Catatan Rudolf Puspa: Perjalanan Garapan Bom dan Waktu -->
close
Pojok Seni
31 March 2023, 3/31/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-03-31T01:00:00Z
Artikel

Catatan Rudolf Puspa: Perjalanan Garapan Bom dan Waktu

Advertisement
Pertunjukan Bom dan Waktu oleh Teater Keliling
Pertunjukan Teater Keliling: Bom & Waktu (Dok. Salahatedu #10)

SalaHatedu#10 digelar di Taman Budaya Solo dari 17-20 Maret 2023.  Sebuah perhelatan yang layak masuk kategori pesat teater yang besar mengingat yang dirayakan adalah hari teater sedunia yang sudah ada sejak Maret 1961 yang dicetuskan oleh  Internasional Institute theater.


Untuk kesekian kalinya teater keliling menjadi salah satu peserta pertunjukkan yang kali ini membawa karya & sutradara Rudolf Puspa berjudul “Bom Dan Waktu”. Kali ini produksi teater keliling datang dengan rombongan besar yakni 22 orang yang tentu saja melebihi aturan yang mana panitia penyelenggara yakni Omah Kreatif pimpinan Caroko Hananto membatasi hanya 15 orang. Teater keliling menjunjung tinggi disiplin dan patuh aturan sehingga yang menginap dan makan di wisma seni hanya 15 orang dan sisanya masuk hotel.


Awalnya “Bom Dan Waktu” ditulis hanya ada dua peran yakni Bom dan Waktu. Namun dengan adanya undangan mengisi panggung SalaHatedu#10, pimpinan teater keliling mengusulkan untuk audisi intern dengan dibatasi hingga peserta 15 orang saja. Setelah terpilih 12 pemain maka saya segera merevisi skrip hingga melebar menjadi 12 peran. Satu hari skrip selesai karena kebebasan kreatifku benar2 melepas bebas mengalir sangat cepat. Gumpalan2 catatan dari pergumulanku sehari2 dengan lingkungan membuat aliran magma begitu deras panas membakar meletup berapi2 yang bergemuruh. Jadilah skrip baru yang tetap tanpa menghilangkan sinopsis lalu namun justru menjadi semakin kuat dalam penjabaran teatrikalnya. 


Merevisi, bongkar pasang, robek buang ganti baru karya sendiri tentu tak punya beban merasa bersalah. Tak ada siapapun yang harus diminta izinnya, sehingga tak ada rasa takut akan  ada yang protes. Terlebih lagi aku menulis semakin bebas dari sekat2 yang disebut isme2 gaya atau bentuk karya tulis skrip teater. Tak ada sama sekali menulis dengan pemikiran ini realis, abstrak, surealis, kontemporer dan segala macam yang disebut aliran penulisan. Dan setiap ada pertanyaan tentang itu aku hanya bisa senyum dan geleng2 karena memang tak ada pemikiran seperti itu. Cerita aku susun sebagai ungkapan dari apa yang aku lihat dan dengar serta rasakan dalam hidupku sehari2 menyelami lingkungan hidup.  Ada banyak kejadian yang orang sebut realitas hingga yang aneh bahkan tidak masuk akal waras. Semakin tampak absurd hingga surealistik  justru semakin menarik hatiku untuk memindahkan ke karya tulisku. Ketika selesai menulis baru aku baca kembali dan menyadari tulisanku adalah jenis cerpen, monolog, duolog ataupun skrip dengan banyak pemeran. Mulai dari tontonan 10 menit sampai yang 2 jam telah kutulis. Sering aku harus bekerja keras mengorek karyaku sendiri untuk menemukan jawab aku ini sedang bicara apa?


Risiko gaya menulis seperti yang aku alami ini adalah tidak bisa berhenti ditengah atau perempat jalan. Satu kali running sampai selesai ketika menulis kata tamat atau the end. Jika terjadi terhenti karena ada yang harus diurus maka ketika akan melanjutkan harus baca dari awal sehingga semua yang terhenti kembali muncul sehingga lanjut menulis. Dan yang paling cepat ketika menulis sudah punya pilihan siapa saja yang akan main. Langsung tergambar peran2 nya akan seperti apa. Hal ini terjadi ketika merevisi “Bom Dan Waktu” yang selesai dalam satu hari. Bahkan ada satu tambahan pemain yang ngebet ikut ke Solo. Peran tambahan yang muncul sepanjang cerita namun tanpa dialog.  Justru peran2 yang tanpa dialog itulah yang tidak mudah memainkannya. 


