Advertisement
Pentas teater anak-anak dari Teater Serut (foto: Pratama Reski Wijaya) |
Empat orang sepuh memulai pertunjukan, membuka rangkaian pementasan dalam SalaHatedu #10 tahun 2023 di Wisma Seni Taman Budaya Jawa Tengah, Jebres, Surakarta, Jumat (17/3/2023). Mereka adalah pelaku seni Kentrung Bate asal Tuban, Jawa Timur. Seni tutur yang disebut-sebut sangat langka dan nyaris tak memiliki regenerasi; sebuah kabar buruk bagi seni pertunjukan di Indonesia.
Tentu saja, generasi muda menjadi pihak yang paling disalahkan atas preseden buruk ini. Mereka dinilai abai pada kekayaan seni pertunjukan Indonesia; sebuah antitesis dari premis besar SalaHatedu tahun ini, "Daya Hidup Seni Pertunjukan". Ada seni pertunjukan yang kembang kempis, alias tak berdaya melawan perkembangan teknologi yang berjalan sedemikian pesat.
Namun, situasi benar-benar berubah ketika dua grup lainnya juga sama-sama mengusung teater tradisi di acara tersebut. Grup pertama Arjasura yang berisi kumpulan mahasiswa asal Jawa Timur yang berada di Surakarta. Grup kedua adalah Congwaydut asal Solo. Arjasura membawakan pertunjukan Janger, sebuah pertunjukan teater tradisional asal Banyuwangi, Jawa Timur. Sedangkan Congwaydut membawakan pertunjukan Wayang Kulit, pertunjukan teater boneka Indonesia yang telah mendunia.
Kedua pertunjukan ini memberi warna yang berbeda. Penonton benar-benar tertarik dan rela duduk menyaksikan pertunjukan tersebut, meski rintik hujan mulai menetes. Apa yang membedakan Janger dan Wayang Kulit dengan pertunjukan Kentrung Bate di pembukaan? Inovasi dan modernisasi!
Bila Kentrung Bate dibawakan oleh empat orang yang sudah berusia sangat sepuh, maka Wayang Kulit dan Janger dibawakan oleh sekelompok anak muda. Meski mempertahankan nilai-nilai tradisi dengan sangat kuat, namun pertunjukan tersebut benar-benar berbeda, dan jauh lebih dekat dengan publiknya di era ini, ketimbang Kentrung Bate.
Pentas Kentrung Bate dari Tuban Jawa Timur
Kentrung Bate asal Tuban (foto: Pratama Reski Wijaya) |
Tidak banyak yang bisa dikatakan dari pertunjukan kentrung satu ini. Awalnya, kentrung ini nyaris bisa ditemukan di setiap sudut Tuban, bahkan dibawa oleh senimannya dari rumah ke rumah. Bahasa yang digunakan adalah bahasa Jawa kuno (Kawi) yang nyaris tak bisa dimengerti oleh sebagian besar penonton.
Pertunjukan ini ditunjukkan oleh seorang pencerita (yang menyelipkan salawat dan doa untuk Nabi Muhammad SAW di tengah-tengah ceritanya), diiringi oleh tiga orang yang masing-masing menggunakan alat musik perkusi. Cerita yang disampaikan adalah dongeng Jaka Tarub, Perawan Sunti, dan mungkin dongeng lainnya.
Tidak ada dramatik yang dibangun, semuanya berjalan flat. Tempo musik pengiring sesekali naik lebih cepat, namun usia renta pencerita terlihat cukup sulit mengikutinya. Pertunjukan yang berdurasi 40 menitan itu berakhir tanpa klimaks. Saat itu, kekhawatiran akan menghilangnya satu persatu kekayaan seni pertunjukan di Indonesia mulai membayangi benak pemirsanya. Apakah benar seni tradisi se-tidak berdaya itu?
