Advertisement
Oleh: Zackir L Makmur *
Pojok Seni - Watak politik Indonesia modern selalu punya kisah repetisi dari sejarah kesalahan setiap jelang pemilihan umum. Dalam dua dasawarsa belakangan ini, watak tersebut terlihat pada berkelindannya pengertian apa itu sosialisasi dan apa itu kampanye. Sisi ini juga membuat politik menjadi urusan yang menyentak, terlebih dalam tahun politik jelang Pemilu 2024 ini.
Dunia yang penuh kesibukan itu, esensinya direspons oleh puisi Radhar Panca Dahana serupa pada kesibukan: “cerita-retorika dimainkan//kebijakan diputuskan//perdebatan digulirkan//ramai benar rumah negara kita//seolah benar negeri ini ditata,” (puisi Sejilid Komik Kritik-Politik). Maka dunia politik mengesankan kiprahnya begitu banal, walau masih ada secercah attitude. Cercahan ini yang digosok-gosok terus agar kilau motivasi politik berpendar.
Pendarannya ini yang kemudian diimplementasikan demi hasrat memperbanyak konstituen. Hasrat ini berbarengan memunculkan idiomatik propaganda, dan kampanye. Apa yang dikatakan Aldous Huxley, penulis dari Inggris 1894-1963, “efektivitas propaganda politik tergantung pada metode yang digunakan, bukan pada doktrin yang diajarkan,” lantas menemui relevansinya di sini.
Metode hasrat politik yang mencampursarikan propaganda dan kampanye itu pula relevansinya paradoksal dan banal. Identifikasi ini diperlihatkan oleh puisi Kampanye Hari Ke-5, untuk itu “maka, lihat aku … lihat aku!!!//masa dalam mimpimu, pilihan//tanpa sanksi, penguasa segala//kroni, penyambung lidah korporasi//setia berjanji: makmurlah negeri//kokohlah jati diri, sejati dalam janji//untuk sendiri menanggung upeti//pada pemimpin abadi://tuan modal bijak bestari.” Tapi metode hasrat politik yang sudah sedemikian dicibir masih terus diberlangsungkan.
Sehingga metode yang digunakan inilah sebelum waktunya kampanye menduplikasi propaganda menjadi kampanye, menjadi sosialisasi untuk memberi penyuluhan dengan tujuan meyakinkan agar orang memilih sang kandidat atau partainya. Cara-cara halus kampanye tersebut terus berlangsung di tahun politik jelang Pemilu 2024 ini, padahal Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 3 Tahun 2022 menetapkan bahwa tanggal 28 November 2023 dimulainya kampanye.
Maka nyatalah bahwa dunia politik jelang pemilihan umum (pemilu) mempertautkan kelihaian olah kampanye. Dan kebutuhan ini, oleh puisi Kampanye Hari Ke-5, ditelisik rentan terhadap penipuan politik kekuasaan. Sehingga dampak penipuan ini penuh kepedihan luka batin, lantas Radhar menorehkannya: “dunia milik mereka!//bangsa jadi nasibnya//kuasa adalah tuhannya//uang untuknya menyerah//utang seraplah dalam darah.”
Aneh tapi nyata, dampak yang mengerikan itu tidak membuat sejumlah orang pupus berjuang dalam politik. Diyakini berjuang lewat sektor politik masih bisa tercipta keadilan dan meningkatkan kesejahteraan. Mereka masih saja berbondong-bondong menjadi calon legislatif maupun calon eksekutif.
Sampai-sampai KPU menyiapkan kurang lebih 700.011 tempat pemungutan suara pada Pemilu 2024. Dalam pemilu ini yang bakal digelar pada 14 Februari 2024, jumlah pemilih berdasarkan hasil pemutakhiran data pemilih berkelanjutan Semester I-2022 sebanyak 190.022.169 pemilih. Para pemilih ini memperebutkan 20.462 kursi DPR dan DPRD seluruh Indonesia (Infografis Pemilu 2024, Kompas,14 Februari 2023).
