Perikehidupan (Seniman) Teater Tanpa Feodalisme -->
close
Adhyra Irianto
23 February 2023, 2/23/2023 08:00:00 AM WIB
Terbaru 2023-02-23T01:00:00Z
OpiniteaterUlasan

Perikehidupan (Seniman) Teater Tanpa Feodalisme

Advertisement
pentas Penembahan Reso
Pentas Panembahan Reso yang dibawakan Bengkel Teater pada 25 Januari 2020, di sebuah gedung pertunjukan mewah bernama Gedung Teater Ciputra Artpreneur, Jakarta. (Sumber foto: Galery  Ciputra Artpreneur)


Oleh: Zackir L Makmur *

PojokSeni - Jejaka dan gadis itu tersenyum lugu, dan sama-sama berkaca mata hitam modern, serta berpakaian tradisional. Menunggang kuda lumping. Lantas di belakangnya jejeran motor, yang ditunggangi pemiliknya begitu riang menonton. Lalu para penonton lainnya, juga tersenyum seraya menyaksikan pertunjukan secara khidmat.

Pertunjukan kesenian itu hadir dalam Festival Koeli Kontrak pada Sabtu 14 Januari 2023, di Kebun Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Sebuah pertunjukan bersahaja, tapi tidak boleh secara serampangan itu hasil pentas para seniman kelas 3. Pembagian kelas, atau pembagian ke dalam kelompok, datang dari ide-ide borjuis. Suatu ide yang selalu bersukacita dengan kokohnya kebudayaan feodalisme. 

Kebudayaan feodalisme inilah suatu sistem nilai sosial politik yang memberikan kekuasaan besar kepada golongan kelas sosial menengah dan atas, seraya mengagung-agungkan jabatan dibanding prestasi. Itulah mengapa dalam khasanah pergaulan orang-orang Indonesia masa kini bahwa feodalisme dirujuk terhadap pemimpin zalim yang selalu ingin dihormati.

Manusia dibagi-bagikan ke dalam kelas, yang ditelisik oleh penulis dan aktivis dari Amerika, Andrea Dworkin (1946 – 2005), mengundang diskriminasi sosial dan politik.  Dworkin menegaskan: "Betapapun tidak mungkinnya, dalam keyakinan bahwa perbedaan kelas tidak dapat disangkal mendukung diskriminasi sosial dan politik." Diskriminasi sosial dan politik ini dalam sejarah Republik Indonesia pernah terjadi mendapat perlawanan yang sangat keras, antara lain dimotori oleh tokoh aktivis kemerdekaan, Tan Malaka (1897-1949).

Feodalisme Membagi Seniman


Festival Koeli Kontrak
Festival Koeli Kontrak menampilkan kesenian rakyat kuda lumping di Kebun Saentis, Kecamatan Percut Sei Tuan, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, Sabtu (14/1/2023). (Sumber Foto: Kompas)



Pemikiran Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) yang menyuguhkan ide pembagian kelas (kelompok) terhadap pegiat teater menjadi 3 (tiga) kelas, adalah pemikiran yang berbahaya. Klasifikasi itu termaktub dalam pembagian kelas (kelompok) ini: kelas 1, kelompok seniman mapan (established). Kelas 2, kelompok seniman kelas menengah (emerging artist). Dan kelas 3, kelompok seniman pendatang.

Pemikiran yang berbahaya ini mengidentifikasikan seniman masuk spesies hewan berkaki empat, hewan berkaki dua, dan hewan tidak berkaki. Spesies ini diberikan agar “perkembangan seni teater terarah.” Diktum diksi ini saja sudah mencerminkan datang dari sebuah kekuatan yang bisa “mengarahkan” kemana spesies-spesies itu hidup dan bergerak.

Maka kita sedangkan menyaksikan ide nihilisme yang sedang dilembagakan, dengan penuturan yang halus dari kaum seniman birokrat yang hidup dari alam kebudayaan feodalisme. Pada mulanya diskriminasi hanya di perikehidupan sosial dan politik, kini merembes sampai ke perikehidupan (seniman) teater yang semakin menemui bentuknya yang paling mengerikan: seniman dibagi-bagi kelompok seperti spesies. 