Apalagi, pertunjukan setelah itu adalah Teater Ginyo dari Lamongan yang membawakan teater modern. Meski cerita yang dibawakan berbentuk stereotip dari "cinta di ujung usia" (meminjam istilah Willy Fwi), serta konflik tentang susu dingin dan jaket merah jambu yang cenderung flat, namun tetap saja publik lebih menikmatinya ketimbang Kentrung Bate.
Berlanjut ke Teater Serut yang merupakan teater anak-anak dari Solo, yang diiringi musik bambu yang apik dari Pringgolaras. Anak-anak tentunya menghadirkan sesuatu yang manis, tapi masih belum cukup untuk memenuhi dahaga publik yang menerobos hujan untuk datang ke Taman Budaya Jawa Tengah malam itu. Keluguan dan kepolosan anak-anak memang selalu menghibur, tapi publik datang bukan untuk itu. Yah, setidaknya ada sedikit hiburan; ada penerus seni teater di masa depan.
Pentas Janger dari Arjasura
Pentas Janger dari Kelompok Arjasura (foto: Pratama Rezki Wijaya) |
Manifesto "Daya Hidup Seni Pertunjukan" dihadirkan oleh kelompok Arjasura, akronim dari Arek Jawa Timur di Surakarta. Mereka menghadirkan Janger, pertunjukan teater rakyat dari Banyuwangi, Jawa Timur. Dan, yah pertunjukan ini memenuhi apa yang dikatakan oleh Arthur S Nalan sebagai "kelengkapan estetis sebuah pertunjukan". Mereka menghadirkan teater, tarian, musik, dalam satu bundel yang komplit.
Membawa tajuk Wirabhumi, pertunjukan ini membawa semangat romantisisme. Pertunjukan khas teater klasik ala Jawa dicirikan dengan karakterisasi tokoh yang cenderung utopianisme psikologis. Didukung pula dengan kostum khas Jawa Timur era abad pertengahan, namun penuh warna. Akting yang distilir dengan cukup baik, dipadu dengan musik yang elegan tidak hanya membangun cosmos pertunjukan. Tapi juga memberi jeda kontemplatif sebagai penyambung antar adegan. Tarian yang hadir di sela adegan, memang terkesan berjarak dengan alur cerita, namun ia juga hadir sebagai "perekat" yang menjadikan pertunjukan ini terkesan epistoler.
Sutradara pertunjukan, Afian, menyebut bahwa Janger berdasar pakemnya, dibawakan dengan menggunakan bahasa Osing, bahasa asli Banyuwangi. Namun, mempertimbangkan pentas di khalayak Solo, maka pertunjukan ini diubah menjadi bahasa Jawa. Inilah yang menjadi kekuatan generasi muda memahami seni tradisi, mereka bisa bernegosiasi, dan memelajari kebutuhan publik. Penonton yang dari Sumatera, mungkin kesulitan mengartikan dialog-dialognya. Tapi, masih cukup terhibur dengan rangkaian spektakel yang padat dan utuh.
Generasi "senior" mungkin alergi dengan negosiasi generasi muda, seperti yang dilakukan Arjasura. Namun, seperti yang dikatakan Afian, grup ini punya agenda untuk mempertunjukan bermacam-macam kesenian Jawa Timur lagi ke khalayak. "Janger adalah salah satunya, yang kami masukkan dalam semacam ekstra atau divisi di grup kami," kata Afian.
Terlepas dari kelebihan dan kekurangan yang ada di pertunjukan Janger bertajuk Wirabhumi dari Arjasura ini, setidaknya ada satu hal pasti yang bisa dipelajari. Seni tradisi butuh negosiasi. Karena di era teknologi, seni mesti datang sendiri pada publiknya, sebelum berharap publiknya yang datang ke seni.