Kesibukan Memperebutkan Kursi
Kesibukan-kesibukan memperebutkan kursi kekuasaan yang demikian, sepertinya menemui relevansinya atas ejekan puisi Kampanye Hari Ke-5 yang disinyalir tak semata untuk kepentingan rakyat, bisa juga untuk kepentingan “durga kala.” Menurut akademisi seni dari ISI Yogyakarta, Sarjiwo, menjelaskan bahwa di dalam dunia pewayangan Durga dan Kala merupakan sosok yang kaya akan reka daya untuk membuat celaka pihak lain.
“Kedua sosok ini sebagai perlambang angkara murka dan penggoda pihak lain untuk bertindak tidak baik,” ungkapnya dalam video show exhibition Sarjiwo and Asmorotedjo, Durga Kala Sumingkir (Anter, 2014). Dalam puisi Kampanye Hari Ke-5 ini Radhar Panca Dahana menggunakan tokoh Durga Kala, untuk memperjelas sebuah kepentingan politik yang tidak berpihak pada hati nurani. Maka ia mengungkapkan, begini: “wahai durga kala//hujani kami dengan ludahmu//pengapkan hidung dengan dusta//dan biar mereka, seratus juta telinga mendengar.” Sampai di sini, ada pertanyaan yang serasa relevan dan faktual: masih pentingkah politik?
Tetapi politik dalam pengertian kodratnya, adalah “seni” berkompromi tanpa kekerasan, yang secara deskriptif sebagai ilmu pemerintahan untuk memperlancar proses pembuatan keputusan. Maka bisa dipahami petuah filsuf dari Yunani era 427 SM - 347 SM, Plato ketika berkata, "Salah satu hukuman karena menolak untuk berpartisipasi dalam politik adalah saat Anda akhirnya diperintah oleh bawahan."
Dengan demikian kehidupan bermasyarakat ataupun bernegara, orang tidak bisa menolak politik. Soalnya selain ini sebagai tata cara manusia beradab untuk melakukan proses pembuatan konstitusi, soalnya juga politik sebagai solusi keputusan perang melawan bangsa lain demi kedaulatan. Menyangkut kedaulatan bangsa ini, politik pun harus hidup. Tetapi Presiden ke-4 Indonesia, KH. Abdurrahman Wahid (1940-2009), mengingatkan: "Yang lebih penting dari politik adalah kemanusiaan."
Soalnya faktor demi kemanusiaan ini yang acapkali tidak diperlihatkan secara gilang meling dalam dunia politik. Dan tragisnya, politik seperti diasumsikan –bahkan distigma—tidak punya tujuan hal itu. Radhar Panca Dahana dalam puisi Sejilid Komik Kritik-Politik, antara lain menjelaskannya, bahwa: “tata negara kini tata kapita//ekonomi mesin: rakyat diperalat//konstitusi tinggal katakata mati//bukan lagi singgasana berkuasa//gergasi modal tak kasat mata//intelijen jadi darahnya//triliuner lokal makelarnya//dan komik pun terus cerita//pahlawan palsu genit bergaya//media massa memamahnya//kita mengunyahnya.”
Berdampak Gangguan Jiwa
Teori klasik politik dari Aristoteles menjelaskan bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama. Kebaikan bersama harus menjadi landasan utama, karena politik menjadi hal yang berkaitan erat dengan pemerintahan dan negara, maka tapa landasan kebaikan bersama politik menjadi sebuah dunia yang mengerikan.
Dunia politik yang mengerikan itu dianalogi puisi Radhar Panca Dahana sebagai hutan. Menuju tempat ini, “bila pagi benar kau mendatanginya,//ingatlah: setapak yang kau temukan//tak senantiasa penunjuk jalan//mungkin ia menuju gua ancaman” (puisi Politik Itu Hutan, Anakku). Tetapi keseraman demikian tidak membuat “hutan” itu ogah dimasuki banyak orang, malahan “hutan” itu tampak indah dan mempesona jelang pemilu.
Pada realitanya orang-orang sibuk bergegas masuk di “hutan” itu untuk memetik buah. Buah ini bernama jadi anggota legislatif maupun menjadi eksekutif, karuan saja buah harum manis ini menjadi rebutan untuk dipetik. Di mana semiotika ini tampak pada jumlah 700.011 tempat pemungutan suara untuk memperebutkan 20.462 kursi DPR dan DPRD seluruh Indonesia dalam Pemilu 2024.