Tanggal 9 Maret 2023 sore di rumahku yang adalah sanggar teater keliling; pertemuan pertama dilaksanakan. Rumah yang telah sejak 1998 aku tinggali dan menjadi ruang penggodokan calon2 aktor aktris muda hingga mampu manggung. Malam itu reading dan bedah skrip dilakukan agar sama sama menangkap gagasan penulis yang sekaligus sutradara. Namun karena satu hari sebelumnya semua sudah terima skrip sehingga masing pun juga sudah membacanya. Bahkan ketika salah satu pemain aku tanya peran apa yang dipilih ternyata sudah mempunyai ketertarikan pada sebuah peran. Usai reading pertama langsung casting dan ternyata tidak sesuai dengan pilihan. Tentu tak ada yang protes karena casting adalah salah satu hak sutradara tentunya. 


Rombongan teater Keliling Jakarta
Rombongan Teater Keliling berfoto pasca pertunjukan

Tersedia waktu latihan 8 hari dan harus siap untuk manggung. Oleh karenanya betul2 ketika memilih peserta audisi kulakukan sangat teliti terutama kesanggupannya untuk selalu hadir latihan dan juga siap dana untuk transport pergi pulang Jakarta-Solo. Selain itu tentu aku juga memperhitungkan kemampuannya sebagai aktor dan aktris yang siap dengan hal2 teknik acting karena aku akan lebih banyak bincang soal2 gagasan dari skrip dan masing2 peran. Permintaan utamaku adalah dalam waktu 8 hari benar2 menggali hingga sedalam2nya apa peran yang dimainkan dan harus mengasah kreativitasnya agar mampu tampil beda. Aku inginkan pentas kali ini justru tidak seperti biasa. Ide gagasan adalah sebuah tontonan yang tidak biasa.


Ada peran Bom, Dan, Waktu , Yang lewat yang harus didekati secara tidak nyata. Mereka tokoh2 yang ada namun tak terlihat atau teraba wujudnya.  Namun sangat dekat dengan manusia nyata bahwa mereka itu ada selalu di sekitarnya. Mereka ada dalam kehidupan. Peran2 tersebut masing2nya terdiri dua pemeran. Kemudian ada dua manusia yang nyata satu lansia buta mata dan satu orang muda yang bawa kamera kemanapun untuk memotret kejadian yang menarik yang sedang hidup disekitarnya.  Melalui frame kameranya ia mengincar Bom, Dan, Waktu serta Yang Lewat yang sedang berlaku menjadi sebuah gambar hidup yang bercerita tentang kejadian2 yang sedang mereka perankan betapapun abstraknya. Sementara si lansia dengan mata hatinya merasakan denyut nadi peristiwa yang sedang berlangsung dan memberikan kesimpulan-kesimpulan negatif positifnya untuk diwartakan tanpa mengharap apapun. Seluruh pemeran tak ada bicara soal gender. Oleh karenanya bisa dimainkan gender apapun.


Menarik sekali ketika menulis dan membagi cast ada satu pemain terlupa tak ada perannya; segera aku baca kembali skrip dari awal dan rupanya di tengah jalannya peristiwa muncul peran yang kusebut “entah”.  Peran ini hanya dimainkan satu pemain yang justru ucapan dialognya panjang2 walau tetap saja jawaban dari apa siapa mengapa dia adalah “entah”. Gambar hidup yang banyak terjadi muncul dimana mana banyak omong seolah-olah memahami situasi kondisi kehidupan nyata namun ujungnya solusi yang dibutuhkan adalah “entah”. Unik juga ya peran yang satu ini. Maka dalam latihan awal hingga tiga hari ternyata masih ada satu pemain yang ikut tapi sebagai pimpinan produksi dan pengin banget terlibat. Kutemukan satu peran lagi yakni “mat ukur” yang muncul sepanjang cerita dan tanpa satu kalimat pun dimiliki selain mengukur tubuh untuk dibuatkan pakaian.  Suatu kali sang fotografer kesal dan bertanya kepadanya apakah menurut mat ukur tokoh2 yang tidak nyata ini perlu pakaian agar jelas tugas dan pekerjaannya? Lalu apa sudah disiapkan ada yang baju pejabat, rakyat, hakim dan sebagainya? Lalu apa benar mereka itu memang butuh pakaian? Nyatanya mereka selalu menolak diukur karena barangkali lebih nyaman tidak jelas wujudnya namun nyata hasil kerjanya.