Lontaran ide tersebut oleh karenanya harus dibaca atas lestarinya nilai-nilai kebudayaan feodalisme masuk perikehidupan masyarakat kesenian teater, yang (mau) dilembagakan. Dan secara konstitusional, stratifikasi ini mengoyakkan rasa keadilan, hingga tidak tercercap oleh semua lapisan masyarakat, termasuk pula kesetaraan warga negara acapkali jomplang. Dengan begitu terjadi pula ketimpangan pemilikan nilai atau harga, membuat antar kelompok masyarakat punya kecemburuan sosial, maupun sentimen ekonomi dan politik.

Perlawanan terhadap hidupnya nilai-nilai feodalisme ini harus diberikan, harus digencarkan secara intelektual pula. Agar kelompok-kelompok teater merepresentasikan gerakan kreatifnya –baik ini di lingkungan warga, di ajang festival teater, maupun menampilkan pertunjukan tunggal di gedung mentereng— kita pun tahu: seniman-seniman teater pada “gentayangan” ke segala penjuru arah strata sosial untuk memperkaya jiwa bangsa.

Menolak Feodalisme


Pentas Roro Jonggrang oleh Teater Koma
Roro Jonggrang  dipentaskan Teater Koma di Graha Bhakti Budaya PKJ Taman Ismail Marzuki (TIM), Jakarta, 14-16 Oktober 2022. (Sumber foto: Edwin B/ Obsessionnews).


Dengan begitu penampilan Panembahan Reso yang dibawakan Bengkel Teater pada 25 Januari 2020, di sebuah gedung pertunjukan mewah bernama Gedung Teater Ciputra Artpreneur, Jakarta, tidak bisa dengan sembarangan menyebut itu adalah aksi kreatif dari kelompok seniman mapan. Bilamana ini diberikan sebagai stigma keabsahan, ada berbau diskriminasi sosial kebudayaan feodalisme. Jelas, stigma ini berbahaya. 

Demikian pula halnya tatkala Teater Koma pementasan Roro Jonggrang pada 14-16 Oktober 2022, di gedung pertunjukan mentereng, Graha Bhakti Budaya, sangatlah riskan bahwa ini adalah hasil dari kelompok seniman yang mapan. Begitu pula ketika Teater Kubur pada 30 Desember 2022 menampilkan Ritus Operasi Bocor, di gedung bersahaja, Gedung Serba Guna Desa Gabus, Pati, Jawa Tengah, tidak bisa serta merta itulah hasil kreasi-kreasi seniman kelas 2. Kemudian ketika ditilik  penampilan teater-teater di ajang festival daerah maupun lokal, tidak boleh serampangan dibilang itulah seniman-seniman pendatang.

Sangat berbahaya untuk kesehatan perikehidupan perteateran modern Indonesia menghidupkan paham feodalisme. Paham feodalisme membeda-bedakan manusia dalam klasifikasi sosial, ekonomi, dan politik ke dalam satuan kelompok masyarakat atas, menengah, dan bawah. 

Klasifikasi ini mirip dengan ide yang dilontarkan Ketua Komite Teater DKJ, Bambang Prihadi, terhadap pembagian kelompok seniman mapan (established), seniman menengah (emerging artist), dan kelompok seniman pendatang (Kompas, 28 September 2022).
Arah dari pengelompokan itu adalah seniman mapan semacam –dalam realitas sosial-- lapisan masyarakat atas bernama golongan elite atau penguasa, sedangkan lapisan masyarakat menengah bisa bernama birokrat (dan pengusaha) –ini dalam pengelompokan seniman bernama seniman menengah. 

Sedangkan lapisan kelompok seniman pendatang adalah semacam masyarakat bawah ini bernama golongan wong cilik, yang secara literal berarti orang kecil, gambaran kelas sosial rakyat jelata.

Inspirasi Sejarah Teater Modern


Kini, abad 21, dunia teater modern Indonesia sudah lolos ujian alam terhadap perangkap-perangkap kebudayaan feodalisme yang mengelompokan manusia. Masa awal kemerdekaan republik ini bersamaan dengan pertumbuhan teater modern Indonesia, kekuatan nilai-nilai kebudayaan feodalisme masih kukuh menghujam ke dalam interaksi sosial kemasyarakatan.

