Advertisement
Pentas "Biduk Berkeping" oleh Teater Balai (Foto: Pojok Seni) |
Oleh: Ikhsan Satria Irianto
Apabila
pertunjukan drama realis biasanya ditampilkan dalam sebuah gedung konvensional dengan
fasilitas yang mencukupi, dengan sorotan lampu yang tergantung pada bar lights,
dekorasi dengan konstruksi yang memukau, akustik gedung yang sempurna (anti
noise), penonton yang duduk tertib di bangkunya, sepertinya tidak terjadi
dalam pementasan “Biduk Berkeping,” produksi Teater Balai.
Pementasan tersebut tidak berlangsung di gedung presentatif untuk sebuah pertunjukan teater seperti proscenium, melainkan di sebuah GOR (Gedung Olah Raga) yang bernama Lareh Nan Tobang, berlokasi di daerah Tabek Patah, Kabupaten Agam. Pertunjukan tersebut dapat dikatakan sebagai kebangkitan sandiwara lama yang digarap secara modern dengan pola pementasan teater realisme. Perbedaan yang mencolok antara sandiwara lama dengan pementasan tersebut terlihat dari permainan aktor yang natural dan detail setiap adegan yang digarap secara rapi, tanpa ada stilisasi berlebihan. Meskipun pementasan “Biduk Berkeping” tidak berlangsung di dalam gedung konvensional, namun pertunjukan berlangsung cukup memukau. Hal itu dapat dilihat dari respon penonton yang tampak menikmati adegan per adegan.
Abdul Hanif sebagai sutradara menggarap karyanya secara kreatif, pada bagian musik pengiring ia menggunakan saluang dendang dengan komposer Chepri Zulda—yakni dendang dengan irama khas Minangkabau yang diiringi instrumen tiup saluang—dendang berisikan tema-tema adegan yang disampaikan secara mendayu. Pada bagian set-dekorasi dibangun menggunakan kerangka bambu yang dililit oleh kain, namun tetap memperlihatkan kesan dinding pada sebuah rumah meskipun teknik tersebut bisa dibilang cukup minimalis. Sedangkan pada permainan aktor, sutradara mengarahkan aktor pada permainan yang natural, dengan tata kelola emosi yang baik. Sehingga pertunjukan tersebut dapat menghadirkan suasana sebagaimana yang terjadi pada kenyataan sebenarnya.
Adegan pertama menceritakan Salsabila sebagai Rosmina, seorang ibu yang suka menyindir Ahmad Ridwan Fadjri sebagai Agus. Agus sendiri merupakan seorang menantu yang jarang bekerja, sehingga sering bertengkar dengan Casandra Dwiloved sebagai Yeti, istri dari Agus. Adegan ini diisi oleh intensitas emosi yang cukup tinggi, sehingga penonton langsung dibuat berdebar oleh pertengakaran antara Agus dan Yeti. Konflik pertengkaran suami istri tersebut kemudian diredam oleh kedatangan Alfian sebagai Armen, Armen sendiri merupakan suami dari Yusma, kakak perempuan Yetti, sehingga penonton tersenyum dengan tingkah jenaka Armen yang berusaha menasehati Agus. Mereka saling mengobrol, dan di akhiri adegan Agus pergi setelah kembali bertengkar dengan Yeti.
Adegan
berlanjut, saluang dendang mengabarkan kisah Agus yang tidak kunjung
mendapatkan pekerjaan. Tentu hal ini sangat tidak dapat dimaklumi oleh Rosmina,
di dalam adegan Rosmina lagi-lagi menghina Agus yang tengah makan, dengan
sarkas mengusir kucing yang suka mencuri makanan di dapur. Sontak Agus pun
marah dan masuk ke dalam kamar dengan raut wajah yang super kesal. Lalu konflik
semakin naim di adegan ketiga, saat seisi rumah mengetahui bahwa Yeti sedang
hamil. Rosmina tentunya sangat mengutuk perilaku Agus yang meninggalkan
istrinya. Agus diketahui pulang ke tanah Jawa—kampung halamannya—karna sudah
tidak tahan disindir terus menerus.
Pada adegan empat plot twist terjadi. Armen yang selalu disanjung-sanjung oleh Rosmina, ternyata telah melakukan perselingkuhan dengan Yeti. Armen yang kaya-raya sekaligus seorang menantu yang selalu dibanggakan Rosmina, ternyata selama ini telah menyogok Rafi Razak sebagai adik laki-laki dari Sulastri Wulandari sebagai Yusma dan Yeti. Kejadian itu terbongkar setelah Yusma menemukan foto-foto Armen dan Yeti di dalam laptop Anton. Konflik makin memuncak setelah Aulia Nadila sebagai Sela memasuki rumah sambil membawa pisau. Ternyata Sela sendiri adalah pacar Anton yang telah dihamili oleh Anton sendiri. Pada akhir adegan, penonton seperti tidak menduga sama sekali dengan semua kejadian yang disuguhkan, dan semua itu tergambar dari sorak sorai penonton yang meneriaki aktor-aktor yang bersangkutan, seakan kejadian tersebut benar-benar terjadi.
Secara keseluruhan pertunjukan “Biduk Berkeping” cukup menghibur sekaligus menegangkan, dengan sajian konflik, tingkah laku beberapa aktor, dan sajian plot twist yang terkandung di dalamnya. Produksi tanpa ticketing oleh Teater Balai seperti menghidupkan kembali kerinduan penonton terhadap sandiwara. Sebagaimana mestinya, bahwa pertunjukan adalah milik masyarakat, milik penonton, Teater Balai seperti membuktikan bahwa pertunjukan itu memang milik masyarakat. Dengan sedikit menghadirkan kritik terhadap permasalahan rumah tangga, dipadu dengan teknis dekorasi yang sederhana, namun tidak mengurangi kualitas pementasan. Teater Balai mampu menengahi itu semua dengan menggarap sebuah produksi teater realis yang dapat dinikmati oleh kalangan awam.