Advertisement
Pertunjukan Bom Waktu oleh Teater Keliling Jakarta |
Bagaimana cara menjinakkan bom waktu? Teater Keliling punya ide, bagaimana dengan memisahkan bom dan waktu. Bom tadinya diciptakan bukan untuk membunuh banyak orang. Alfred Nobel, tadinya menciptakan dinamit untuk mempermudah kerja pertambangan. Tapi, ia harus hidup dalam penyesalan ketika ada banyak jiwa yang hilang karena bom waktu.
Teater Keliling mempertunjukkan pertunjukan bertajuk "Bom & Waktu" di gelaran hari ketiga SalaHatedu, Minggu (19/03/2023). Sutradara Rudolf Puspa menghadirkan teater tanpa plot, juga penuh simbolisasi, serta hubungan kausalitas yang sangat kuat antara spektakel yang satu dengan yang lainnya. Meski demikian, kekuatan Teater Keliling yang menawarkan drama musik ala Richard Wagner juga tetap dihadirkan untuk mempertegas identitas Teater Keliling garapan Rudolf Puspa. Sebagaimana Wagner, Rudolf Puspa juga seperti menolak observasi "njelimet" ala realisme, dan menampilkan tokoh yang "tanpa identitas".
Lewat pertunjukannya, Rudolf Puspa mengajak penonton untuk tetap menjaga jarak estetis dengan pertunjukan. Penonton mesti menyadari kebenaran fiksional dari karya seni mesti memisahkan penonton sejenak dari kebenaran faktual di kehidupannya sehari-hari. Hal itu dipertegas dengan kostum, make up, dan gesture yang simbolis, yang tercerabut dari kenyataan historis, sosio-kultural, dan geografis. Ini yang diharapkan Rudolf Puspa, bahwa teater mesti sebuah pertunjukan, bukan tiruan dari kenyataan.
Spektakel yang padat, dipadu dengan penguasaan ruang yang baik, menjadi lebih berkesan dengan pengalaman audio yang juga baik. Audio yang dihadirkan para sound enginering bisa memperkuat suasana yang dikehendaki sutradara. Aktor-aktor juga begitu luwes dan memiliki stamina yang mengagumkan. Saya kira, Teater Keliling juga mesti berterima kasih pada para "petugas" di balik keberhasilan audio mereka.
Pertunjukan Bom Waktu oleh Teater Keliling Jakarta |
Setiap pergerakan aktor, akan diikuti oleh dua orang. Satu di antaranya terus membawa kamera, dan satu lagi terus mengukur ukuran baju mereka. Keduanya seakan menyimbolkan bahwa setiap orang yang muncul di publik saat ini, kerap di-framing berlebihan, serta dipersiapkan "identitas"nya mengikuti kehendak publik (baca: pasar). Hasilnya adalah, hanya lahir identitas yang palsu.
Selain itu, kilasan komedi Molierre dengan gerak yang distilir menjadi warna utama pertunjukan ini. Nyaris semua sisi panggung dimanfaatkan dengan baik, dengan satu "pancer" yang diperankan Dery Srna sebagai orang buta. Ia hanya mendengarkan semua omongkosong berbalut filosofis dari semua tokoh-tokoh yang datang dan pergi. Sebagai orang buta, tokoh tersebut hanya mendengarkan untuk memutuskan. Tanpa melihat, bagaimana ekspresi tanpa suara dari orang-orang tersebut pada dirinya.
Mereka menyebut tokoh tersebut sebagai hukum yang tertutup matanya, dan hanya mendengarkan fakta-fakta saja untuk memutuskan suatu perkara. Tapi pertanyaan para aktor, kenapa hakimnya tidak "menutup mata"? Sehingga memutuskan perkara dengan melihat, siapa orangnya?
Secara umum, pertunjukan ini mampu menghipnotis penonton dari awal hingga akhir. Dua aktor hadir dari bangku penonton, setelah sebelumnya sempat berkomentar dengan para tokoh di atas panggung dan mengajak penonton untuk ikut terlibat dalam obrolan. Meski penonton yang diajak berinteraksi memberi respon minimal, namun tetap menjaga permainan tetap pada tempo yang tepat.