pengetahuan, sebagai gagasan-gagasan visual gambar, atau melalui politik visual (gambar 2 dan 3 dimensi).
Saya menduganya, mungkin ini sebagai ruang kerja praktik pembelajaran “Jalur Bus Wajan Penyok” bisa ‘diseret’ ke dalam “paratheatrical riset”. Sebagai bahan kajian atas fenomenologi sosial saat ini, bahkan patologis atau bisa jadi psikiatri. Seperti bagaimana mengurai hubungan koreografi sosial dengan kenyataan tubuh pertunjukan yang cenderung verbal. Maka teater terus berada dalam mercusuar ketinggian tafsir. Dan teater semakin jauh, benar-benar privat di dalam dirinya sendiri. Bagaimana dengan seksualitas dilihat dalam perspektif ‘ruang dalam’ performance?
Saya ingin menarik pada hubungan ontologis, bila isu kekerasan seksual ditarik dalam perspektif seks dan cinta, kecamuk dan gelombangnya menemukan muaranya di dunia privat — di palung rahasia yang tak terjangkau liyan (the other). Wilayah seks dan cinta seolah wilayah privat; tak bisa dilihat ulama, para tokoh adat, pak lurah, satpol PP atau Bareskrim sekalipun. Sulit diadili dengan KUHP, bahkan RUU PKS yang polemik. Sehingga saksi dan barang bukti menjadi sangat penting keberadaannya dalam pembuktian, karena kerjanya yang privat itu. Memang sesekali ada (misalnya karya sastra, pertunjukan teater dan pornografi) yang mencoba mengintip proses seks dan cinta untuk diceritakan ke khalayak ramai. Tapi di sini kata dan mata seni hanya ikhtiar yang gagal. Seks dan cinta tetap tersimpan aman di dalam.
Mungkin inilah kenapa penyelesaian kekerasan seksual pada perempuan selalu gagal, sebab kita tidak membuka ruang privat kita yang samar. Diskursus “kegagalan”, “ruang privat seks” dan “kekerasan” menciptakan gestikulasi; gerak isyarat tangan, dari kenyataan hidup kita saat ini. Satu sisi kita menolak di ‘sisi dalam’ kita membuka tangan insyaf. Semisal dalam sebuah kasus pemerkosaan bisa selesai dengan damai hanya memberikan ganti rugi uang. Mentalitas uang, cara pandang pragmatis-materialis menciptakan tubuh segalanya, takut sakit dan kelaparan semacam koreografi sosial yang banal dan sarkas; verbal dan spontan.
Jalur Estetika Chaos, Biografi yang Pecah dan Performance Curhat
Salah satu kekerasan metaforik di antara tubuh, biografi, dan wacana (Sumber: YouTube Wulan Destian Natalia) |
Kita bisa melihat refleksi “keruwetan” itu dalam beberapa garapan pertunjukan yang (yang pernah saya tonton) pernah dipentaskan. “Kepada yang Sakit” yang seingat saya sebutan “Mereka sampah” (Taman Chadra Wilwatikta, 2020), “Jeknebenne” (Bangkalan, 2021), “Rong Dhelem” (PSBK, 2022), dan yang paling baru “Jalur Bus Wajan Penyok” (Kemdikbudristek, 2022), semua berangkat dari “kesemrawutan” biografis yang traumatik sehingga Arung tidak bisa menarik diri dalam jarak, dan membangun sebuah pandangan yang bersih.
Wulan pun kali ini nampaknya ikut ditarik dalam “kesemrawutan”nya. Kedekatan dengan tema kekerasan yang dialaminya sejak kecil membuat dia tidak bisa menarik ruang antara. Sehingga pertunjukan berbaur dengan seluruh pengalaman sendiri, dan perasaannya tak bisa bebas keluar (walaupun dia selalu bilang biar dia bicara dirinya sendiri saja). Arung “terjebak” di dalam dan tidak bisa move on (dan nampaknya jangan langsung dipahami terjebak sebagai pertentangan (hal yang salah), itu justru “hal” yang biasa baginya yang selalu bermain-main dengan “terjebak” (dan mungkin memang tidak mau keluar, tetapi diperlukan ‘kematangan’ dalam strategi dalam menempuhnya). Begitu pun dalam menyikapi alur, tubuh, dramatik, skenario, juga dramaturgi, distribusi dan penyutradaraan.