Kekuatan nilai kebudayaan feodalisme ini pula yang memprovokasi terjadinya pertentangan teater tradisi versus teater modern. Kelompok seniman teater modern yang terhimpun dalam Komedie Stamboel seperti sudah melihat orientasi ke depan, lantas di era 1930-an menanamkan visi teater modern yang bisa memakai corak teater tradisional. 
Lalu masuk era tahun 1940-an, bukan saja tantangannya nilai kebudayaan feodalisme, juga bersamaan sistem nilai totaliter Jepang yang masuk pada perikehidupan kesenian –juga teater. Keadaan yang sulit dan gawat ini, tokoh-tokoh seniman –antara lain tokoh rol utamanya Anjar Asmara dan Kamaya-- menghimpun diri mendirikan Pusat Kesenian Indonesia. 

Berkaitan dengan ini, satu perkara yang dapat direnungkan: bila saja Bung Karno tidak punya kepekaan seni dan penganut kuat paham kebudayaan feodalisme, maka Pusat Kesenian Indonesia tidak pernah terbentuk.

Berhubung Si Bung Besar ini penghancur kebudayaan feodalisme dan punya cita rasa seni tinggi, maka ia mempersilahkan para seniman berkumpul membentuk Pusat Kesenian Indonesia. Pada tanggal 6 Oktober 1942, di rumah Bung Karno dibentuklah Badan Pusat Kesenian Indonesia itu dengan pengurus antara lain, Sanusi Pane (Ketua), Mr. Sumanang (Sekretaris), dan sebagai anggota antara lain, Armijn Pane, Sutan Takdir Alisjahbana, dan Kamajaya.

Kesenian Indonesia dalam iklim demikian –dalam hal ini adalah teater—membuat pertumbuhan kelompok-kelompok teater (tonil) berkembang. Sehingga rombongan tonil keliling seperti Bintang Surabaya, Dewi Mada, Mis Ribut, Mis Tjitjih, Tjahaya Asia, Warna Sari, Mata Hari, dan Pancawarna, menjadi rombongan tonil yang mengidentifikasikan dirinya sebagai seniman bayaran.

Barulah pada akhir pendudukan Jepang muncul rombongan sandiwara yang melahirkan karya sastra yang berarti, yaitu  Penggemar Maya (1944) pimpinan Usmar Ismail, dan D. Djajakusuma dengan dukungan Suryo Sumanto, Rosihan Anwar, dan Abu Hanifah dengan para anggota cendekiawan muda, nasionalis dan para profesional (dokter, apoteker, dan lain-lain). 

Kelompok ini berprinsip menegakkan nasionalisme, sekaligus pula membawa ide-ide humanisme yang artinya pula disini melawan ide-ide feodalisme. Pada saat inilah pengembangan ke arah pencapaian teater nasional dilakukan. 

Dari visi tradisi itu teater tidak hanya sebagai hiburan, tetapi juga untuk ekspresi kebudayaan berdasarkan kesadaran nasional. Kesadaran nasional antara lain menolak kebudayaan feodalisme, selain pula menyatakan bahwa teater adalah ilmu. Sebagai ilmu, maka para pelakunya tidak bisa diklasifikasikan stratanya. 

Dari sini Penggemar Maya menjadi pemicu berdirinya Akademi Teater Nasional, sebuah institusi keilmuan teater yang mumpuni. Jebolan dari institusi ini, antara lain tokoh teater modern Indonesia bernama Nano Riantiarno. Ia dalam pimpinan Teater Koma, sebuah teater yang sering menampilkan ejekan pedih terhadap perikehidupan feodalisme. ***

Zackir L Makmur, pemerhati masalah sosial kemasyarakatan, Anggota Ikatan Keluarga Alumni Lemhannas (IKAL), aktif di IKAL Strategic Center (ISC), dan penulis buku Manusia Dibedakan Demi Politik (2020).

Ads