Pentas Wayang Kulit "Monolog" dari Congwaydut
Wayang kulit Monolog oleh Congwaydut (foto: pribadi) |
Pertunjukan Janger disambung dengan pentas wayang kulit dari Congwaydut asal Solo. Ketimbang pertunjukan wayang, pertunjukan ini lebih cocok disebut monolog sang dalang. Berulang kali menyebut diri sebagai "dalang berijazah", akting Gendut Dalang menjadi fokus utama malam itu. Rintik hujan bahkan tidak membubarkan penonton yang benar-benar terhibur dengan tingkah kocak sang dalang. Awalnya, pertunjukan dimulakan sebagaimana pertunjukan wayang konvensional. Hanya saja, negosiasi sudah terlihat dari para pengiring musik. Masuknya alat-alat musik modern seperti fretless bass berupa Cello yang dipetik, gitar elektrik, efek suara digital, drum, dan synthesizer hadir bersamaan seperangkat gamelan dan alat musik perkusi. Musik yang dihadirkan juga menghadirkan akulturasi yang epik. Kesan musik ala Kalimatan dan Sumatera, juga hadir beriringan dengan suara sinden khas Jawa.
Tiba giliran Dalang dengan tiga kayon atau gunungan membuka pertunjukan. Namun, dengan secepat kilat ia menceritakan tagihan tukang bangunan dan harga-harga barang yang disebutnya membuyarkan konsentrasi untuk men-dalang. Kisah perang Baratayudha yang dibawakan menjadi bukan fokus utama. Ia menghadirkan akting, bahkan memamerkan bahwa sang dalang pernah juara kompetisi monolog beberapa waktu silam. Katakanlah, malam itu adalah pentas monolog dengan peran seorang dalang. Berkali-kali sang dalang marah karena warna lampu, musik yang tidak tepat, dan sebagainya. "Makanya kalau mau pentas itu latihan, jadi seniman, yah seniman aja, jangan jualan kaos. Itu nggak fokus," kata sang dalang, memarahi pemusiknya.
Tentu hal itu memancing gelak tawa berkepanjangan dari para penonton. Tidak ada yang mengira bahwa pertunjukan wayang malam itu akan menjadi sebuah pertunjukan monolog yang kocak. Sebagaimana komedi pada umumnya, sang dalang tak lupa mengirimkan kritik ke berbagai pihak. Bahkan, pada Turah Hananto, ketua panitia acara tersebut.
Negosiasi, Cara Menjadikan Seni Pertunjukan Kembali Berdaya
Baik wayang "monolog" dari Congwaydut, maupun Janger dari Arjasura punya dua kesamaan: negosiasi dan modernisasi. Cara generasi muda membawakan seni pertunjukan ke depan khalayak yang juga generasi muda adalah dengan menawar pakem-pakem yang ketat, menyusun spektakel pertunjukan dengan mempertimbangkan kebutuhan publik. Sebagaimana diskusi seni-senian khususnya tradisi yang berakhir pada "kurangnya perhatian pada seni tradisi", maka dua grup ini -menurut saya- sudah cukup memberikan jawabannya.
Mengikuti kebutuhan publik alias kebutuhan pasar, memang terkesan kapitalistik. Tapi, idealisme baru bisa diusung ketika pasar telah terbentuk. Membentuk pasar hanya memerlukan satu hal; masuk terlebih dulu ke publik. Setelah pasar telah terbentuk, apapun yang dibuat oleh seniman, akan terasa seperti mahakarya bagi konsumennya.
Mungkin ada jalan lain, yang tidak terkesan kapitalistik. Tapi, tidak bisa dipungkiri, membicarakan "daya" seni pertunjukan hari ini, salah satu kemungkinan dan strategi yang bisa diambil adalah dengan membaca apa yang dibutuhkan publiknya, negosiasi dengan pakem-pakem yang kurang dibutuhkan, lalu melakukan modernisasi, berakhir dengan membentuk pasar sendiri. Congwaydut dan Arjasura mengajari kita tentang cara tersebut di hari pertama SalaHatedu#10 2023.
Baca juga: Artikel Terkait SALAHATEDU#10: Susu Dingin, Cinta dan Cemburu dalam Naskah “Terpujilah Wahai Engkau Ibu Bapak Guru