Trend semacam itu tentu sangat jelas menggambarkan betapa memang dunia politik adalah hutan yang juga banyak buah-buahan manis dan harum. Di mana manis buah ini “menyehatkan” pendapatan, dan harumnya “memperkaya” status prestisius. Maka dunia politik semacam memberikan konsesi untuk mendapatkan jabatan dengan kualifikasi terbaik sebagai wakil rakyat.
Tetapi konsekuensi dari sana juga terjadi, orang-orang yang jadi calon legislatif maupun calon eksekutif tidak terpilih dalam pemilu, mengalami gangguan mental. Masih segar dalam ketika usai perhelatan Pemilu 2019, kabar soal calon anggota legislatif (caleg) yang mengalami gangguan jiwa pun bermunculan di media sosial. Gejala gangguan jiwa ini bisa muncul dengan beragam. Gelisah, putus asa, sedih berlarut, hingga marah-marah merupakan gejala umum yang bisa muncul pada pasien gangguan jiwa.
Hal itu adalah wajar. Wajar? dr. Andri, SpKJ, FAPM, psikiater dari Klinik Psikosomatik RS Omni Alam Sutera. Dalam keterangannya kepada wartawan, menjelaskan bahwa "Jika memang benar ada caleg gagal yang mengalami gejala gangguan jiwa maka itu adalah hal yang wajar, suatu reaksi mekanisme pertahanan psikologis dari seorang manusia yang mengalami kegagalan," (Senin, 22 April 2019).
Maka wajar-wajar saja bila kemudian setelah usai perhelatan Pemilu 2024 jumlah pasien gangguan jiwa mengalami peningkatan. Jumlah peningkatan ini yang oleh puisi Radhar Panca Dahana diidentifikasi ada: “bertaut jijik, segala kita rayu//semua kita akrabi//untuk akhirnya kita khianati//atau buktikan bila tidak//darah segar di perut dan kepalaku//jadi kekalahan bodoh yang tak perlu” (puisi Politik Itu Hutan, Anakku).
Radhar Panca Dahana
Pembacaan puisi spiritual oleh Radhar Panca Dahana dalam ?LaluKau? di Gedung Kesenian Jakarta, Rabu (19/20/2020) malam. (sumber foto: KOMPAS/PRIYOMBODO) |
Radhar Panca Dahana meninggal pada Kamis, 22 April 2021 pukul 20.00 WIB. Radhar meninggal dalam usia 56 tahun seusai cuci darah di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Dia meninggal didampingi istrinya, Evi Apriani dan meninggalkan tiga anak.
Semasa hidupnya, Radhar dikenal sebagai budayawan, sastrawan, kritikus sastra, jurnalis, dan penggiat teater. Tapi, ia lebih memilih disebut sebagai kuncen kebudayaan yang telah mewakafkan seluruh daya kemanusiaan untuk menjaga, memelihara, dan mengembangkan kebudayaan.
Pria yang sempat menempuh studi di Ecole des Hautes Études en Science Sociales, Perancis ini telah banyak menerbitkan beragam karya sastra berupa kumpulan puisi seperti Simponi Dua Puluh (1998) dan Lalu Waktu: (2003); esai humaniora Jejak Posmodernisme (2004) dan Inikah Kita: Mozaik Manusia Indonesia (2006); kumpulan drama Metamorfosa Kosong (2007); serta kumpulan cerpen Masa Depan Kesunyian” (1995) dan Cerita-Cerita dari Negeri Asap (2005).
Dari berbagai karya yang dihasilkan, Radhar Panca Dahana sukses menerima banyak penghargaan. Kepiawaian Radhar dalam memimpin Teater Aquila, Telaga, dan Teater Kosong menjadikannya terpilih sebagai satu di antara lima seniman muda masa depan Asia versi NHK (1996).
Kemudian pada tahun 2005 mendapat penghargaan Paramadina Award, menjadi Duta Terbaik Pusaka Bangsa dan Duta Lingkungan Hidup sejak tahun 2004, serta Medali Frix de le tahun 2007 dari lima belas negara berbahasa Perancis. Dan menerima anugerah Cendekiawan Berdedikasi Kompas (2014). ***
Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).