Masih juga ada yang ingin tampil tapi tak mau dialog yakni cucuku yang suka dance. Maka adegan awal dan akhir pun ada nyanyi dan iringan tarian dimana semua pemeran tampil. Cucuku dengan wardrobe manusia nyata berada ditengah kelompok tari dan menari sangat semangat.   Lagu “benci dan cinta” yang merupakan pengingat bahwa hal itu selalu ada saling mengikat dan kadang berlawanan lalu apa sikap manusia hanya harus pasrah? Jawabannya memang bukan hanya oleh si “entah” namun terpulang kepada siapapun yang hadir sebagai pemain maupun penonton. Dalam skrip sudah aku tuliskan bahwa lagu dan tariannya memerlukan lagu yang belum populer; akan lebih tepat bila diciptakan oleh yang memproduksi pertunjukkan sendiri. Dengan begitu akan cepat dipahami sejauh apa tangkapan sutradara terhadap skrip. Apa semangatnya, pesan moralnya, gagasan yang tidak biasa sehingga skrip ini membutuhkan daya eksperimentasi yang terus menerus dilakukan sepanjang hari2 latihan. Tidak tabu jika terus terjadi perubahan2 di segala bidang bahkan hingga pada teknis seperti wardrobe, make up, tata lampu, musik.Bagiku berkarya harus siap untuk adanya perubahan2 tiap saat bahkan lebih berani lagi yakni mencari perubahan hingga ke detik menjelang manggung.


Salah seorang pemeran lansia yakni Dery Syrna tetap berangkat walau sudah mulai kurang fit. Sikap the show must go on dipegang erat. Turun dari pesawat di bandara Adi Sumarno sudah semakin tampak lemas. Panitia Pun segera mencari dokter untuk berobat dan tentunya mendapat pengobatan yang prima agar pada hari manggung tetap fit. Dua pendamping rombongan dari panitia segera aku persiapkan ikut beraksi sebagai penuntun. Tugasnya hanya menuntun sampai panggung kemudian meninggalkan dan di akhir pertunjukkan kembali menuntun turun. Benar2 dua pemain yang paling jujur dan nyata yang bukan akting pura2. Mereka sangat bangga dan gembira tanpa bermimpi tiba2 menjadi bagian dari pertunjukkan bukan dibelakang namun ada diatas panggung. Siapapun yang ada di panggung adalah peran dan tentu ada karakter dan motifnya. Begitu juga mereka berdua telah melakukan perannya yang adalah dirinya dengan motif yang nyata dan memang diperlukan. Penonton sangat antusias mendengar teknik vokal yang lantang, expresi acting lansia buta yang sangat menyentuh hati. Baru terkejut ketika usai pertunjukkan dan memberi salam serta berfoto dengan beliau ternyata  Dery sedang sakit yang bukan ringan. Sebagai aktris yang seniman telah membuktikan bahwa tak ada alasan untuk tidak hadir selain “tak bernyawa”.


Sebagai sutradara menyaksikan pentas Bom Dan Waktu merasakan penyutradaraan seperti pemain bola yang sudah lama tidak berlatih menendang bola. Terobosan2 yang dilakukan sutradara yang dalam bahasa teater lebih disebut experimen2 terasa kaku. Barangkali penyutradaraan kurang luas membukakan jalan dalam menyatukan diri dengan properti yang berupa kursi untuk melekat menyatu dengan diri pemain sehingga akan menjadi tangan, kaki, tubuh, senapan, roti, atau apa saja yang muncul dalam imajinasi. Mungkin juga terlalu lama sutradara tidak menggarap pentas experimen. Namun satu hal yang aku butuhkan dalam kemerdekaan menjalar menjulur menangkap ide2 spontan yang bermunculan dari melihat pemain berlatih telah aku rasakan. Korelasi antara sutradara dan pemain terjalin sangat prospektif. Ini suasana yang menjanjikan bagi kerja selanjutnya dalam karya2 yang membutuhkan “kemerdekaan” penyutradaraan dan permainan aktor aktris.


Sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta hati, pikiran, terus berpacu memanaskan seluruh indera bahkan hingga indera keenam untuk meneruskan gerak langkah terus menerus berexperimen baik dalam menulis skrip maupun penyutradaraan. Waktu telah menyapa dengan keramahan yang mendidih dan bom yang lama tersimpan siap menggelegar ke panggung2 dimanapun bersama teman2 yang masih memiliki persediaan semangat bergandeng hati bersama dalam karya teater experimen Indonesia. Namun terselip gagasan baru apa masih perlu memasang label “experimen?”. Kembali jauh menengok kebelakang dan kutemukan kembali apa yang sudah hilang bahwa cukup singkat padat bahwa aku ciptakan tontonan. Itu saja.


Baca ulasan Pertunjukan Bom dan Waktu


Salamku tabik hangat.


Bojongsari Depok 30 Maret 2023.

Rudolf Puspa.

Ads