Advertisement
WS Rendra (sumber foto: Pinterest.com)
Oleh: Zackir L Makmur *
PojokSeni.com - Tahun ini adalah tahun politik, tahun yang membuat orang banyak nyerocos ngomong soal politik. Padahal, “politik adalah barang yang paling kotor" –ucap aktivitas kenamaan Indonesia, Soe Hok Gie (1942-1969). Tapi sebagai “barang”, politik bernilai mahal. Sang humoris, Will Rogers (1879-1935), sempat berkelakar, begini: "Politik itu mahal, bahkan untuk kalahpun kita harus mengeluarkan banyak uang."
Tetapi apapun itu, politik di tahun politik ini menjadi hal yang banyak diperbincangkan. Hampir setiap hari dan setiap sudut kita menyaksikan orang-orang bicara politik. Orang-orang dewasa yang agak terdidik, bicara politik di sudut-sudut warung kopi maupun gardu ronda. Dan orang-orang terpelajar, baik elite politik, akademisi, pengamat, maupun praktisi politik pada ngomong politik di televisi.
Belum lagi perbauran antara orang kampungan dan orang terpelajar berbicara politik di media sosial. Semua ini bukanlah hal-hal yang ada di imajinasi. Semua ini nyata, telah mengepung kita dalam segala penjuru dan setiap waktu hadir memperlihatkan tampang-tampang mereka, ada yang menyimbolkan wajah syahwat kekuasaan maupun wajah intelektual penuh pengkhianatan. Maka, "Kita telah menjadi asing di tanah leluhur sendiri," sebagaimana ditulis W.S. Rendra (1935-2009) dalam Sajak Sebotol Bir.
W.S. Rendra, lahir di Solo, 7 November 1935, dikenal pula sebagai budayawan, dramawan, pemeran, dan sutradara teater. Ia juga mendapat julukan penyair si Burung Merak. Tetapi dalam konteks pembahasan ini ada tanda-tanda yang lebih mencemaskan terhadap perspektif prosedural politik yang diberitahukan oleh W.S. Rendra. Antara lain dalam Sajak Kenalan Lamamu, W.S. Rendra berucap: "Politik adalah cara merampok dunia. Politik adalah cara menggulingkan kekuasaan, untuk menikmati giliran berkuasa."
Lalu dalam sajak Kesaksian Akhir Abad, W.S. Rendra lebih nyelekit mencibir cara kerja partai politik memperlakukan rakyat: “Dan partai-partai politik, menganggap rakyat hanya abdi partai, yang dinamakan masa politik partai! Atau kawula partai!”
Mengkritik Oligarki Kekuasaan
Dalam tatanan bermasyarakat maupun bernegara, berkuasa menjadi faktor dasar terbentuknya kelas yang memerintah, mereka yang pemegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan, serta oligarki yang punya tujuan-tujuan keuntungannya dengan kekuasaan yang dimiliki. Mereka ini jumlahnya kecil.
Sementara itu elite politik adalah mereka yang menduduki posisi atau jabatan strategis dalam sistem politik, dapat membuat keputusan dan kebijakan yang dinyatakan atas nama Negara. Elite ini pemegang jabatan tinggi dalam pemerintahan, parpol, maupun kelompok kepentingan. Dan para elite politik ini setiap hari membuat keputusan penting untuk melayani berjuta-juta rakyat.
Memang, bagaimanapun juga elite politik mempunyai pengaruh pada berbagai tingkatan kekuasaan. Juga, ia termasuk orang yang lihai mengendalikan masyarakat sesuai alur skenario politiknya. Sehingga sebagian besar masyarakat mentaati para elite politik. Padahal pada mulanya elite hanya bersifat membedakan minoritas komunal baik personal maupun sosial, bertujuan relasi sosial.
Dalam posisi demikian elite punya kekuasaan dalam proses pengambilan keputusan. Untuk itu ia, elite, harus dipilih dan karenanya menjadi orang pilihan. Dalam penjelasan Vilfredo Pareto bahwa takaran elite pada suatu masyarakat, adalah tiga komponen.
Vilfredo Pareto, sosiolog politik Italia ini, dalam buku S.P. Varma berjudul Teori Politik Modern (1987), lebih lanjut menjelaskan bahwa komponen pertama, elite dalam masyarakat berada pada lapisan atas yang terbagi menjadi elite yang memerintah (governing elite). Lalu komponen kedua, elite yang tidak memerintah (non governing elite). Dan komponen ketiga, dalam masyarakat juga terdapat lapisan yang lebih rendah (non elite).
Tetapi pembagian tiga komponen strata masyarakat yang demikian, justru dinilai puisi W.S. Rendra, begini:
O, lihatlah wajah-wajah berdarah
dan rahim yang diperkosa
muncul dari puing-puing tatanan hidup
yang porak-poranda.
Kejahatan kasat mata
tertawa tanpa pengadilan.
Kekuasaan kekerasan
berak dan berdahak
di atas bendera kebangsaan.
(Kesaksian Akhir Abad)
Tak Punya Kepala
Kaum elite harus berhadapan dengan mereka yang jumlahnya besar, bernama kelas masyarakat yang diperintah dengan jumlah yang lebih besar dan diatur serta dikontrol oleh kelas yang memerintah, bernama kaum elite yang acapkali bersimbiosis kuat sebagai oligarki politik.
Masyarakat, baik yang modern, semi modern, maupun yang terbelakang peradaban pun, tetap terbagi dua kelas, yakni kelas yang memerintah dan kelas yang diperintah. Kelas yang memerintah, biasanya jumlahnya lebih sedikit, memegang semua fungsi politik, monopoli kekuasaan dan menikmati keuntungan-keuntungan yang didapatkan dari kekuasaan. Kelas yang diperintah jumlahnya lebih besar, diatur dan dikontrol oleh kelas yang memerintah.