Narasi Wulan tentu bagi saya atas “kekerasan seksual”, sangat berhubungan dengan narasi “kegagalan” yang sering dilemparkan Arung. Bahkan dalam dunia penciptaan teater di ranah akademis yang ditempuhnya selalu diujarkan, “Saya tidak bisa garap teater, mbuhlah pertunjukanku mau dibilang teater atau bukan”, begitu statemennya. Bahkan dia mengatakan, saya kuliah penciptaan teater, tapi tidak tau juga buat apa. Ironi bukan! “Mbuhlah pertunjukanku mau dibilang teater atau bukan”, sebuah narasi “kegagalan” yang dibocorkan dari kehidupan sehari-hari, dan menjadi dorongan dramaturgi performance sebagai jurnal kegagalan-kegagalan (bisa dibaca dalam tulisan saya di Radar Madura 2021, Minggu, 14 Maret 2021, “dramaturgi chaos atau jurnal kegagalan”). Tetapi justru dalam “kegagalan” itu, Arung mampu keluar dan menemukan dirinya kembali, sekaligus bangga. Sehingga dalam praktik performance dia cenderung intervensi dan melakukan ‘gangguan’, untuk mendapatkan batin dirinya sendiri—syukur orang lain juga terlibat, kalau tidak sebagai healing, dan relasinya dengan di antara keduanya ada dalam metode partisipatoris dan advokasi (dan untuk keduanya).
Satu sisi ini menarik sebagai sebuah wacana tawaran pembatalan teater, justru ketika teater seolah paten dan gagah. Apalagi ketika paradigma teater juga diperhadapkan dengan seni tinggi dan seni rendah. Justru ketika teater dilebur, dicopot dari nama teater, teater akan menjadi apa? Persis jika pertanyaan ini dilemparkan sebagai wacana baru, lantas apa yang mungkin dipertentangkan. J.B Bury (1861-1927), sejarawan Irlandia, dalam The Idea of Progress, mengungkapkan bahwa setiap perkembangkan ilmu pengetahuan sebagai suatu tahap perkembangan yang terjadi pada satu garis lurus (linier). Suatu gerak perkembangan yang menggambarkan perbaikan dan perubahan kearah kemajuan serta merupakan kelanjutan dari peristiwa sebelumnya tapi bukan merupakan pengulangan.
Hal yang sama juga dikemukakan oleh Jean Baudrillard (1929-2007), filsuf Prancis, yang menyatakan bahwa perkembangan ilmu pengetahuan adalah sebuah proses bergerak ke depan sebagai bentuk kemajuan (progress) melalui pergerakan linier yang di dalamnya masa depan digambarkan sebagai sebuah “harapan kebaruan” yang tidak pernah habis. Berbeda dengan Bury dan Baudrillard, Prijoft Capra, American physicist, kelahiran Austria, yang mencoba “melacak” perkembangan ilmu pengetahuan melalui teorinya Arnold Joseph Toynbee (1889-1975), filsuf Inggris, yaitu keruntuhan dan kebangkitan suatu peradaban (challenge and response). Capra mengungkapkan bahwa peradaban itu terus tumbuh ketika respons terhadap tantangan awal berhasil membangkitkan momentum budaya yang membawa masyarakat keluar dari kondisi equilibrium, kemudian memasuki suatu keseimbangan yang berlebihan (overbalance), yang tampil sebagai tantangan baru. Dengan cara ini, maka pola challenge and response awal berulang dalam fase-fase pertumbuhan berikutnya. Dengan masing-masing respons itu berhasil menimbulkan disequilibrium yang menuntut penyesuaian-penyesuaian kreatif.
Menimbang pernyataan challenge and response di atas saya mencatat ada beberapa kemungkinan yang bisa dibaca sebagai tawaran pada jurnal praktik “kegagalan” Arung dalam relasi kuasa gendernya dengan Wulan—yang mungkin terjadi sebaliknya, dan semuanya itu dapat dipahami sebagai “kegagalan”; 1) biografis—terlalu dekat dengan tema kekerasan (dan di antaranya pengalamannya sendiri), misalnya dalam pertunjukan “Jek Nebenne” sebagai tugas akhir magisternya kala itu, ketika dia melibatkan Ibunya. Bahkan Ibunya sebagai gagasan utama pertunjukan itu. Dan pada saatnya keluar seluruh potensi intervensi yang saya bayangkan justru karena emosi yang meluap dan tidak terbendung—yang juga mungkin emosi itu terjadi lagi di antara pertemanan beda gender dan generasi antara Wulan dan Arung, sangat memungkinkan kedepresian, kestresan, kebaperan, kemarahan, dan beragam perasaan lainnya yang mengganggu psikis keduanya (khususnya Arung); 2) sarkasme, eksplorasi yang cenderung verbal, mengungkap tabu, menyakiti bahkan mengintervensi secara langsung di dalam pertunjukan, sehingga pertunjukan terkesan banal dan sarkas; serta, 3) chaos atau jurnal dari kegagalan dramaturgi dan gangguan sebagai akibat meledaknya impulsifitas bawah sadar.
Praktik chaos dipakai Arung dalam wacananya Wulan, saya duga untuk menemukan tatanan umum sistem sosial (khususnya Burneh-Bangkalan, atau blater dan keluarga, yang kini melihat lanskap Banyuwangi sebagai “proyek masa depan”nya), lebih khusus sistem sosial yang mirip satu sama lain, gender, kekerasan seksual dan kelas sosial, yang seluruh asumsinya di bangun atas ‘ketidakpastian-ketidakpastian’ dalam suatu sistem kemudian direpresentasikan sebagai perilaku keseluruhan, yang memberikan sejumlah prediktabilitas, bahkan ketika pertunjukan tidak stabil. Justru dalam ketidakstabilan pertunjukan, pertunjukan merumuskan dirinya.
Estetika chaos bukanlah sistem (pertunjukan) yang acak. Justru dalam pertunjukan chaotic penciptaan memiliki semacam ketertiban; dengan menemukan tindakan-persamaan yang menentukan tubuh, gestur, dialog, komunikasi, pengadeganan, tafsir sebagai akibat perilaku keseluruhan. Para ahli teori kekacauan pertama menemukan bahwa sistem kompleks sering melalui semacam siklus pembiasaan, meskipun situasi tertentu jarang diduplikasi atau diulang. Misalnya, sebuah bus dengan kapasitas 40 orang penumpang. Untuk mengakomodasi pertunjukan (orang-orang) ini, narasi kekerasan dibangun sebagai metafora, sebuah ruang permainan disiapkan, semiotik, dan benda-benda dibiarkan bocor. Dalam hal ini, pemanfaatan sarana bus ini diharapkan hubungan tari, teater, tubuh, kehidupan sosial, kekerasan, estetika menuju keseimbangan tercapai.
Saya coba mencatatkan suatu kesimpulan, apa yang berlangsung saat ini seluruhnya performatif. Bahkan puisi dan seni rupa, (justru kadang pertunjukan tidak performatif) justru ketika orang berada dalam titik tekan (traumatik) kesadaran, emosi, imajinasi tampil sebagai juru selamat. Kesadaran dipakai sebagai kepentingan untuk semata kebertampilan realitas, eksistensi dan material adalah medan curhat sosial. Sebuah keinginan untuk berbagi dan kesetaraan. Pertanyaannya, mungkinkah kita berbagi perasaan yang sama, sementara pengalaman gesturalnya berbeda, atau biografi identitasnya juga berbeda. Hanya satu yang mungkin ditandai dari seluruh kenyataan (pertunjukan-teater), atau apa pun bentuknya hari ini semua berebut ingin bicara. Dan semua terperangkap polusi suara. Sehingga setiap diri mengungkap kepada realitasnya bukan sebaliknya. Lantas apakah masih perlu tubuh kita digerakkan, di tengah suara-suara yang mengatasi tubuh dan konteksnya? Jika mungkin untuk diam, apakah menerima dan pasrah berarti menyepakati kekerasan?
*Language Theatre Indonesia, 2023