Tetapi dari dikotomi itu membuat politik bisa terperosok “menyebabkan rakyat dan hukum// hadir tanpa kedaulatan, (Sajak Maskumambang)” dan membuat kehidupan ini begitu mengerikan. Mengerikan karena dalam tatanan kehidupan yang begini, generasi baru yang memeluk politik punya sisa simptom masyarakat yang penuh syahwat kekuasaan.
Dalam masyarakat digital dewasa ini, ketika perubahan nilai-nilai pemahaman sosial politik sudah sampai ke dalam orientasi dan teknis implementasi, maka orang berpolitik tingkat nafsu berkuasanya tinggi. Tapi ketika masyarakat Indonesia belum sampai ke taraf perubahan itu, pada era 1900-an, masih dalam taraf menuju perubahan struktur sistem kekuasaan kolonialisme menuju sistem kekuasaan bangsa merdeka, daya nafsu kekuasaan sama sekali tidak menggelegak. Padahal era ini pada 1900-an di mana keadaan Indonesia masih krisis ekosistem ketatanegaraan.
Saat krisi ekosistem ketatanegaraan, pada lazimnya, saling berebut kuasa demikian membahana. Oleh karena itu sistem politik mengesahkan dominasi hegemoni kekuasaan pemerintahan. Inilah mengapa pemerintahan kolonialisme Belanda demikian berkukuh “mati-mati” menggenggamnya. Tapi ia harus berlawanan dengan aspirasi perubahan corak masyarakat tradisional menjadi corak masyarakat modern.
Maka berdirinya partai politik bernama Indische Partij, pada 25 Desember 1912, yang didirikan oleh tiga serangkai Ki Hajar Dewantara, Douwes Dekker, dan dr. Cipto Mangunkusumo –menandai perlawanan tersebut. Dari itu Indische Partij menjadi partai politik pertama yang beraliran nasionalisme Indonesia dalam situasi demikian.
Tapi kini tahun 2023, sebuah masa di mana persaingan politik sesama anak negeri sejak pasca proklamasi kemerdekaan terus menerus bergemuruh menderu-deru. Ditingkahi pula oleh perbedaan dan perubahan yang selalu menimbulkan pergeseran, menimbulkan percikan api permusuhan. Semangat saling mengganyang sesama anak negeri demikian berkobar-kobar hanya kerna perbedaan politik.
Dalam sajak W.S. Rendra, hal demikian diidentifikasikan penuh irisan psikologis:
Karena politik tidak punya kepala.
Tidak punya telinga. Tidak punya hati.
Politik hanya mengenal kalah dan menang.
Kawan dan lawan.
Peradaban yang dangkal.
Meskipun hidup berbangsa perlu politik,
tetapi politik tidak boleh menjamah
ruang iman dan akal
di dalam daulat manusia!
Namun daulat manusia
dalam kewajaran hidup bersama di dunia,
harus menjaga daulat hukum alam,
daulat hukum masyarakat,
dan daulat hukum akal sehat
(Maskumambang)
Pertanyaan Melek Politik
Masyarakat Indonesia sudah melek politik, dalam tahun politik ini saja pembicaraan politik demikian ramai, baik di mass media online, media elektronik, maupun media cetak, dan bahkan di pojok-pojok kedai kopi. Karuan saja apa yang mereka bicarakan itu terkait urusan negara, kekuasaan, dan pengambilan keputusan, demikian bertaburan.
Kemelekan politik itu sesungguhnya dimulai tahun 1908 saat berdirinya perkumpulan Boedi Oetomo dan kemudian berdirinya partai politik Indonesia bernama Indische Partij, pada 25 Desember 1912. Kemudian betul-betul meleknya sejak adanya peristiwa politik tanggal 19 Desember 1948 dengan terbentuknya Pemerintah Darurat Republik Indonesia (PDRI). Dengan demikian refleksi politik dipresentasikan menjadi bagian dari sistem nilai bermasyarakat.
Bahwa belakangan ini jagat perpolitikan Indonesia riuh: orang ramai membicarakan elite-elite partai politik (parpol) mana yang muncul sebagai kandidat calon presiden dan calon wakil presiden, parpol mana yang berkoalisi dengan parpol apa, dan para pendukung membentuk kelompok-kelompok relawan politik –harusnya menjadi keriuhan yang tidak boleh jadi menyumbat kesadaran bermasyarakat.
Keriuhan itu yang dulu era 1970-an ditilik W.S. Rendra sehingga melahirkan puisi yang berjudul Aku Tulis Pamplet Ini, menjadi relevan untuk keriuhan politik masa kini:
Aku tulis pamplet ini
karena kawan dan lawan adalah saudara
Di dalam alam masih ada cahaya.
Matahari yang tenggelam diganti rembulan.
Lalu besok pagi pasti terbit kembali.
Dan di dalam air lumpur kehidupan,
aku melihat bagai terkaca:
ternyata kita, toh, manusia!
Jadi, sikap dan kesadaran ini perlu dikembangkan secara berkesinambungan melalui pembinaan kesadaran. Tapi adakalanya politik memberikan dikotomi, hingga kita bertanya-tanya dalam kesadaran bernegara: masih dibutuhkan politik? Namun, ketika W.S. Rendra bertanya: ”....tetapi pertanyaanku, membentur jidat penyair-penyair salon, yang bersajak tentang anggur dan rembulan, sementara ketidakadilan terjadi di sampingnya dan delapan juta kanak-kanak tanpa pendidikan termangu-mangu di kaki dewi kesenian” (Sajak Sebatang Lisong). ***
Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020)